"Kamu jadi repot."
Aku mengulas senyum tipis sambil mengaduk sup jagung yang baru kutambahkan dengan kocokan telur. Mas Aksa sudah rapi dengan kemeja hitam dan jas yang disampirkan di sandaran kursi pada pukul setengah empat pagi. Hal ini lah yang membuatnya merasa tak enak hati kepadaku, padahal aku baik-baik saja melakukan kegiatan ini. Bukankah sudah menjadi kewajiban istri untuk menyiapkan segala kebutuhan suami, termasuk membuat sarapan pada waktu dini hari?
Dia mendadak menghampiriku, berdiri di depan kompor sembari melipat kedua tangan di dada. Aku melirik sekilas, karena bingung memikirkan alasan mengapa pria ini justru membiarkan bajunya yang rapi terkena uap masakan. Aku semakin kikuk saat satu tangan itu menyampirkan helaian anak rambut di belakang telingaku. Ingatan bagaimana semalam aku menangis di pelukannya, membuatku malu. Aku benar-benar merasa kian aneh setiap menyadari bahwa Mas Aksa terang-terangan menatapku seperti saat ini.
Kakiku sudah hendak mundur selangkah saat tangannya justru semakin berani mengusap kepalaku. Jika aku terganggu maka harusnya mengelak, tetapi reaksi tubuh ini justru kaku di tempat. "Kamu yakin enggak apa-apa saya tinggal seminggu di rumah ini?" tanyanya yang entah sudah berapa kali diucapkan sejak semalam.
Aku menoleh setelah mematikan kompor, menatapnya bosan. Dia kembali bicara tanpa pernah menyadari kalau aku benar-benar lelah menjelaskan berulang kali bahwa diriku akan baik-baik saja di rumah ini sendirian. "Saya bisa antar ke rumah Ayah sekarang kalau kamu mau, Ra. Saya kayaknya bakal cemas ninggalin kamu sendirian, takut ada apa-apa."
Napasku berembus kasar saat memindahkan sup jagung ke dalam mangkuk besar. Mas Aksa terus mengekoriku dengan kalimat-kalimat kekhawatiran yang tak pernah berhenti dari mulutnya. "Mas ..." sergahku kemudian. Dia menatapku bingung. "Di rumah ini enggak akan ada hal-hal aneh seperti yang ada di kepalamu sekarang." Aku reflek menyentuh lengannya, "saya janji akan baik-baik aja."
Dia tampak mengalah, sorot mata itu sedikit melunak. Namun, lagi-lagi aku keliru saat dia kembali membuka mulut dan menawarkan banyak hal yang seketika membuatku makin pusing. Kedua tangannya mulai mengetik sesuatu di ponsel sambil terus mengoceh ini dan itu. "Kalau gitu saya akan coba hubungi sopir langganan saya buat antar jemput kamu dari kafe, lalu saya juga akan minta salah satu ART di rumah Mama untuk bantu-bantu kamu di sini. Kemudian, saya akan minta tolong Ibu untuk menemani kamu jika memung---"
Aku mungkin sudah gila, tetapi melihatnya lebih cerewet dari hari-hari lain terasa begitu aneh. Aku tak ingin kalimat-kalimat perhatian itu mengusik ketenangan yang ada dalam diriku lebih dari ini. Kami memang menjadi lebih baik dalam semalam, tetapi membayangkan seorang pria yang masih tergolong asing ini mendadak mengatur segala keperluanku dan mengkhawatirkan dengan berlebihan, aku belum mampu menerima. Aku memotong kalimat Mas Aksa dengan pelukan erat. Kedua tanganku melingkari lehernya, bahkan kakiku perlu bersusah payah berjinjit untuk dapat membantu membelit seluruh tubuh besar itu dengan tubuhku.
Aku bisa merasakan detak jantungnya di balik dada, begitu juga dengan milikku. Aku berbisik, "saya sehat ... sangat sehat sampai rasanya saya bisa mengelilingi komplek rumah ini setiap satu jam sekali, Mas. Please, jangan khawatir berlebihan." Aku memejam saat satu tangannya membalas pelukanku dengan hangat dan yang lain membelai lembut rambutku. Dia tersenyum kecil yang bisa kudengar lirih. "Baiklah, saya enggak akan melakukan apa pun," ucapnya yang membuatku tersenyum puas.
Kami---ah, aku seolah lupa dengan malu yang beberapa menit lalu kurasakan saat pria ini menatapku lamat-lamat. Aku justru melemparkan diriku sendiri untuk memeluknya erat. Entahlah, tubuhnya selalu hangat seperti ini, aku ... nyaman. Aku berharap dia merasakan hal yang sama agar diriku tak merasa tercurangi. Aku tahu Mas Aksa menyembunyikan beberapa hal di belakangku yang mungkin suatu saat akan terbongkar dan menyakitiku. Namun, aku justru menyerah bertanya, bahkan membiarkan diriku terbiasa dengan kehadiran serta perlakuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surprisingly Wedding [NEW VERSION/ONGOING]
General FictionPernahkah kamu membayangkan menjadi seorang istri secara tiba-tiba, disaat kamu tidak pernah sekalipun merasa telah dinikahi oleh laki-laki mana pun? Itu yang tengah dialami Dhera, hidupnya terasa makin membingungkan ketika perlahan hatinya menerim...