Chapter 17

545 76 9
                                    

Peribahasa : Kecil-kecil cabai rawit.

========================

Suara alat musik saling bersahutan, menciptakan irama yanh mengalun merdu. Seorang gadis cilik maju ke tengah panggung dengan kebaya serta riasan wajah. Dengan anggun gadis itu meliukkan tubuh seirama musik. Gerakan khas jaipong dapat gadis itu peragakan dengan begitu baik.

"Padahal masih kecil, tapi tariannya sudah begitu memukau ... kecil-kecil cabai rawit," komentar Zidan, kagum pada kelihaian gadis di atas panggung.

"Sanggar Jaya Giri selalu melatih anggotanya dengan baik. Baik itu penari, dalang, mau pun pemain musik." Agung keluar dari wayang itu dan duduk di samping Zidan yang kebetulan kosong.

"Hei, apa tidak apa-apa kau keluar? Bagaimana kalau ada yang bisa melihatmu lagi?" Zidan menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan orang-orang di sekitar tidak ada yang mengetahui keberadaan Agung yang memakai pakaian persis Batara Guru.

"Tidak akan ada," jawab Agung, tatapannya lurus ke depan, pada sosok pria yang memakai beskap, salah satu baju adat Sunda. serta bendo di kepala. Ia terus memperhatikannya hingga pria itu menghilang di balik panggunh yang mirip podium itu.

Sosok pria yang ia kenal sebagai anak dari Ki Asep Sunandar itu membuatnya teringat kembali pada cita-citanya menjadi seorang dalang profesional. Namun sayang, cita-cita itu tidak akan pernah terwujud karena dirinya kini telah menjadi roh.

Agung teringat pada kejadian lima tahun lalu di mana ia untuk pertama kalinya tampil di hadapan banyak orang serta di depan dalang senior, Ki Asep Sunandar pun ada di sana saat itu. Sudah menjadi tradisi untuk setiap calon dalang untuk melakukan pertunjukan di tujuh tempat dan tujuh lakon berbeda sebelum benar-benar diakui sebagai seorang dalang. Di setiap pertunjukan itu, selain para penonton dari daerah sekitar, dalang-dalang senior juga akan menyaksikannya.

Penampilan perdananya lima tahun lalu menjadi hari paling berarti sekaligus menyakitkan bagi Agung. Di hari itu, ia satu langkah lebih maju untuk mewujudkan cita-cita, ia pun nyaris meraih cinta. Tapi sayang, di hari yang sama, cita-cita dan cintanya hilang.

Zidan menangkap dengan jelas sorot mata penuh rindu Agung tujukan pada objek di atas panggung. Wayang berjejer di sisi kiri-kanan, lantunan musik khas Sunda memenuhi pendengaran, lantunan kawih yang dinyanyikan sinden. Semua itulah yang dirindukan lelaki di sampingnya ini.

Pertunjukan wayang dimulai, lakon kali ini mengisahkan tentang semar atau Ismaya yang berniat menikah lagi dengan seorang putri dari sebuah kerajaan yang diyakini sebagai titisan dari istrinya di mayapada.

Senyum cerah terkembang di bibir Zidan, pasalnya lakon inilah yang paling ia sukai. Zidan sering berkhayal bagaimana kalau dialah yang menjadi lakonnya. Pasti akan sangat membahagiakan jika ia mendapatkan istri yang bisa menerima dirinya apa adanya seperti istri Semar.

"Itu mustahil, zaman sekarang sangat sulit mencari wanita seperti itu," celetuk Agung, membuyarkan khayalan Zidan.

"Sekedar menghayal saja tidak apa, 'kan? Kau merusak kesenanganku saja.

"Pengkhayal."

Zidan mengerutkan kening, kesal. Ia bangkit dari duduknya dan melengos.

"Mau ke mana?" tanya Agung.

"Beli minuman di belakang. Kau di sana saja, tidak jauh, kok." Sosok Zidan menghilang di balik kerumunan.

Tidak begitu memedulikan, Agung melanjutkan acara menonton wayangnya dan tenggelam dalam jalan cerita. Ketika pertunjukan selesai, barulah ia sadar, Zidan sama sekali belum kembali ke tempat duduknya.

'Ke mana dia?' pikirnya.

Ia bangkit dari duduknya, mengedarkan pandangan dan sama sekali tidak menemukan sosok Zidan.

"Ugh ...." Agung meringis kala merasakan sakit di bahu sebelah kirinya. Lengan kirinya itu bahkan menjadi sulit digerakkan.

Menyadari ada yang tidak beres, ia semakin gencar mencari sosok Zidan di antara orang yang berlalu lalang. Merasa sulit menemukan Zidan di bawah, ia pun memutuskan untuk terbang dan mencarinya dari atas.

Dari atas sana, jangkauan penglihatannya menjadi lebih luas. Menyapukan pandangan ke sagala penjuru arah, atensinya berheti pada sebuah wayang yang sangat di kenalinya tergeletak di tanah tanpa si pemilik. Ia turun ke bawah dan mendarat tepat di samping wayang itu.

Diraihnya wayang yang telah rusak di bagian lengan kiri. Dalam benaknya berkeliaran pertanyaan tentang di mana keberadaan Zidan saat ini.
Kemudian ia tersentak saat sebuah eksistensi dari dunia lain muncul di hadapannya. Sosok itu menunjuk pada sebuah mobil yang melaju menjauh dari Balai Kota.

Agung memperhatikan mobil itu dengan seksama, mencoba mengingat apa ia pernah melihat mobil berplat nomor unik itu atau tidak.

Lalu tiba-tiba, sebuah ingatan akan mobil itu berputar dalam benaknya. Tidak salah lagi, itu adalah mobil kesayangan dari orang itu. Mungkinkah Zidan ada bersamanya? Agung berharap, pemuda itu tidak benar-benar bersamanya.

To be Continued ....

Roh Penghuni Wayang GolekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang