Chapter 15

538 69 6
                                    

Peribahasa : Setali tiga uang

=====================

"Zidan melirik pada Agung yang tengah memperhatikan setiap sudut ruangan, sepertinya lelaki itu tengan mencari sesuatu—seseorang.
‘Apa mungkin mencari Gurunya?’

Agung menoleh padanya saat mendengar apa yang tengah dipikirkan oleh Zidan. Keduanya saling bertatapan dalam diam, dalam hati, Zidan kembali berkata,
‘pergilah cari Gurumu, dia biar aku yang tangani.’

Tatapan mematikan Agung tertuju padanya, pertanda bahwa lelaki itu tidak setuju pada saran yang diajukan. yah, Zidan sudah menduganya sejak awal. Lelaki tidak kasat mata itu memang keras kepala.

Sementara itu, pemuda lain dalam ruangan yang segala ornamennya bertemakan wayang itu meraih pisau lain dari saku pangsinya. Berbekalkan sebuah pisau lipat, pemuda itu berlari menuju Zidan. Menghunuskan benda tajam itu ke arah dada, Zidan nyaris saja tewas kalau saja Agung tidak menarik tubuhnya.

“Refleks yang bagus,” komentar lelaki yang tidak diketahui siapa namanya.

Naon kahayang Anjeun? Di mana Guru kaula? (Apa mau mu? Di mana guruku?)” Agung menatap semakin tajam ketika lawannya menampilkan seringai khasnya.

Seringai itu semakin lebar, menampilkan gigi gingsul miliknya.
“kalau kukatakan jika Gurumu telah mati kubunuh, kau mau apa?”

Zidan tidak tahu apakah Agung menghilangkan diri atau kecepatan berlarinya yang sangat cepat. Yang jelas, lelaki itu sudah berpindah tempat. Ia merenggut kerah pemuda itu kasar dan membantingnya hingga jatuh telentang.

“Mati ...,” desis Agung.
Salah satu jemari mencengkram kuat leher pemuda itu, sementara tangan lain kuku-kukunya berubah panjang dan tajam, siap mengoyak daging pemuda di hadapannya. Mata merah itu menggelap, emosinya semakin lama semakin meluap, tidak terkendali.

“Heh, kau dan Gurumu setali tiga uang, ya? Mudah marah jika menyinggung orang yang dicintai.”

Gigi Agung bergemeretak, kemarahannya semakin memuncak. Ia mengangkat tinggi tangannya dan bersiap menembus dada pemuda itu. Zidan yang melihat Agung mulai hilang kendali tentu saja khawatir, takut jika Agung berubah menjadi roh jahat. Ia melangkah mendekat tanpa keraguan sedikit pun. Tepat sesaat sebelum Agung berhasil membunuh, Zidan mencengkram tangan berkuku panjang itu kuat. Mencegahnya melukai lawan.

Tidak seperti biasanya, jika bukan keinginan Agung, dirinya tidak akan bisa menyentuh Agung. Tapi sekarang, ia dengan mudah menyentuhnya. Itu berarti, pengendalian diri Agung semakin menipis.
‘Ini gawat!’

“Sadarlah, Agung. Kau tidak boleh membunuh dalam keadaan hilang kendali seperti ini.” Zidan mencengkram tangan itu semakin kuat.

Agung tersentak, ia menatap Zidan dengan napas tak beraturan akibat emosinya yang sempat meluap. Mencoba menenangkan diri, ia menarik napas beberapa kali. Setelah merasa cukup tenang, lelaki itu menarik pemuda di bawahnya hingga terduduk. Tangan si pemuda diposisikan di belakang tubuhnya.
“Zidan, carikan aku tali.”

Tanpa berkata apa pun, Zidan mendekati sebuah lemari dan membuka laci satu persatu untuk mencari tali yang diminta. Namun, yang ia temukan hanyalah sebuah kabel hitam.
“Aku tidak bisa menemukan talinya, ngan aya ieu. (hanya ada ini.)” Ia mengangkat kabel itu untuk memperlihatkannya pada Agung.

Teu nanaon, bawa kadieu. (tidak apa-apa, bawa ke sini.)”

Zidan menyerahkan kabel itu pada Agung dan dengan cekatan, Agung mengikat lawannya dengan kabel tersebut. Sementara Zidan meraih gagang telepon rumah.
“Aku akan menelepon polisi,” ujarnya memberi tahu.

Agung menegakkan tubuh begitu selesai mengikat pemuda itu, mengedarkan pandangan kesegala penjuru mengamati sekitar.
“Setelah memanggil polisi, kaluar ti dieu, meh teu riweuh. (keluar dari sini, supaya tidak repot.)” Setelah mengatakan itu, Agung menghilang dari pandangan.

‘Mungkin ia sedang mengecek lantai atas untuk mencari gurunya,’ pikir Zidan.

Agung muncul di sebuah kamar yang ia ketahui adalah kamar sang guru. Namun, kamar itu kosong, tidak ada siapa pun di sana. Pantas saja gurunya itu tidak muncul saat di ruang tamu terjadi keributan.

‘Ka mana? (ke mana?)’ pikirnya. Perasaan lelaki itu semakin tidak karuan, ia memiliki firasat buruk tentang ini. Entah apa yang akan terjadi nanti, ia hanya berharap, firasat buruknya tidak pernah terjadi.

To be continued ....

Catatan : Karena akan di revisi, mungkin akan ada sedikit perubahan untuk Chapter sebelumnya.
Terima masih.

Roh Penghuni Wayang GolekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang