Chapter 20

489 82 9
                                    

Peribahasa : Ada uang Abang disayang, tak ada uang Abang ditendang.

================

Zidan membeku, kelopak mata terkatup rapat, keringat dingin mengalir deras di dahi dan punggung. Walaupun sekarang seseorang di belakangnya sudah menyadari bahwa dirinya telah sadar, Zidan tidak berani membuka mata.

"Kudengar kau dekat dengannya, benarkah?" Elusan bergetak menuju tengkuk Zidan.
"Jika iya, itu bagus." Tangan itu kembali bergerak dan menyusup di setiap helai rambut. Lalu, dalam satu kali tarikan menjambaknya kasar.

"UGH!" Zidan meringis, refleks tangannya terangkat menuju tangan lelaki lain yang menjambaknya. Tali yang memang hampir putus akibat usahanya melarikan diri beberapa waktu lalu itu terputus begitu tangan terangkat.

"Hebat juga, kau bahkan bisa memutuskan tali itu tanpa kesulitan."

Dalam hati Zidan mencibir, memprotes komentar lelaki di depannya yang seenak jidat menganggap dirinya berhasil memotong tali tanpa kesulitan. Jelas ia sering kesulitan selama proses. Dimulai dari tangan yang tanpa sengaja teriris, pecahan kaca yang terlepas dari genggaman, atau rasa takut kalau-kalau penculiknya menemukan ia—seperti sekarang—yang mencoba kabur.

Jambakan itu semakin kuat, membuat Zidan kembali meringis kesakitan, ditarik sekuat itu membuat kulit kepalanya sakit luar biasa. Sementara pelaku penjambakan itu malah terus memperhatikan setiap jengkal wajah Zidan.

"Kau manis juga, aku heran bagaimana bisa orang  semanis dirimu mau dengan seorang playboy seperti dia. Kenapa kau tidak bersamaku saja?"

Zidan mendecih, memberanikan diri menatap tajam lawan bicaranya dengan susah payah akibat rambutnya yang masih dijambak.
"Denganmu saja? Aku bahkan tidak mengenalmu. Satu-satunya yang kutahu, kau adalah orang Brengsek yang dengan seenaknya menculikku."

Lelaki itu menghentakkan tangan yang menjambak rambut Zidan, melepaskan genggamannya. Hentakan yang cukup kuat itu nyaris membuat Zidan terantuk kepala ranjang.

Lelaki itu bangkit dari duduknya, kemudian berjalan memutari ranjang. Sehingga posisi yang awalnya berada di kanan kini berada di kiri.
"Benar juga, kau belum mengenalku, ya? Baiklah ... khusus untukmu, aku akan memperkenalkan diri." Lelaki itu kembali mengambil duduk di sisi ranjang, tepat di dekat kepala Zidan.

"Namaku Nanda, rekan seperguruan Agung. Lelaki yang kekasihnya direbut oleh pria Bajingan itu." Suara lelaki itu yang semula bernada riang dan senyumnya yang terkembang—walaupun ia tahu itu senyum bohong— dalam sekejap berubah dingin menusuk. Tidak ada sedikitpun senyum, tidak ada lagi nada riang.

Dalam satu tarikan kuat, Nanda meraih kaki Zidan dan membukanya lebar.
"Sekarang, akulah yang akan merebut kekasihnya." Seringai keji terbentuk di wajah dingin itu. Nanda dengan paksa membuka gesper celana Zidan.

Kaget dengan apa yang dilakukan pria itu, Zidan dengan cepat menahan tangannya, mencoba menghentikan kelakuan tidak masuk akalnya.
"Aku bukan kekasihnya!" seru Zidan.

Nanda tidak mendengarkan protesan Zidan, pria itu justru meraih kedua tangan Zidan dan mengikatnya pada ranjang dengan dasi yang semula ia pakai.

Zidan sebisa mungkin memberikan pemberontakan pada aksi gila orang yang mengakui dirinya sebagai rekan seperguruan Agung. Namun, sayangnya tenaganya tidak cukup kuat melawan pria di atasnya. Tubuhnya memang tidak termasuk kecil, hanya saja ia jarang olah raga sehingga otot-ototnya lemah.

"Hentikan! Aku ini bukan pacarnya! Lagipula, bukan salah Agung jika kekasihmu tiba-tiba berpaling padanya, dia lebih baik daripada kau!" Kaki Zidan yang masih terikat bergerak-gerak, mencoba menendang pria itu.

Sementara lawan bicaranya tidak mendengarkan sama sekali, ia malah sudah berhasil menarik lepas celana Zidan.

"Atau bisa saja kekasihmu itu tipe orang yang suka memanfaatkan dan cari enak saja, mencintaimu saat kau sukses saja."

Gerakan Nanda terhenti, diam tak melakukan apa pun sama sekali. Dari reaksinya ini, Zidan bisa menebak jika apa yang ia katakan adalah kebenaran.

Ada uang Abang disayang, tak ada uang Abang ditendang. Peribahasa itu sangat pantas jika diucapkan oleh Nanda. Ia ditinggalkan kekasih di saat Agung mengalahkannya dalam persaingan menjadi dalang profesional, terbukti dengan Agung yang lebih dulu menjalani ritual-ritual sebelum benar-benar tampil dalam suatu pagelaran sebagai dalang, dibandingkan dengannya.

Nanda yang tadinya terdiam kini mulai kembali beraksi, kali ini lebih kasar. Ia menarik kemeja Zidan hingga terkoyak. Mendapati pria di atasnya semakin menggila, wajah Zidan pucat seketika. Pemberontakannya tidak berpengaruh sama sekali, memejamkan mata takut.

'Agung, tolong aku.'

To be continued ....

Roh Penghuni Wayang GolekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang