Chapter 25

487 69 5
                                    

Peribahasa : Bagai anjing dan kucing.

===================

Agung melirik dari ekor matanya pada Zidan yang masih belum juga bergerak dari tempatnya.
'Apa benturannya terlalu keras?' pikirnya mulai merasa cemas. Mengingat hantaman pada kepalanya begitu keras beberapa waktu lalu.

Siluman buaya putih secara tiba-tiba menyerang. Ia membuka mulutnya lebar-lebar dan berusaha menerkam Agung. Untungnya, lelaki itu bisa dengan segera menghindar.

Walaupun Agung adalah roh, Buaya di depannya ini bukanlah buaya biasa. Agung harus waspada pada setiap gerak-gerik predator jadi-jadian itu. Bagaimana pun sosok itu adalah siluman buaya yang akan dengan mudah melukai dirinya.

Fokus Agung kini tertuju lurus pada siluman itu sepenuhnya. Bagaimana pun caranya, sosok di depannya ini harus dilenyapkan dari muka bumi ini, mengingat bahaya apa yang akan ditimbulkan olehnya.

Siluman itu secara tiba-tiba berubah menjadi seorang wanita cantik berambut ikal, menatapnya dengan seringai yang membuat siapa pun merasa kesal sekaligus takut.

"Saat ini aku sangat senang. Sebuah keberuntungan bagiku mendapatkan dua jiwa yang saling terhubung. Dengan begitu kekuatanku akan berlipat ganda."

Sosok itu berlari dan menerjang Agung. Membuat lelaki itu mundur untuk menghindari serangan, tapi sayang,  lelaki itu malah terpeleset dan jatuh telentang. Siluman wanita itu menyeringai semakin lebar, ia kini merangkak di atas tubuh Agung yang telentang.

"Pertama-tama, kaulah yang harus mati." Buaya putih itu menjilat bibirnya sendiri dengan sensual. Membayangkan betapa nikmatnya roh lelaki di bawahnya ini. Tatapan penuh intimidasi Agung dapatkan dari manusia buaya itu.

"Aku tidak tahu jika hubunganmu dan dia yang bagai anjing dan kucing bisa sampai separah ini. Padahal setahuku, kalian ini sudah seperti sepasang saudara."

Agung tersentak kaget mendengar suara itu. Dalam posisi berbaringnya, ia menatap pada Zidan yang terengah-engah.

Tangan Zidan yang tadinya terkulai lemah kini terangkat, menyentuh kepalanya. Tubuh Zidan bergetar dan ringisan samar terdengar, darah belum juga berhenti dan mengalir melewati leher.

Tubuh itu masih bergetar, kali ini disertai dengan kekehan Zidan. Agung mengernyit bingung, kenapa pemuda itu malah terkekeh di saat dirinya dalam bahaya?

Zidan mengangkat kepalanya dan menatap dua sosok yang tengah berada dalam posisi saling tindih itu.

"Agung," panggil Zidan sembari berjalan mendekati Agung, disambut desisan siluman buaya yang memang sudah sangat tertarik pada jiwa Zidan.

Mendapati calon tumbal utamanya telah siap bertempur. buaya putih itu tanpa pikir panjang, beralih menerjang sosok Zidan. Namun anehnya, buaya putih itu malah terpental sebelum berhasil meraih Zidan.

Sebuah denyutan di kepala kembali terasa,
Zidan merasa kepalanya begitu sakit. Selain akibat dari hantaman keras di kepala, ada hal lain yang membuat sakit kepalanya bertambah.

Berbagai potongan ingatan berkeliaran di kepalanya saat ini. Ingatan asing namun terasa familiar baginya. Ingatan yang dulunya tak ia ketahui milik siapa, kini ia tahu. Ingatan itu adalah miliknya yang sudah lama hilang.

"Ukh ... ini lebih sakit daripada luka lima tahun lalu akibat tertimpa atap panggung bersama Agung," keluhnya saat kepalanya kembali berdengut tidak karuan.

Suara Zidan memang samar, namun masih dapat didengar oleh Agung, membuat pria itu terperangah dan dengan cepat menghampiri Zidan.
"Kau ingat?" tanyanya penuh harap, sangat berbeda dengan dirinya yang biasa.

Zidan menatap intens Agung selama beberapa saat sebelum kemudian menoleh ke arah lain.
"Ya, semuanya." Rautnya berubah sedih kala memory di mana ia menjadi saksi kejadian memilukan itu.
"Maaf, karena aku, kau jadi harus menunda cita-citamu."

Agung menatap Zidan yang menunduk, pemuda ini ternyata merasa bersalah atas apa yang menimpa Agung. Yah, bisa dibilang, Agung meregang nyawa setelah menolongnya.

"Jangan dipikirkan, aku melindungimu karena aku mau." Agung mengibas-ibaskan tangannya, memberi gestur bahwa ia tidak menyalahkan Zidan atas kematiannya.

Satu detik kemudian, Agung terdiam. Kedua matanya terbelalak lebar saat menyadari sesuatu.

"Tunggu dulu! M-menunda? M-maksudmu, aku ...."

Agung terpaku menatap kedua iris cokelat yang menyorot teduh padanya dan sebuah senyum yang terkembang.

To be continued ....

Roh Penghuni Wayang GolekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang