15

4.1K 365 14
                                    

"Nih..." Aaron melemparkan empat lembar tiket juga beberapa lembaran lainnya di hadapan Varrel

Anak cowok itu mengernyit tidak mengerti ketika dia membaca lembaran-lembaran di depannya. "Tiket? Hah? Lo transfer duit ke gue? Terus ini apaan?" Varrel menunjuk ke lembaran lainnya yang entahlah berisi apa, tapi yang jelas itu bukan surat biasa yang bisa didapatkan dalam tempo waktu tiga hari saja.

Bercanda si Priscilla, yang benar saja demi membuat adiknya menangis Varrel mendapatkan bayaran sebanyak ini.

"Nih..." Aaron menunjuk empat tiket di depan Varrel, "Nih, lo liburan sama temen-temen lo ke Bali. Nih..." beralih kepada bukti transfer yang diberikannya tadi, "Uang jajan... Noh... Lo mahasiswa di Nanyang..."

"Lah? Apaan sih itu anak? Becandanya gak lucu tau gak, sih... Balikin, Ron..."

"Udahlah terima aja, Priscilla sendiri yang ngasih ke gue. Lagian duit bagian gue udah gue pake. Gue gak tau tuh kenapa banyak banget dia ngasih bayaran... Tapi ya namanya rejeki bro, dinikmatin. Lo juga lagi butuh, kan?"

Varrel berdecak. "Gak halal, ni. Kalo ada apa-apa sama gue ntar gimana? Pesawat gue nyungsep atau gimana? Atau ternyata gue mati pas kuliah di sana..."

"Lebay, anjir. Udah lah pake aja. Kapan lagi kan lo dapet kesempatan? Lo bukannya pengen banget kuliah di luar, Rel? Ini nih jalan lo udah kebuka. LOA lo udah keluar. Lo tinggal santai aja..." kembali Aaron meyakinkan temannya ini

Varrel menggelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan kakak adik Harimukti itu. Adiknya suka banget buang-buang uang, kakaknya lebih parah lagi. "Kenapa gak bikin yayasan aja sekalian mereka..."

"Ini setau gue lo masuk dalem beasiswanya perusahaan bokap mereka. Rugi kalo lo tolak nanti sekolah lo kena blacklist..."

Cowok itu mengumpat dalam hati. Inilah dia tidak terlalu suka dengan Neira juga Priscilla. Kakak beradik itu sering sekali menganggap remeh dirinya. Hanya karena finansial Varrel berada di bawah mereka, baik Priscilla maupun Neira sering sekali mengeluarkan uang untuk dirinya kalau mereka berkumpul.

Entah itu uang makan, bensin, jajan, iuran, atau kalau-kalau Varrel membutuhkan sesuatu. Jujur saja dia risih, lebih seringnya malas karena dia merasa kedua anak perempuan itu seperti membeli dirinya.

Sayangnya kehidupan Varrel yang hingar bingar itu tidak dapat dia tinggalkan. Balapan, tes drive, vlogging, minum dan taruhan serta meniduri anak cewek orang itu sudah menjadi candu untuk Varrel.

"Si brengsek, Priscilla. Jadi bokapnya tau nih kalo dia masukkin nama gue?"

Aaron menganggukkan kepalanya, "Dia bilang lo itu cowoknya dan anak rajin yah segala macemlah prestasi lo dibanggain. Lolos deh..."

"Man..." Varrel mendesah sambil menggaruk kepalanya, "Kenapa jadi lebar kali tinggi gini masalah mereka?"

"Kenapa emang? Menang banyak, kan?"

Varrel menggelengkan kepalanya, "Gak anjing. Kemaren gue mutusin anak kepala dinas pendidikan itu, sekarang dia tau berarti kalo gue macarin kakaknya Neira. Duh, mampus gue. Itu lebih darurat dibanding ginian..."

Aaron melongo. Gila juga Varrel ini. "Demi? Wah, mending lo jelasin deh sebelum salah tanggep..."

"Udah salah tanggep, bego..." desah Varrel kemudian, "Aish. Bisa aja semua akademik gue dicabut sama dia. Waduh..."

"Lebay. Paling lo cuma gak dibagi kunci jawaban. Mangat..." Aaron menaik turunkan alisnya sambil tersenyum mencoba menghibur Varrel

Yang ada Varrel malah semakin berdecak malas karena ulah temannya ini. Tapi ujungnya dia mengambil juga apa yang diberikan Aaron dan menimpali laki-laki itu, "Habis ini gak ada lagi, lah..."

Aaron hanya menganggukkan kepalanya dan menaikkan satu sudut bibirnya."Diambil juga ujungnya, ckck Rel... Rel..."

SSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang