20

3.9K 417 25
                                    

Ketika Neira membuka pintu rumahnya, dia menemukan Varrel sedang menggendong Karan yang tertidur dan membawa tas sekolah anaknya.

"Makasih..." Neira dengan cepat mengambil Karan dari gendongan pria itu. Bahkan dengan sigap mengambil peralatan sekolah Karan lalu menepuk-nepuk punggung anaknya

"Eh, lo..." Varrel menelan ludahnya seketika, kasihan dengan Neira yang membawa Karan juga tas sekolah anak laki-laki itu

"Udah biasa..." jelas Neira lalu melihat ke luar pagar rumahnya, "Makasih, ya. Maaf ngerepotin..."

Varrel menaikkan satu alisnya. Pertama kalinya dia mendengar Neira mengatakan maaf juga terima kasih dalam satu kalimat. Sungguh bukan perempuan itu. "Gue bantuin gendong ke dalem?"

"Gak perlu. Lo balik aja. Gue ada tamu habis ini. Sekali lagi makasih, ya..." Neira membalikkan tubuhnya, menutup pintu lalu menguncinya tidak peduli kalau Varrel masih berada di luar sana

Dia cepat-cepat membawa Karan ke kamar anak laki-laki itu dan menidurkannya. Neira terbatuk beberapa kali sampai akhirnya memejamkan mata sebentar.

"Lo sakit?"

Astaga. Jantung Neira nyaris saja copot mendengar suara itu. Kenapa Varrel bisa masuk ke kamar anaknya? Bahkan pria itu sudah berdiri di depan pintu anaknya.

Buru-buru Neira bangun lalu melangkah mendekati Varrel dan mendorong pria itu keluar. Jangan sampai masuk ke dalam kamar Karan karena dia tidak mau ada jejak Varrel di kamar anak laki-lakinya itu.

"Lo ngapain masuk, sih?" Desis Neira sambil menarik Varrel untuk menuju ke ruang tamu

"Pintu samping gak lo kunci, Ra..." Varrel meringis pelan kemudian

Sadar kalau pria itu sepertinya kesakitan, Neira melepaskan cengkramannya dengan sigap membuka lengan kemeja Varrel. "Ck. Ngapain lagi lo sampe memar gini?"

"Mainan sama ponakan lo, ama ponakan gue. Lari-lari terus---"

"Lari-lari?" Neira mencelos. Dia menganga dan kemudian menjadi tidak tenang. Karan dan lari-lari adalah dua kata yang tidak boleh disatukan

"Chill. Cuma mainan doang sama makan waffle" pria itu dengan santainya menjelaskan kepada Neira. Tidak menyadari sepanik apa Neira mendengar penjelasannya

"Gak chill kalo yang lo ajakin lari itu ponakan gue, Rel. Emaknya bisa ngamuk sama gue..."

Varrel menggelengkan kepala kemudian, "Tumben lo takut sama orang. Biasanya..."

"Itu dulu" tegas Neira, "Sekarang gue bisa takut sama orang. Begal, rampok, preman. Tuh gue takut..." Neira memilih beralih kepada kotak obatnya lalu mengambil salep yang kemudian dia bawa ke hadapan Varrel, "Sini tangannya..."

Varrel tidak banyak membantah, mengulurkan lengannya yang kemudian diolesi salep kepada bagian yang membiru

Neira melakukannya dengan diam sebelum akhirnya menyentak tangan Varrel dan berkata dingin kepada pria itu, "Pulang, gih. Udah gak ada urusan lagi kan lo? Gue mau ada tamu..."

"Tamunya lebih penting dari gue apanih? Sampe diusir segala. Padahal mau ngobrol banyak kan udah lama gak ketemu, Ra..."

"Iya..." Neira menaikkan satu alisnya, "Bokap gue. Yang dateng. Jadi mending lo balik..."

"Oke..." Pria itu menganggukkan kepalanya mengerti. "Lo sakit?"

"Iya. Gue manusia kali, Rel. Bisa sakit juga. Terus? Kenapa? Gak suka ya gara-gara Karan jadinya dititipin ke lo sama kak Lintang? Gue sakit, sih. Makanya gue nitipin Karan kesana kemari soalnya gue lagi gak enak badan..."

Varrel kembali menganggukkan kepalanya. "Sebenernya ada yang pengen gue tanyain ke lo, soal... Yang lo pindah sekolah waktu itu..."

Setelah pulang dari Bali, Priscilla mengatakan adiknya itu tiba-tiba harus pindah sekolah dan kemudian kedua adik kakak ini menghilang begitu saja. Aaron juga sama tidak tahunya ketika Varrel menanyakan dimana Priscilla. Tapi toh dia tidak begitu mengambil pusing karena pada akhirnya dia tahu mereka akan bertemu lagi seperti sekarang.

Neira menaikkan satu alisnya. Dia terkekeh kemudian berusaha menghilangkan pikiran negatif Varrel, "Lo gak mikir gue pindah karena lo, kan?"

"Actually i did, yeah. Emang bener?" Tanya Varrel dengan tidak yakin. Jujur saja beberapa gosip mengatakan kalau dialah penyebab Neira pindah sekolah. Ada yang bilang karena Neira salah mengartikan kebaikan Varrel dan semacamnya. Sedikitnya, Varrel merasa tidak enak karena membuat gadis itu pergi begitu saja disaat terakhir kali mereka bertemu.

Sementara perempuan itu tampaknya hanya bisa menggelengkan kepala dan kemudian menjawab, "Ya, bukanlah bego. Gue pindah waktu itu lagi ada masalah. Lo gak usah tau ah, lo aja banyak masalahnya..."

"Oh, i see deh..." Varrel menerima jawaban sederhana itu, dia kemudian meringis pelan dan menatap Neira

"Yah..." Neira mengedikkan bahunya, "Gue ketemu temen lo kemaren, si Megan ya? Udah merit aja dia. Lo gak ngikutin tuh biar samaan sama dia?"

Varrel terkekeh lalu menggelengkan kepalanya, "Gak mau lah, gue. Tuh bininya bunting duluan. Sekarang jadi budak cinta dia" lalu pria itu bergidik kemudian, "Gue mah ogah..."

"Oh..." Neira lalu mengedikkan bahunya, "Siapa juga yang mau nikah kepaksa gitu, ya"

"Kita bukan golongan orang yang kayak gitu, Ra..." Varrel terkekeh kemudian mengedikkan dagunya, "Gue balik, ya. Thanks..."

"Iya, thanks udah balikin ponakan gue..."

"Gak di hati-hati di jalan Rel-in, Ra?"

Neira terdiam sebentar. Dia menatap pria itu cukup lama karena teringat hari-hari sekolahnya dimana Varrel hanya menggunakan motor dan dia mengantar sampai ke pagar rumahnya.

Varrel yang menyadari perempuan itu terdiam kemudian melambaikan tangannya dan memiringkan kepalanya, "Oke, deh. Gue bakalan hati-hati di jalan..."

"Hm..." Neira tersenyum sekilas dan kemudian mengantar pria itu sampai ke pintu rumahnya.























.......

SSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang