Chapter 23

459 70 6
                                    

Peribahasa : Anjing terpanggang ekor.

===================

Nanda menyerang, keris terhunus tepat pada jantung Agung. Pria berambut keriting itu menangkis dengan cara menendang tangannya. Keris itu terlepas dari genggaman.  Anehnya, keris yang Agung yakini adalah salah satu benda pusaka dari koleksi gurunya itu selalu kembali tergenggam di tangan Nanda.

Sekali lagi, Nanda menyerang Agung, kali ini dengan sebuah tebasan. Agung berusaha menangkis, tapi sayangnya keris itu berhasil menggores luka di lengannya.

"Uh ...." Luka gores itu seketika terasa panas bagai terbakar, membuat Agung meringis karenanya.

Agung adalah roh yang seharusnya tidak bisa dilukai oleh benda dari beda alam. Agung itu bisa membuat dirinya tidak bisa disentuh,  ingat? Tapi anehnya, setiap kali keris itu berusaha melukainya, ia seakan menjadi manusia yang masih hidup yang dapat dilukai dengan mudah. Selain itu, luka yang ditorehkan keris itu seperti mengandung racun yang perlahan menyebar, menghasilkan sensasi panas pada tubuh.

"Sekarang ini, kau pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa melukaimu, padahal kau ini roh. Iya, 'kan?"

Agung menyipitkan mata memandang Nanda. Aura yang menguar dari tubuh lelaki itu aneh baginya, Nanda terlihat berbeda dari pertama kali ia bertemu dengannya. Aura yang suram itu kini lebih pekat dari sebelumnya. Selain itu, walaupun selalu bertampang dingin, Nanda bukanlah orang yang mau repot-repon membalas dendam. Agung yakin, ada sosok lain dibalik semua perbuatan tidak wajar Nanda.

"Kau," ujar Agung penuh penekanan. "Kau bukan Nanda yang aku kenal lagi. Siapa yang memengaruhimu?" tanyanya kemudian.

Kekehan mengerikan meluncur dengan mulus dari mulut Nanda, ia menatap remeh pada Agung.
"Bukan yang kau kenal? Memangnya sejauh apa kau mengenalku? Kau bahkan tidak pernah peduli pada teman-temanmu."

Nanda mendecih, ia teringat pada kenangan masa lalu, di mana Agung datang ke sanggar tempatnya menuntut ilmu dan dalam waktu singkat merebut semua perhatian gurunya, impiannya untuk menjadi dalang yang dapat menggantikan gurunya pupus saat Agung dengan mudahnya menggeser posisi murid kesayangan sang guru yang sudah lama ia genggam.

Lelaki itu bahkan merebut kekasihnya tanpa perasaan. Seakan tidak memiliki dosa, ia dengan santainya menjalin hubungan dengan kekasihnya. Saat itulah kebenciannya pada Agung memuncak. Tidak hanya berhenti di situ, tidak cukup hanya dengan menyakiti hatinya, Agung pun membuat adik Nanda ikut merasakan sakit hati karena perbuatan lelaki itu.

Nanda bagai anjing terpanggang ekor. Penderitaan yang ia alami sejak kedatangan sosok Agung dalam kehidupannya membuat ia menaruh dendam begitu besar. Semakin hari, semakin besar hingga Nanda sendiri merasa kewalahan mengendalikan rasa bencinya.

Hingga pada akhirnya, bisikan itu terdengar. Bisikan yang menawarkan bantuan untuk membalas dendam. Di saat ia merasa putus asa, tentu penawaran itu tetdengar menggiurkan. Karena itulah ia menerimanya tanpa pikir panjang. Yah, berkat sosok si pembisik itulah kini ia bisa membuat Agung menderita.

Nanda menunduk, menatap pada Agung yang kini berlutut memegangi lengan yang lukanya semakin membesar setiap detik.

"Agung!" Zidan berseru dari sisi lain ruangan setelah menumbangkan orang ke lima dari musuhnya. Perasaan cemas seketika menguasai hatinya saat melihat Agung mulai terengah-engah.

Luka itu semakin membesar dan hampir memenuhi seluruh lengan kanannya. Zidan tidak mengerti apa yang terjadi, kenapa sosok roh seperti Agung bisa terluka karena seorang manusia biasa? Apa karena mantra-mantra aneh yang diucapkan oleh Nanda sebelum menyerang tadi?

"Jangan lengah, Zidan!"

Bersama dengan seruan Agung, benda tumpul dan keras menghantam kepala Zidan, membuatnya tersungkur dan kepala bagian belakangnya berdarah. Tiga orang anak buah Nanda mengunci kedua tangannya dan mengikat kembali pemuda itu.

Salah seorang dari ketiga anak buah Nanda mengeluarkan golok dari sarungnya, lalu mengambil posisi siap membacok kepala Zidan.

"Mari kita lihat, seberapa hancurnya kau jika aku merenggut orang yang kau cintai itu." Nanda menyeringai, dengan sorot mata yang semakin menggelap penuh kebencian, pria itu berbisik,
"Nyai, datanglah. Hamba telah mendapatkan tumbal untuk Nyai."

Hawa sekitar semakin dingin dan mencekam dari arah salah satu pintu yang diyakini Zidan adalah kamar mandi tiba-tiba terbuka, menampilkan sebuah ruangan nyaris gelap dengan segala sesajen. Dari dalam ruangan itu, sesosok buaya putih raksasa merangkak masuk ke dalam kamar.

"Selamat datang, Nyai. Hamba mempersembahkan pemuda itu sebagai tumbal untuk Nyai."

To be Continued ....

Roh Penghuni Wayang GolekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang