18. Pelukan Hangat

10K 430 16
                                    

Resiko adalah kata yang paling kubenci di dunia ini. Sejak perdebatanku dengan Ayah waktu itu, aku terkurung di dalam kamar seorang diri. Ayahku membawaku pulang ke rumah, mencegahku tinggal di rumah Mas Aksa sampai pria itu kembali dari urusan pekerjaannya. Beliau berjanji demikian, tetapi aku sedikit gusar dengan ucapannya kala itu.

Baru kali ini aku melihat murka Ayah yang begitu besar. Bukan mengamuk dengan membanting barang atau menyumpahiku dengan kata-kata buruk, bukan, beliau tidak akan pernah begitu. Namun, sikapnya yang justru mendiamkanku, menganggap seolah keberadaanku di rumah ini tak pernah ada membuatku justru semakin terluka.

Helaan napas entah yang keberapa kali ini menandakan bahwa aku kehilangan selera pada semua hal. Aku terus meringkuk di bawah selimut dengan pandangan yang tak bisa kujelaskan ke mana sebenarnya bermuara. Hatiku seperti kebas, kosong, dan aneh. Kalau saja mengamuk bisa kugunakan untuk memperlihatkan berapa banyak amarah yang kusimpan selama ini, kamarku tidak mungkin masih rapi.

Apa kemarahanku ini tidak berdasar? Apa membalas kebohongan Ayah terlalu salah untuk dilakukan? Apa aku tidak berhak menyelesaikan masalah dengan caraku sendiri? Aku---suara ketukan pintu membuatku semakin merapatkan tubuh dengan lilitan selimut. Ibu pasti datang untuk membujukku menelan makanan lagi, sebab sarapan tadi tak kusentuh sama sekali.

Ibu jelas berusaha bersikap netral, karena bagaimana pun memihak salah satu dari aku dan ayah hanya akan membuat suasana makin runyam. Ibu bahkan tidak berusaha menjelaskan mengapa menyetujui pernikahanku dengan Mas Aksa yang sudah diatur sedemikian rupa. Aku mengerti jika mereka hanya menginginkan kehidupan yang damai untukku setelah kecelakaan hari itu. Namun, apa benar jika menyerahkanku pada lelaki asing hanya sekadar hendak membuatku melupakan pria yang lain?

Ketukan itu belum berhenti sehingga aku memutuskan untuk membuka mulutku meski rasanya enggan sekali. "Pintunya enggak aku kunci, Bu."

Aku jelas mendengar suara pintu dibuka begitu juga dengan langkah kaki pelan yang rasanya tidak mirip dengan langkah kaki Ibu. Namun, aku benar-benar malas menghadap mana pun kecuali pemandangan di balik pintu balkon kamar yang kubuka lebar. "Aku sudah makan bubur tadi pagi, Bu. Jadi, seharusnya enggak perlu mengantar maka---"

"Cuma sedikit,"

Punggungku mendadak terasa dingin, suara itu bukan milik Ibu.

"Kamu bisa makin kurus kalau terus begitu, Ra."

Aku tak tahan, kubalikkan tubuhku menghadap pria yang berdiri dengan nampan berisi makanan dan minuman. Dia tersenyum hangat, senyum yang seminggu ini tak pernah kulihat. Aku hampir merasa lega kalau saja tak menemukan luka lebam di pelipis kanan dan sudut bibir Mas Aksa. Tubuhku bergerak menurunkan selimut, merangkak pelan di atas kasur mendekati Mas Aksa yang tengah meletakkan bawaannya di atas nakas.

Aku setengah berdiri, menumpu tubuh dengan lutut. Kedua tanganku mencekal lengannya, mendadak panik melihat beberapa luka yang makin terlihat jelas dalam jarak dekat seperti ini. "Ini ... kenapa bisa begini?" tanyaku sembari bergerak impulsif meraba sisi wajahnya dengan hati-hati.

Mas Aksa meringis pelan, "Saya baik, Ra."

"Kalau baik, enggak begini kondisi wajahmu, Mas," bantahku kesal.

Kepalaku mendadak pusing dengan semua hal yang terjadi di sini. Tiba-tiba saja perasaanku mengatakan bahwa kondisi babak belur Mas Aksa ini adalah ulah Ayah, sebab luka-luka itu masih terlihat baru. "Apa ayah saya yang melakukan itu?" tanyaku dengan napas tercekat. Aku masih berharap dugaanku tidak benar, karena Ayah tak mungkin melakukan hal-hal seperti ini.

Mas Aksa masih bungkam, sorot matanya berusaha menghindari desakanku.  Aku nyaris melompat dari kasur, tetapi buru-buru dicegah pria itu dengan belitan di sekitar perut. Napasku tercekat, kehangatan itu datang lagi. "Demi Tuhan, bukan ayahmu, Ra."

Surprisingly Wedding [NEW VERSION/ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang