Chapter 27

469 68 4
                                    

Peribahasa : sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya kayang juga.

===========================

Zidan menatap tidak percaya pada seseorang yang baru saja datang. Mata terbelalak kaget, menatap tidak percaya pada sosok yang berdiri berdampingan dengan Nanda.
“Fikri?” gumamnya.

Sosok yang paling Zidan kenal itu balas menatapnya, sebuah senyum yang biasa Zidan lihat dari sosok itu terkembang tanpa beban. Berbeda dengan Zidan yang justru mengerutkan kening tidak suka.
“Hallo, Zidan.”


Agung memperhatikan perubahan raut muka Zidan setelah kedatangan adik dari Nanda, salah satu orang yang berperan penting dalam kejadian di masa lalu.

“Fikri, kenapa kau ada di sini?” Zidan bertanya dengan suaranya yang dibuat setenang mungkin.

Fikri mengamit dagu menggunakan jemari dan membuat pose berpikir.
“kenapa, ya? Mungkin karena tadi aku yang membawamu ke sini?”

Senyuman yang biasanya membuat Zidan senang kini begitu menyesakkan. Untuk pertama kalinya sejak ia berteman dengan Fikri, ia merasakan ketidaknyamanan darinya.
Beberapa waktu lalu, mungkin Zidan tidak akan tahu apa penyebab Fikri menjadi berpihak pada musuh. Tapi sekarang, setelah ingatannya kembali, ia tahu dengan pasti apa yang menjadi pemicu.

“Apa kau begini karena aku tidak memilihmu?”

Agung mengepalkan tangan, amarahnya tiba-tiba saja memuncak mendengar setiap kata yang terucap dari kedua orang di depannya. Semakin lama kekesalan itu semakin meluap. Barang-barang di sekitar mulai bergetar, semakin lama getaran itu semakin kencang dan semaki kencang. Lalu kemudian barang-barang itu beterbangan tidak beraturan. Membuat retakan pada tembok, memecahkan jendela, membuat guci terjatuh dari tempatnya dan pecah. Tubuh Fikri terangkat ke udara, kemudian terlempar dan membentur tembok dengan telak.
Fikri terbatuk, namun senyumannya tidak luntur sedikitpun. Pemuda itu justru menunjukkan sebuah seringai, membuat amarah Agung semakin meningkat dan tak terkendali.

Zidan mencoba melindungi diri dari segala macam barang yang beterbangan ke segala arah. Sebuah papan bertuliskan ‘Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya kayang juga’ bahkan nyaris mengenai kepalanya.

“Kalau sudah seperti ini, cepat atau lambat dia akan menjadi roh jahat dan tidak bisa kembali lagi pada tubuhnya.”

Zidan menoleh pada Nanda yang terduduk di dekat jendela yang pecah, bersandar pada tembok dengan kepalanya yang mengalirkan darah. Lelaki itu memang ikut terlempar dan menabrak jendela hingga pecah. Beruntung ia tidak terlempar hingga keluar ruangan. Karena jika itu terjadi, ia akan mati akibat terjatuh dari lantai empat.

“T-tapi Agung belum mati, bagaimana mungkin dia jadi roh jahat?” sangkal Zidan, menolak untuk mempercayai.

Nanda terkekeh meremehkan.
“Sayangnya, itu bisa saja terjadi. Nafsu manusia adalah salah satu faktor yang dapat membuat roh seperti Agung menjadi roh jahat, walaupun tubuhnya masih ada dan baik-baik saja.”

Zidan menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruk yang berkeliaran di kepala.

PRAAANGG!

Suara benturan keras dan kaca pecah memenuhi seisi ruangan, Zidan dengan cepat menoleh dan mendapati Fikri yang sudah tergeletak bersimbah darah. Sementara aura yang mengelilingi tubuh Agung kini semakin terlihat hitam pekat.


Nanda berdiri, ia menarik paksa Zidan dan melingkarkan lengan di leher pemuda itu.
“Berhenti atau kupatahkan leher Zidan.”
Agung menoleh, ia menatap Nanda dengan geraman murka. Agung nyaris saja kembali hilang kendali dan menyerang Nanda untuk menyelamatkan Zidan, kalau saja pemuda yang bersangkutan menatapnya intens, memberikan isyarat untuk Agung menghentikan niatnya.

Mendapati tatapan dari kedua iris teduh itu, Agung perlahan mulai bisa mengendalikan diri. Ya, benar. Ia tidak boleh sampai lepas kendali dan kehilangan kesempatan untuk kembali ke tubuhnya. Lagipula, banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan pada Zidan.


To be continued ....

Roh Penghuni Wayang GolekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang