TUJUH

1.5K 32 1
                                    

Satu minggu sebelum UAN

Untuk kesekian kalinya Rega dan Tesya berpapasan di lorong sekolah. Kali ini Rega nggak ngebiarin Tesya berlalu begitu saja dengan senyumannya.

Rega menarik tangan Tesya tanpa izin dan mendudukkannya di suatu bangku taman sekolah yang nampak sepi.

“Ada apa ini ? Kamu kok tiba-tiba….?”, Tanya Tesya.

Rega menjawab dengan santai, “Nggak ada apa-apa, kayaknya lama aja aku nggak ketemu kamu. Cuma pengen ngobrol, boleh kan?”

Pertanyaan itu terlontar dengan tangan Rega yang masih memegang erat tangan Tesya. Sepertinya mereka nggak menyadari hal itu.

“Owhh, oke. Nggak papa. Tapi, kayaknya hampir tiap hari kita masih ketemu deh.”, jawab Tesya dengan tegas.

“Mungkin bagimu seperti itu, tapi bukan pertemuan itu yang aku maksud. Ehmm, ya sudahlah lupakan soal itu. Ngomong-ngomong gimana kabar kamu?”

Rega berdalih mengalihkan topik pembicaraan yang sepertinya nggak disukai Tesya atau karena tesya nggak menangkap maksud dari Rega.

Saat ini, gimana Rega nggak merasa jauh sama Tesya, karena dulu setiap hari nggak ada kata tidak untuk nggak ketemu. Rega selalu antar jemput Tesya dan nggak jarang juga mereka berdua sarapan bareng di rumah Tesya.

Rega pasti menyambangi Tesya di kelasnya tiap ada waktu kosong. Diskusi atau berunding bersama itu sudah biasa. Entah dalam hal serius ataupun dalam konteks bercanda.

Secara kasat mata, mungkin Tesya terlihat sangat manja kepada Rega. Namun, Rega sama sekali nggak merasa dibebani dengan hal itu. Dan akhirnya semua orang menyadari bahwa nggak ada alasan besar kenapa mereka sampai putus. Kecuali Tesya dan pendirian hatinya.

Tesya mengikuti arah pembicaraan Rega.

“Owh, kabar ku baik-baik selalu. Dan bahkan semakin baik."

“Oh ? Semakin baik ?”, Tanya Rega mengisyaratkan sedikit kekecewaan.

“Ehm,, yah. Setidaknya tentang tatanan hidup aku. Oh ya, gimana persiapan UAN kamu, bentar lagi loh. Nggak ada rasa takut kan?”

“Nggak takut lah. Soal pelajaran, aku siap. Fisik juga siap. Hanya saja aku kekurangan dukungan moril, khususnya dari kamu.”

“Ahh, aku selalu mendukung kamu kok.”

“Baiklah, kalo kamu selalu mendukungku, aku minta satu permintaan ya. Nggak ada maksud apa-apa, kecuali aku memang butuh dukungan kamu. Aku mohon untuk kali ini, Sya. Kamu mau aku sukses dalam UAN kan?”

“Ehmm, yah kalo itu bisa bikin kamu semangat. Emang apa yang kamu mau dari aku?”

“Aku mau kamu nemenin aku saat UAN. Bukan berarti kamu duduk di sampingku, tapi aku mau seperti dulu. Kita berangkat bersama ke sekolah. Aku akan menjemput kamu setiap pagi. Hari itu kan kamu libur, jadi kamu harus bisa nemenin aku. Nanti sampai sekolah, terserah kamu mau apa. Tapi saat aku selesai mengerjakan soal, kamu sudah harus ada di dalam mobil dan aku akan mengantarmu pulang.”

“Itu permintaan apa sih ? Kamu yang serius doong. Kalo kamu harus antar jemput aku setiap hari, apalagi saat UAN, bukannya itu justru ngribetin kamu?”

“Pliss, Sya. Katanya kamu mau bikin aku semangat. Mungkin ini permintaan terakhir aku, sebelum kita pisah sekolah dan mungkin juga jarak kita yang  akan semakin jauh.”

“Oke oke. Aku turutin. Tapi kamu harus janji akan lulus dengan baik. Kalo nggak, kenal kamu pun aku nggak akan mau.”

“Setuju.”, reaksi Rega yang semakin erat menggenggam tangan Tesya. Dan saat itulah Tesya sadar bahwa tangannya dari tadi masih di genggam hangat oleh Rega.
Dengan tergesa, Tesya melepaskan tangannya dan berdiri.

“Aku mau kembali ke kelas dulu. Good luck yah, kamu pasti bisa. Aku yakin banget kok.” Rega hanya bisa melihat punggung Tesya yang semakin menghilang dari pandangannya.

Terbaik Untukku (CERPEN 2011)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang