Awal dari segalanya adalah hari ini. Apa mungkin terulang ataukah hanya kisah saja yang sama. Diam dan bicara hanyalah satu dari sekian banyak pilihan dalam hidup. Jika hanya sesimple itu memutuskan suatu pilihan.
Ataupun rasa sakit hati seorang anak terhadap orang tuanya. Mungkin aku hanya salah paham. Atau salah menafsirkan segalanya. Tapi mata dan telingaku tak bisa bohong. Ini bukan masalah keluarga, agama ataupun ras apalagi suku. Aku memang bukan darah dagigmu. Namun aku lahir dari kasih sayangmu. Jika, kedewasaan membuat kita beda bukan berarti rasa cinta kasih dan baktiku sebagai anak akan pudar. Dialah yang menafsirkan dengan pikiran negatif. Hingga tangannya yang kekar berkali-kali menghantam ibuku yang lemah. Ini salahku bukan ibuku. Ini keputusanku. Pun dikala malam itu. Semua terjadi didepan mataku. Saat emosi membara, dia yang pulang dan menghancurkan segalanya. Aku yang masih 17 tahun menerima layangan tangannya. Demi melindungi ibuku.
"Apa yang kau dapat. Al. Coba kau katakan padaku. Kenapa kau masih saja pergi kesana."
Aku hanya bisa diam.
"Tenanglah pa, bukankah Al, sudah besar. Biarkan dia tentukan sendiri keyakinannya. Kita orang tua hanya mengarahkan."
Ibu coba menenangkan orang itu.
"Kenapa kau melindunginya." Suaranya meninggi. Vas bunga dan guci di jatuhkannya. Foto-foto dirampas dari dinding.
" Masuk kamar nak." Ibuku memaksaku naik ke kamar. Aku gak tega melihat ibu. Tapi kuputuskan masuk. Dari dalam kamar kudengar suara benda2 di jatuhkan. Suara tangis ibu. Membuat amarahku semakin menjadi. Kuambil koper kumasukkan semuanya. Aku yang masih menggunakan mukena tak kulepas. Kulari sambil membawa koper. Tepat di ruang tamu. Ibu bersujud didepan orang itu. Tapi orang itu malah menendang ibuku. Dia angkat tangan dan akan memukul ibuku. Aku berlari. Dan tepat waktu. Aku terkena pukulanya. Hingga terjatuh. Aku bangkit.
" Jika maumu aku pergi. Aku akan pergi. Tapi jangan kau sakiti ibuku." Kataku pelan tapi lantang.
" Al, sayang jangan pergi nak. Kalau Al pergi ibu ikut."
"Ibu, aku gak bisa ajak ibu. Caca butuh ibu. Al pasti baik." Aku memeluk ibuku. Tak kupedulikan lagi teriakan beliau. Karena hanya ini yang akan membuat ibu bahagia. Aku tak bisa membawa ibu. Karena aku belum tahu akan tinggal dimana apalagi ini sudah malam. Lalu aku ke masjid. Disana aku sendirian. Beberapa jam berlalu lalu pak ustad Rahmad mendatangiku. Beliau mengajakku ke jogja. Aku baru tahu kalau ustad Rahmad masih kerabat ayah kandungku. Kata beliau. Ayah adalah adiknya dan beliau bilang ayah mengamatkan aku pada beliau. Dan beliau disuruh ibu membawaku pulang ke jogja. Pun karena ibu tak punya kerabat. Sekali lagi hanya ALLAH yang selalu memberikan penyelesaian. Dan inilah awal yang pahit dalam hidupku. Aku bisa beekata seprti ini, karena aku menjalanu segalanya. Aku tidak bilang jika keluarga ayahku tidak baik. Yang ingin aku bilang bahwa ternyata hidupku jauh lebih sulit daripada mendengar ocehan orang itu. Jika kesusahan hidupku ini akan membuat ibu tak kena pukul atau marah lagi ku relakan saja. Apapun itu, demimu ibu.Sepenggal kisah yang mengiris relung hati. Jika kali ini aku mampu berkisah mungkin hanya padamu.
Kau tahu. Setiap malam dalam tidurku, aku selalu menangis. Keheningan malam adalah kesunyian hatiku. Bertahun lamanya aku tak pernah nikmati indah bermimpi. Hanya realita yang ada.
Jika hari ini aku ada disini bukan untuk membuka luka lama. Bukan pula untuk membalas dendam dihati.
Percayalah ikhlas aku.
Biarpun luka tak pernah hilang.
🌷🌷🌷
Kini malam datang. Selama perjalanan pulang yang kubayangkan adalah kasur yang empuk. Yang akan hilangkan lelahku. Kepalaku pening, bayangan massa lalu benar-benar menguras kepalaku. Jauh sebelum semuanya terjadi ada cinta bila kukenang kini semakin menambah luka.
Raka sejak tadi cemas melihatku yang pucat.
"Lana. Kamu gak papa. Aku anter ke dokter mau ya." Katanya lembut sambil membujuk.
Aku yang sejak tadi hanya menutup mata. Kini aku buka mataku. Kupaksakan otot-otot wajahku bergerak. Sebuah senyum yang aku paksakan.
"Ka, gak papa. Aku cuma butuh tidur."
Dia hanya diam. Tapi kutahu. Hatinya pasti cemas. Aku tak berdaya. Jika bukan karena Caca aku gak akan ada dirumah itu lagi. Jujur biar aku memaafkan tapi sebagai manusia aku tak bisa lupa. Bagaimana kekerasan hati orang itu. Telah membuat aku depresi. Aku takut akan suara kasar. Aku takut melihat orang bertengkar. Aku juga takut keheningan malam.
Jika Tuhan masih memberikan aku kekuatan sampai. Mungkin untuk membuat Caca bahagia. Cuma itu.
30 menit perjalanan,
Sekitar pukul setengah 11 malam kami tiba dirumah Caca. Aku tak mendengar yang terjadi. Raka mengangkatku ke kamar dan itu saja.Malam ini aku benar-benar larut. Malam panjang. Hidupku sebatas ini saja.
Menutupi massa lalu. Tapi tak bisa hidup buat hari ini.
Kini aku berada dalam taman yang begitu indah. Taman berbunga, berdekorasi putih. Aku hanya sendiri disitu. Tak lama aku berlari kutemukan seorang wanita yang kukenal. Ya itu ibu.
"Ibu" aku berlari ingin memeluknya. Saat aku ada dihadapannya. Tak bisa kusentuh.
"Cukup nak. Cintamu cukup memeluku nak."
Aku menangis deras sekali hingga aku keheranan. Kenapa air mata ini bisa membasahi ibu. Tapi aku tak bisa memelukmu bu.
"Jangan sedih nak, ikhlaskan. Tenanglah. Ibu gak pernah marah. Ibu menyayangimu. Jalani nak. Hilangkan amarahmu. Ibu senang melihatmu senang."
Ibu menenangkanku. Aku diajaknya berkeliling. Yang bisa kulihat hanya bunga bermekaran.
Jauh bahagia. Hari yang selalu kunantikan bertahun-tahun lamanya. Bersama ibu. Menghabiskan waktu. Berbagi kisah. Selayaknya pertemuan selalu ada perpisahan dan ini waktunya.
"Alana sayang, kamu harus bangun. Hadapi nak. Belum saatnya kita bersama. Percaya. Ibu selalu ada disini. Ayahmu juga ada bersama ibu. Tapi tak bisa melihamu nak."
"Aku ingin disini. Bersama ibu dan ayah." Kataku sambil merengek seperti anak kecil.
"Sayang bantu Ibu. Nak jalani hidupmu. Itu akan buat kami tenang."
Aku tak bisa lagi menolak. Ibu mengantarkanku ke sebuah pintu. Saat aku membukanya, sinarnya benderang. Aku masuki pintu itu. Aku berbalik badan dan kulihat ibu tersenyum padaku, disebelahnya kulihat ya itu ayahku juga tersenyum padaku. Akupun tersenyum. Dan harus kujalani, sekaligus kuselesaikan semuanya.
Kubuka mataku.
Ya Tuhan. Disini banyak orang. Ada Caca dan Raka. Caca tertidur di sebelahku dia duduk di samping ranjangku. Dan Raka tertidur di sofa.
Inila mereka aku harus hidup. Ya bu, aku akan siap.
🌷🌷🌷
KAMU SEDANG MEMBACA
Alana
General FictionMampukah Alana terus bertahan seperti ini. "Ya ALLAH, berilah aku kekuatan untuk terus bertahan. Membuka semua kisah. Menghapus rasa kesal dan sakit hati. Ya ALLAH balaskan rasa sakit yang kualami ini kepada dia yang menyakitiku. Sama seperti dia me...