Prolog

1.7K 149 17
                                    

Pribahasa : Bagai pungguk merindukan bulan.

====================

Zidan menghempaskan diri di kursi taman, helaan putus asa terembus untuk yang kesekian kali sejak dari rumah pujaan hati. Kepercayaan diri yang sempat ia miliki kini menguap tanpa sisa. Niat hati ingin meminang gadis idaman. Namun, apalah daya jika yang dipilih ternyata pria lain yang lebih mapan.

Bagi seorang karyawan kantoran biasa seperti dirinya, mengharapkan cinta dari gadis se-level putri raja itu bagai pungguk merindukan bulan. Sangat mustahil bisa terwujud, wajahnya saja pas-pasan dan harta yang dimiliki tak seberapa, mana mau gadis keturunan keraton itu menerima pinangannya.

Zidan bangkit dari duduknya, lalu ia berjongkok di pinggir kolam taman. Seekor kodok lewat di depannya, tanpa pikir panjang, pemuda itu menangkap si kodok dan memandanginya.
"Hei, Kodok. Kalau saja aku ini Arjuna, apa mungkin Yayu mau menerima pinanganku?"

Si kodok balas menatap Zidan dan dengan cepat menjulurkan lidah menangkap lalat yang hinggap di hidung Zidan, setelah itu, kodok itu melompat pergi.

Zidan kembali menghela napas, semangatnya terasa turun begitu drastis saat teringat kembali penolakan Yayu.
Zidan menengadah, ia terdiam memandangi langit yang perlahan berubah jingga.

Jam tangan digitalnya berbunyi, memberitahu bahwa ia harus segera pulang. Zidan harus bersiap untuk menonton pagelaran wayang golek di rumah pak RT yang baru saja menikahkan putrinya. Zidan bangkit dari acara berjongkoknya, ia meraih jas kerja yang sempat ia sampirkan di bangku taman.

Dari taman kota menuju rumah kontrakannya hanya membutuhkan waktu lima belas menit jalan kaki. Karena itu, dari pada naik angkutan umum, Zidan lebih memilih jalan kaki saja.

Langkah pemuda itu terhenti tepat di depan toko barang antik. Matanya tertuju pada sebuah wayang tang terpajang di etalase toko dengan bandrol harga yang membuatnya melongo.

Selain harganya yang murah, Zidan merasakan ketertarikan lain pada wayang itu, entah ketertarikan yang seperti apa. Zidan merasa harus memiliki wayang itu bagaimana pun caranya. Jika tidak, sesuatu yang buruk akan terjadi.

Tanpa ia sadari, pemuda itu melangkah masuk ke dalam toko. Diedarkannya pandangan mencari pelayan toko.

Toko barang antik yang dikunjunginya terlihat begitu sepi dan hawanya terasa begitu dingin. Kakinya melangkah ragu menelusuri rak berisi barang-barang antik.
"Permisi ...." Zidan kembali mengedarkan pandangan. Namun, belum juga menemukan satu orang pun di sana.

"Ada yang bisa saya bantu?" Suara lain terdengar dari belakang Zidan, membuat pemuda itu nyaris terpeleset karena terkejut. Begitu membalikkan badan, ia menemukan seorang lelaki tua tanpa ekspresi berdiri di sana.

"A-ah, begini, Pak. Tadi saya melihat wayang Batara Guru yang di pajang di etalase, bolehkah saya melihatnya lebih dekat?"

Pria paruh baya itu berjalan melewati Zidan begitu saja tanpa kata dan menghilang di balik rak barang antik. Begitu kembali, wayang batara guru sudah di tangannya.

Zidan memperhatikannya sebentar kemudian bertanya,  "Benarkah harganya tiga puluh ribu?"

"Ya, benar. Harganya tiga puluh ribu,"lelaki tua itu menjawab singkat.

Zidan mengembangkan senyumnya, kemudian ia berkata,
"Saya ingin membeli wayang itu, Pak."

Masa bodoh dengan biaya makannya. Nanti juga ia akan dapat gaji dari pekerjaannya. Begitu-begitu gajinya cukup besar. Cuma dasarnya Zidan yang boros, gajinya seringkali tidak cukup untuk satu bulan.

Lelaki tua itu memandangi Zidan dari atas hingga bawah, kemudian kembali ke atas.
"Apa kau yakin?" tanyanya dengan ekspresi yang samar-samar terlihat khawatir. Apakah mungkin, penjaga toko itu berpikir Zidan tidak akan mampu menjaga wayang golek itu, terlihat dari penampilannya.

"Ya, aku yakin sekali."

Penjaga toko itu sekali lagi mengamati Zidan sebelum kemudian menghampiri etalase dan membungkus wayang Batara Guru yang dimaksud. Zidan merogoh sakunya dan mengeluarkan uang seratus ribu dan menyerahkannya pada si penjaga toko.

"Terima kasih banyak, mampir lagi, ya."

Zidan memandangi wayang barunya dengan senyum senang, sudah lama sekali ia menginginkan sebuah wayang golek untuk dipajang di rumahnya. Apalagi jika wayang itu adalah Batara Guru dan sekarang, wayang Batara Guru kini telah menjadi miliknya.

Zidan melanjutkan perjalanan pulangnya dengan hati gembira, setelah sekian lama mendamba, kini akhirnya ia memiliki wayang Batara Guru. Ia menghabiskan sisa waktu perjalanannya dengan bersenandung riang tanpa mengetahui sosok tinggi besar mengikutinya dari belakang.

Di dalam toko barang antik, lelaki tua itu menatap Zidan melalui jendela.
"Dia telah menemukan partner baru," gumamnya.

To be Continued ....

Dalam rangka mengikuti ipen April dari PseuCom

Roh Penghuni Wayang GolekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang