Ini masih cerita soal April Mop.
Aku masih ingat betul bagaimana memori itu terputar seperti kaset rusak. Kukira sudah usai, tetapi nyatanya tak begitu. Rasa menyakitkan seperti ditikam belati tajam begitu nyata kurasakan hingga detik ini. Aku mual, bahkan menelan satu sendok nasi pun enggan. Efeknya masih terlalu berat untuk kuterima, apalagi ditambah dengan kejadian di rumah sakit siang tadi.
Semua ini bermula dari Gadhing Atmaja dan Larisa Anandari yang diam-diam menyimpan banyak rahasia di belakangku. Risa adalah sahabatku sejak kuliah, dia juga yang mengenalkanku pada Gadhing setelah kami lulus. Aku dan pria itu menjalin hubungan kurang lebih tiga tahun. Percayalah, bahwa semua itu juga mendapat dukungan dari Risa. Segalanya berjalan lancar sampai malam itu tiba. Seluruh kepercayaanku hancur lebur dirusak oleh pengkhianatan yang menyisakan bekas entah sampai kapan.
Hari itu aku hendak memberikan kejutan untuk Gadhing, tetapi yang kudapati justru diriku sendiri yang terkejut. Aku memiliki kartu akses sehingga tak membutuhkan bantuan pria itu untuk membukakan pintu. Niatku ke sana adalah untum berbagi keluh kesah di hari pertama bulan April. Namun, semesta merencanakan hal lain. Gadhing memang di sana dan nyatanya tidak sendiri.
Aku menemukan pria yang kukasihi selama tiga tahun itu hampir bercinta dengan sahabatku sendiri. Katakan, bagaimana caranya untuk tidak menjadi gila di malam itu? Aku tahu bahwa menghakimi orang lain bukan hal yang patut untuk dibanggakan, tetapi aku tak tahu cara lain untuk mendeskripsikan pemandangan yang kulihat dengan kedua mataku. Ini jelas bukan yang pertama kali untuk mereka, aku yakin. Mereka mungkin sudah mengkhianatiku dari awal, mungkin juga menertawakan betapa naifnya aku yang terus mempercayai mereka.
Malam itu, mereka menyakitiku.
Oh, bukan hanya menyakiti hatiku, tetapi satu paket dengan nyawaku yang nyaris tergadaikan dengan kecelakaan.
Aku memejamkan mata, kilas balik tentang memori tersebut terus berputar-putar di kepala. Suara gemericik air di kolam ikan Ayah tak mampu mengambil alih semuanya. Aku menangis, membekap mulutku sendiri agar seluruh penghuni rumah tidak mendengar apa pun. Ini pukul satu malam, mustahil ada yang terjaga, bahkan Mas Aksa sudah terlelap sejak pukul sepuluh tadi.
Air mataku masih terus mengalir deras, sesak di dada tak terkira. Wajah Gadhing di rumah sakit tadi terus tergambar jelas di ingatan. Aku bersumpah sudah membencinya, tetapi semua itu tidak akan pernah cukup. Dia tak pernah tahu sebanyak apa penderitaan yang kurasakan selama ini. Namun, dengan mudahnya memohon untuk menjelaskan segalanya yang sudah tergambar pasti. Aku yakin bahwa penjelasan yang terlontar dari bibir pria itu hanya akan terus menyakitiku lebih dalam lagi.
Aku mengusap bulir-bulir air mata yang sudah merembes di kedua pipi. Kemudian, menarik napas dan membuangnya perlahan-lahan untuk mengurangi sesak yang menghimpit dada. Pendar dari lampu di ujung taman milik ibu membuatku terpusat ke sana. Aku tak boleh menghabiskan tenaga untuk bersedih, sebab ada banyak hal lain yang harus kulakukan untuk bertahan di dunia tanpa kepastian. Aku punya rahasia yang masih harus kusimpan rapat. Aku juga terus menanti sampai kapan keluarga ini membohongiku. Lalu, pernikahanku dengan Mas Aksa yang entah akan bermuara ke mana.
Aku yang sibuk melamun pun berjingkat pelan saat merasakan sebuah selimut yang sudah bertengger di pundakku. Aku menoleh dan mendapati Ayah berdiri di sampingku. "Kenapa belum tidur?" tanyanya.
Aku membalas dengan senyum sekilas, "Cuma kebangun, Ayah."
Ini bukan situasi yang baik, karena Ayah pasti bisa melihat mataku yang baru saja menangis. Ayah pasti akan bertanya dan menuntut jawaban segera. Beliau tak boleh mengetahui pertemuanku dengan Gadhing di rumah sakit, bahkan Mas Aksa sudah berjanji untuk menyembunyikan apa pun yang dilihatnya. Namun, aku bukan pembohong yang baik, ditambah lagi dengan desakan Ayah yang akan menekanku untuk berbicara jujur. Hal ini membuatku ketakutan sendiri.
"Ada apa?" tanya Ayah yang mungkin mulai menyadari kesegelisahanku.
Aku menoleh ke arahnya sembari mencengkeram ujung kemeja tidur yang kugunakan. Ayah mengerutkan dahi, menelengkan kepala untuk memperhatikan raut wajahku yang aneh. Aku berusaha keras tersenyum, tetapi justru terlihat mencurigakan. "Ada yang sakit?" tanya Ayah lagi.
Aku menggeleng lemah, menatap Ayah yang memiliki kekhawatiran berlebih itu semakin membuatku tertekan. Aku tidak bisa menahan apa pun. Air mataku kembali meluruh begitu saja di depannya. "A---aku ..." Ayah mendekapku, mengusap lembut tubuhku yang bergetar menahan desakan menyesakkan di balik dada. Aku terlalu lelah berbohong. aku juga mulai muak dengan upaya semua orang untuk meyakinkanku bahwa pernikahan yang sedang kujalani ini adalah bagian dari hidupku. Aku ingin mereka berhenti membuat skenario baru agar aku bisa mengakhiri sandiwara kehilangan ingatan ini.
Demi Tuhan, aku cuma ingin kembali seperti semula. Hidup tanpa ada yang ditutup-tutupi atau pun berlagak bahagia dengan semua ini. Andai saja Gadhing dan Risa tidak berkhianat, andai saja kecelakaan itu tak pernah terjadi, dan andai saja Ayah serta Ibu jujur di hadapanku ketika pertama kali kesadaran menghampiriku. Namun, semuanya sudah terlanjur, aku terjebak dalam belenggu kebohongan berlapis.
Aku tersedak akibat tangis tanpa henti. Ayah panik, melepas pelukan, dan buru-buru berlari ke dapur untuk mengambilkan segelas air. Aku menerimanya, meneguk minuman tersebut dengan hati-hati. "Tenang ya ... coba jelaskan ke Ayah pelan-pelan," ucapnya sambil mengusap puncak kepalaku.
Ayahku, Farhan Adinata adalah pria terbaik yang pernah kumiliki. Pribadi beliau yang lembut dan menenangkan sekaligus bijaksana membuatku merasa beruntung memilikinya. Namun, mengetahui bahwa kebohongan yang menjadi pilihannya untuk melindungiku dari Gadhing, sedikit mengusik diriku.
Ayah tak pernah berbohong selama aku menjadi anaknya. Beliau juga tidak pernah ingkar janji pada seluruh janji yang diutarakan. Aku ingin bertanya, mengapa dari sekian banyak solusi di dunia ini, Ayah harus memilih pernikahan sebagai pilihan. Sebaik apa penilaian beliau terhadap Mas Aksa hingga menjatuhkan pilihan kepada pria itu untuk menjadi suamiku? Namun, aku jelas tak berani bertanya apa pun. Kutelan semuanya sendiri sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
"Ayah ..." panggilku.
Ayah menggangguk, berjongkok tepat di hadapanku dengan tatapan ingin tahu. Aku menelan ludah, berusaha mengeluarkan pertanyaan yang terus berputar di kepala. "Ada yang aneh di sini," ucapku sambil menyentuh dadaku.
"Kenapa? Sakit?" tanyanya khawatir.
Aku menggeleng, "Aku ... cuma tak yakin dengan pernikahanku." Aku menatap Ayah dengan kedua mata berkaca-kaca. Aku ingin Ayah mengetahui bahwa diriku tak baik-baik saja dengan segala kebohongan ini. "Apa aku dan Mas Aksa akan bahagia dengan pernikahan ini, Ayah?" tanyaku.
Ayah jelas terkejut, kedua mata itu tidak bisa berbohong. Namun, dalam sekejap, raut keterkejutannya berubah menjadi begitu meyakinkan. "Tentu saja ... kalian pasti bahagia, ayah jamin."
"Aksa yang terbaik untuk kamu, tidak ada yang lain," tambahnya.
Sekali lagi, Ayah berhasil menyakitiku dengan kebohongannya yang berlanjut.
Tbc.
Haii, maaf banget baru update yang seharusnya hari selasaaaa 🙏
Oh iyaa mau mengabari bahwa yang mencari cerita Let's Start The Mission, kalian bisa baca versi full nya di innovel dan google play book yaa. Kalau memang mau versi cetak, saya masih ada 2 stok buku di rumah ... langsung DM saya saja yaa, terima kasih 🙏
Sampai ketemu besok 🙌
Jember, 27 Mei 2022.
With sweetest thing,
Dvrnaaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surprisingly Wedding [NEW VERSION/ONGOING]
Ficción GeneralPernahkah kamu membayangkan menjadi seorang istri secara tiba-tiba, disaat kamu tidak pernah sekalipun merasa telah dinikahi oleh laki-laki mana pun? Itu yang tengah dialami Dhera, hidupnya terasa makin membingungkan ketika perlahan hatinya menerim...