Chapter 1

1.1K 135 15
                                    

Pribahasa: Kail sebentuk, umpan seekor, sekali putus, sehari berhanyut.

=========================

Zidan meletakkan wayang yang baru saja ia beli di meja kecil tepat di samping tempat tidurnya. Ia memandangi wayang itu dengan senyum puas terpatri di bibir. Kecintaannya pada wayang ternyata membantunya melupakan kesedihan yang dirasakan beberapa waktu lalu. Pemuda itu yakin, dengan adanya wayang itu bersamanya, semua kesedihan akan teralihkan.

"Hm ... sepertinya kalau disimpan di sini kurang pas. Bagusnya simpan di mana, ya?" gumamnya.

Pemuda itu berjalan menuju sebuah lemari di sisi kiri kamarnya, ia membuka pintu lemari dan berjongkok. Salah satu tangannya merogoh ke bagian dalam lemari untuk mencari sesuatu.


"Nah, ini dia!" serunya senang. Tanpa tahu di belakang, wayang yang seharusnya tidak bisa berdiri, kini berdiri tegak. Zidan bangkit, ia membalikkan badan setelah menutup kembali pintu lemari. Sementara wayang itu sudah kembali tergeletak di nakas.

"Wayang, aku sudah menemukan tempat yang pas untukmu." Zidan meletakkan sebuah kotak kaca yang ukurannya pas dengan wayang miliknya. Ia meraih wayang itu dan meletakkannya dengan hati-hati di dalam kotak. Setelah di rasa posisinya pas, ia menutup kotak kaca itu dan menyimpannya kembali di nakas.

"Sekarang, lebih baik aku mandi dulu," ujarnya sembari meraih handuk yang tersampir di kursi belajar.

Begitu Zidan memasuki kamar mandi, wayang yang tadinya diam secara tiba-tiba menoleh ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Hiasan yang menggantung di kedua sisi wajah bergoyang akibat gerakan yang tiba-tiba. Mata wayang itu berubah merah menyala dan secara perlahan, tubuh wayang itu mulai mengeluarkan asap. Namun, ketika pintu kamar mandi terbuka, semua kejadian aneh tadi berhenti seakan tidak terjadi apa-apa. Kepalanya bahkan tidak lagi menoleh ke arah kamar mandi.

Zidan keluar dari kamar mandi hanya dengan sehelai handuk yang melilit di pinggang. Ia tidak langsung memakai pakaiannya, yang ia lakukan justru meraih ponsel dan menelepon seseorang.

"Hallo, Fik. Malam ini jadi, 'kan?" Ia menjepit ponsel dengan bahunya, sementara kedua tangannya sibuk memilah baju mana yang pantas ia kenakan. Keningnya berkerut tak senang saat mendengar balasan dari lawan bicara.

"Eh? Kenapa tidak jadi? Padahal aku sudah begini semangat untuk menonton wayang golek," keluhnya. Pemuda itu mendudukkan diri di ranjang dengan handuk yang telah terlepas dari tempatnya semula. Itu memang kebiasaannya, ia tidak mau jika sampai air yang terserap oleh handuk menempel pada kasurnya.

"Acaranya dibatalkan karena dalangnya tidak bisa datang?" Zidan meremas celana dalam yang ia genggam gemas. Padahal ia sedang sangat ingin menonton pagelaran wayang golek. Yah, sekalian mencoba PDKT dengan salah satu penari Jaipong atau siapa tau sindennya juga masih muda. Tapi kalau dibatalkan, mana bisa dia melakukan itu?
Impiannya memiliki istri cantik lagi-lagi tinggal mimpi.

Pemuda itu merebahkan diri di ranjang. Ia mengambil posisi miring dan memutar kotak kaca di nakas sehingga wayang itu kini menghadapnya.
"Kau tahu, bicara soal wanita, aku jadi teringat lagi pada Yayu," ujarnya pada wayang itu. Acara mengenakan pakaian pun terlupakan. "kenapa dia menolakku, ya? Padahal aku sudah banyak berkorban untuknya."

"Makanya, sebelum melakukan sesuatu, pikirkan dulu baik-baik apakah itu baik untukmu atau tidak."

Zidan terperanjat, ia segera bangun dari tidurnya dan mengedarkan pandangan pada seluruh ruangan, tidak ada siapa-siapa.
"Siapa?"

Tidak ada jawaban. Namun, ketika Zidan menatap kembali pada wayang di dalam kotak, benda mati itu tengah menatapnya dengan mata merah.
"Sejak kapan Batara Guru bermata merah?" Gumamnya lagi.

"Sejak aku menempati wayang ini." Asap putih menguar dari wayang yang kini terlihat bergetar. Secara perlahan, asap itu menyatu dan membentuk sesosok manusia, sampai akhirnya berwujud manusia seutuhnya.

Seorang lelaki berpakaian mirip dengan wayang batara guru itu berdiri tepat di hadapan Zidan yang sudah beringsut mundur. Ia menatap sosok laki-laki di depannya dengan mata terbelalak karena terkejut sekaligus takut. Tangannya dengan gemetar terangkat dan menunjuk pada sosok lain dalam kamarnya.

"S-siapa kau?"

Lelaki itu memandang intens pada Zidan yang masih belum mengenakan pakaian. Ia melangkah semakin dekat pada Zidan yang justru semakin menjauh.

"Kail sebentuk, umpan seekor, sekali putus, sehari berhanyut. Jika kau melakukan sesuatu tanpa dipikir terlebih dahulu, bukan keuntungan yang akan kau dapatkan." Lelaki itu merangkak naik ke atas ranjang. Tangannya terulur mendekati kaki Zidan yang tengah meringkuk ketakutan. Namun, belum sempat tangan itu mencapai tujuannya, Zidan terkulai lemas karena pingsan.

"Pingsan? Padahal aku hanya ingin menyelimutinya." Lelaki berpakaian bak mahabarata itu meraih selimut yang memang berada tepat di bawah kaki Zidan dan menyelimutkannya di tubuh telanjang pemuda yang pingsan itu. Setelah yakin tubuh Zidan tertutupi, Lelaki itu kembali menghilang.

To be continued ....

Roh Penghuni Wayang GolekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang