Setelah membeli kebutuhan anak kecil iu, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah dan Varrel menawarkan untuk mengantar Neira. Varrel melihat wajah pucat Neira juga bibir gadis itu yang sudah mulai pecah-pecah. "Sakit lo? Bisa sakit juga, lo?"
Neira menghentikkan gerakan tangan Varrel ketika pria itu sudah hampir menyentuh keningnya. "Panas dalem. Biasalah..."
"Orang gila, liat sekarang siapa yang gak bisa jaga diri..." Varrel menyingsingkan lengan bajunya, menuangkan air hangat ke gelas minum lalu menyerahkannya pada Neira
Diantara mereka berdua, Karan sibuk memainkan crayonnya dan tidak peduli dengan dua orang dewasa di dekatnya. Anak itu hanya terlalu bahagia Varrel mau menemani mereka menghabiskan sore ini.
Tidak lama, Karan menoleh kepada Neira lalu tersenyum, "Punya Papa, boleh kasih ke Papa?"
"Gak boleh, ya. Kita simpen aja gimana? Nanti aja dikasinya kalo udah dibingkai..." jawab Neira sambil tersenyum kepada Karan
Varrel memperhatikan gerakan tangan dan raut wajah Karan yang berubah seperti kecewa. Menatap Neira kembali yang sudah menepuk-nepuk lengan anak kecil itu sambil membisikkan sesuatu. Lalu perempuan itu tertawa begitu saja.
Sudah lama Varrel tidak melihatnya. Ketika Neira tersenyum dan tertawa seperti itu, yang membuat Neira terlihat seperti manusia biasa pada umumnya.
Yang Varrel lihat dulu adalah bagaimana sombongnya Neira ketika berhadapan dengan kaum pria. Sulit ditaklukan juga sangat tidak mudah membagi senyum manisnya.
Eh? Otaknya bergeser sepertinya.
"Dia bilang apa?"
Neira menoleh kepadanya sambil terus menepuki lengan Karan dengan pelan. "Mau ngasi gambarnya buat lo. Keren, kan? Ponakan gue..."
"Oh... Ya, udah tinggal kasih..." kata Varrel lalu tersenyum kepada Karan yang sudah menatapnya
Ya ampun. Mata bundar Karan membuat Varrel gemas ingin mencubiti pipi anak itu. Hanya saja dia menelan ludah mengingat Neira pasti akan menghajarnya jika macam-macam dengan keponakannya
"Ya, gak bisa. Harus dibingkai dulu, biar lo tau kalo ini hadiah. Lo kan suka buangin barang, Rel..."
"Ya, ampun. Segitu negative thinkingnya lo ama gue, Ra. Itu kan barang mantan, ya masa gue koleksi..."
Neira mengibaskan tangannya lalu menuangkan air minum untuk Karan. "Mimik dulu, habis itu makan ya..."
Karan menganggukkan kepalanya dan tertawa tanpa suara. Anak laki-laki itu kemudian membereskan perlengkapan menggambarnya dan beralih menuju kamarnya sendiri meninggalkan Varrel dan juga Neira di ruang tengah.
Pria itu hanya memperhatikan bagaimana Neira menatap Karan yang sudah menghilang dibalik pintu. Dia tidak menyangka Neira akan berubah selama ini. Ditambah lagi, sekarang Neira terlihat lebih mengurusi hidupnya. Mungkin hanya untuk menutupi jejak karena merawat anak kakaknya, kan? Baiklah, Varrel mengangguk mengerti.
Suara gemerincing gelang kaki Karan kembali terdengar dan anak laki-laki itu membawa satu buah mobil-mobilan di tangannya.
Varrel menerimanya dengan bingung. "Euh... Kasih Om?"
Karan mengangguk sebagai jawaban kemudian kembali memberikan isyarat dengan gerakan tangannya, "Aku punya dua, Papa satu, aku satu. Jadi kalo Papa jauh, papa bisa mainin mobilnya..."
Neira menghela nafas panjang dan melirik Varrel. Sudah jelas pria itu tidak mengerti dan memilih berbohong sekali lagi. "Ambil aja. Dia punya dua katanya. Jadi kalo lo kesini lagi ada bahan mainan..."
"Nyindir, lo? Beneran itu yang dia bilang?" Varrel menerima sambil menatap tajam Neira sekilas lalu tersenyum dan mengacak rambut Karan, "Makasih... Nanti kita main bareng ya? Om beliin yang banyak..."
"Halah..." Neira mencibir. "Pulang, gih. Udah mau malem. Gak bagus cowok gila kayak lo di rumah cewek baik-baik kayak gue..."
Varrel melihat Neira bangkit dari duduknya, dia melakukan hal yang sama sambil mendengus tidak rela. "Yang bener dong, ngusir gue gak gitu juga kali" pria itu menatap Karan kemudian
Anak laki-laki itu sudah melirik bingung kepada dua orang dewasa di sekitarnya. Varrel mengacak rambutnya pelan dan Karan terkikik tanpa suara
"Besok Om bawain mobil lain sebagai gantinya, oke?"
Kembali anak itu menjawab tanpa suara juga dengan isyarat, "Oke. Makasih Papa..."
Neira memandang datar berusaha menyembunyikan desahan nafas kesalnya. Segera dia mempersilahkan Varrel untuk pulang dan membiarkan laki-laki itu melambaikan tangan sebelum memasuki mobilnya.
Karan yang sudah terlalu senang kemudian hanya melambaikan tangan sambil melompat-lompat kecil.
Neira berjongkok kemudian berbisik pelan kepada Karan, "Karan, jangan terlalu banyak gerakannya..."
Anak itu mengangguk tapi masih tetap melambaikan tangan kepada Varrel sampai mobil itu menghilang dari pandangan mereka. Karan memutuskan menoleh menghadap Neira dan memandang Mamanya itu, "Kapan kita bilang kalo Karan anaknya Papa?"
"Emangnya Karan mau Papa sedih kalo Karan nanti gak ada di samping Papa lagi?"
Karan menunduk dan tidak berapa lama menggelengkan kepalanya.
Neira mengelus puncak kepala anaknya dengan pelan. "Gak apa-apa, kan? Cuma satu minggu ini aja, sayang. Mama bakalan lakuin apapun supaya kamu bisa ketemu Papa terus. Oke?"
"Makasih, Ma..."
...
Eh mau tamat nih guyyyssssssssss, kita marathon yessssss
Btw yg mau liat baby Karan ada di part 22
Tp disini jg gpp
SihPokoknya Karan yg ini kalo buat aku. Wkwkwk gatau kalian
KAMU SEDANG MEMBACA
SS
RandomA Week Challenge. Written inspired by true events (with bunch of editing and twists)