chapter 3

1K 119 8
                                    

Pribahasa : Sedikit demi sedikit, lama lama menjadi bukit.

=================

Zidan mengibaskan tangan yang sedari tadi menepuk-nepuk pipinya. Ia mengerang jengkel karena acara tidurnya terganggu.

"Oi, bangun!"

Sekali lagi pipinya ditepuk, kali ini lebih keras. Zidan tahu siapa yang berani mengganggu tidurnya itu. Fikri, sahabatnya sedari sekolah dasar.

"Apaan, sih?" protesnya dan membuka mata. Hal pertama yang ia lihat adalah kumpulan orang-orang yang tengah menyaksikan sesuatu—pagelaran wayang golek.

"Saur nira tandana panjang

Sinenggih sabda ya uninga

Sabda ya uninga

Saur nira tandana panjang sinenggih

Sabda uninga, wis mamang

Ulun layu kaya teki

Kala bakti dening asih

Ya dening asih

Wong asih ora katara.*"

Zidan mengangkat kepalanya, menatap lurus pada panggung dengan deretan wayang golek di sana. Ia terpana, suara dalang yang menyanyikan suluk begitu indah di telinganya, apalagi dengan diiringi oleh alat musik rebab, gender, suling, gong, menambah kemerduan suluk tersebut. Selain itu, ia merasa familiar dengan suara dalang itu, tapi siapa? Ia tidak tahu.

Di sisa pertunjukkan, fokus Zidan tertuju pada suara sang dalang. Saking fokusnya, ia sampai tidak sadar bahwa pertunjukkan sudah mencapai akhir.

Dalang yang selama pertunjukkan berada di balik panggung khusus wayang yang mirip dengan podium itu berdiri, sehingga Zidan dapat dengan jelas melihat wajah sang dalang.

Zidan kenal wajah itu. Wajah yang selalu berada di sekitarnya sejak dua hari lalu.

"Oi, ayo pulang."

Panggilan Fikri tak ia gubris. Pandangannya masih tertuju pada sosok yang kini tengah membenahi penampilannya. Sosok itu menoleh, menatap Zidan beberapa saat sebelum kemudian berlalu meninggalkan panggung.

Melihat sosok itu pergi, refleks Zidan bangkit dari duduknya dan berjalan tergesa mengikuti. Cukup sulit keluar dari deretan kursi yang dipenuhi oleh orang-orang, tapi Zidan tetap berusaha. Toh, tinggal melewati satu kursi lagi, ia terbebas dari sana dan bisa mengejar sosok itu. Sayangnya, sepasang kaki dari seorang pria gendut tiba-tiba terjulur dan Zidan pun tersandung.

Pemuda itu terjatuh dengan kening yang mendarat terlebih dahulu. Ia memejamkan mata merasakan pusing luar biasa.

'Sial! Ini memalukan!'

"Oi, sedang apa kau di sana?"

Membuka mata, Zidan bertatapan kembali dengan sosok yang sama tengah berjongkok di atas kepala Zidan yang berbaring di lantai, bedanya sekarang sosok itu tidak mengenakan pakaian dalang, tapi pakaian wayang.

'Ah, ternyata yang tadi itu mimpi,' pikirnya.

Tanpa menjawab pertanyaan pria itu, Zidan mendudukkan diri dan menatap serius roh penunggu wayang yang balas menatapnya dengan tatapan datar.

"Siapa kau sebenarnya?" tanyanya.

Roh yang Zidan tidak ketahui namanya itu ikut mendudukkan diri di hadapannya. Setelah mendapat posisi nyaman, roh itu balas menatap pemuda berusia dua puluh empat tahunan yang masih menunggu jawaban.

"Kenapa tiba-tiba bertanya? Biasanya kau menjerit dan kabur dariku."

Zidan tidak langsung menjawab, sedikit banyak merasa konyol karena terpengaruh oleh mimpi. Tapi entah kenapa, ia merasa ada sesuatu di balik mimpinya itu. Sesuatu yang mendorongnya untuk menguak siapa sebenarnya sosok roh yang baru-baru ini masuk dalam kehidupannya.

"Mungkin ini terdengar konyol, tapi aku merasa aku harus mengetahui sesuatu darimu. Tadi, aku bermimpi menyaksikanmu menjadi dalang wayang golek."

Roh itu tersentak, raut wajah yang biasanya tanpa ekspresi kini terlihat begitu ... marah? Sedih? Entahlah, Zidan tidak bisa menebak apa yang tengah dirasakan oleh sosok di depannya.

"Namaku Agung Erlangga. Calon dalang yang akan mewarisi semua wayang milik guruku dan akan menggantikannya menjadi dalang ketika beliau pensiun. Tapi sayangnya, lima tahun lalu aku mati."

Nada bicara roh yang mengaku bernama Agung itu datar seperti biasanya. Tapi Zidan tahu, ada kesedihan di sana. Sosok itu hanya berusaha menyembunyikan rasa itu darinya.

"Kau mati karena apa? Tersedak? Menabrak tembok? Atau karena keseringan coli?"

Bantal sofa mendarat dengan mulus di wajah Zidan. Sementara pelaku pelemparan menghilang.
'... Tidak mau menjawab, ya? Mungkin dia belum bisa menerima kematiannya.' Zidan menatapi wayang yang menjadi kediaman Agung.

Ia sama sekali tidak menyangka bahwa mimpinya barusan adalah gambaran masa depan Agung, kalau saja lelaki itu tidak meninggal. Zidan jadi semakin penasaran, kenapa Agung bisa meninggal dan menjadi penunggu wayang golek?

Zidan sangat penasaran, sebenarnya. Tapi Agung sepertinya tidak mau mengungkit masalah itu. Walau begitu, ia akan terus berusaha mencari informasi. Sekecil apa pun informasi itu. Seperti peribahasa yang pernah di katakan kakeknya.
'Sedikit demi sedikit, lama lama menjadi bukit.' Iya, 'kan?

To be continued ....

*Sumber dari gugel, karena aku kurang tahu bagaimana cara mendalang dan bahasanya walaupun suka dan sering nonton wayang golek.

Roh Penghuni Wayang GolekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang