Part 18

2.2K 96 0
                                    



"mas? Kenapa sih kamu masih betah juga tidur ? " aira bergumam dengan lirih, sambil membersihkan tubuh adimas menggunakam handuk dan air panas yang telah ia sediakan.

Lama ia menatap wajah suaminya yang terbarung di depannya dengan wajah damai, aira tak henti hentinya menitikkan air mata dan berlarut dalam kesedihan yang mendalam lalu bergumam dan masih tertawa kecil dengan air mata yang membanjiri pipinya.

"hehehe, mas tau gak? Jenis kelamin anak kita apa? " aira kembali bersuara kepada suaminya, meskipun ia tau bahwa suaminya tidak akan membalas perkataannya, ia terus berbicara kepada suaminya dengan semangat berharap suaminya akan sadar dari koma.

Setitis, dua titis air matanya telah jatuh untuk yang kesekian kalinya, "mas jangan kasi tau siapa siapa ya, janji? Terutama kepada bunda yang cerewet itu" aira bergumam dengan suara begetar ketika menyuruh suaminya untuk berjanji sambil mengait kan jari kelingkingnya ke jari kelingkin milik suaminya.

"kelamin anak kita laki laki loh mas, hehe pasti tampan kayak ayahnya nanti" aira bergumam lagi setelah  melepaskan kaitan jari kelingking miliknya ke jari kekingking adimas, sambil mengelus ngelus pipi suaminya yang sudah ditumbuhi bulu bulu halus.

Aira berdiri dan mengecup kening, mata, pipi, hidung, dan bibir suaminya bergantian, sambil menitikkan air mata nya yang tak bisa bekerja sama dengannya.

Dibalik pintu kamar inap adimas, berdiri sepasang sejoli yang menatap iba kepada sang penghuni didalam kamar 707.

Bara dan finia mengurungkan niat nya untuk masuk kedalam kamar inap adimas, mereka sama sama tak sanggup melihat kondisi yang aira alami, ia tak tega jika setiap hari melihat aira yang suka berbicara sendiri didepan adimas yang terbaring lemah tak berdaya, berharap adimas segera bangun dari tidur nya.

**

Aira melangkah kan kakinya keluar dari kamar inap adimas ia bermaksud ingin membeli persediaan air mineral yang sudah habis didalam kamar adimas.

Langkahnya terhenti didepan pintu kamar inap adimas, ketika melihat teman sekaligus sahabatnya sudah duduk manis didepan kursi tunggu(bara dan finia)

"Loh kok disini? Kenapa gak masuk bar fin?" Aira berkata sambil menghapus sisa air matanya tadi.

Bara dan finia tampak iba melihat keadaan aira yang berantakan, mata bengkak, hidung merah, dan perut semakin hari semakin membesar, ditambah lagi kandungan aira yang sudah genap memasuki bulan ke 9 .

Dokter bilang aira hanya tinggal menunggu hari saat saat melahirkan.
Maka dari itu dokter melarang aira untuk pergi keluar seorang diri, takut terjadi apa apa kepadanya, ditambah lagi dengan kondisi hatinya yang sedang tidak baik dikarena kan suaminya yang belum sadar dari koma, sudah genap 2 bulan adimas tak sadar kan diri.

"Mau kemana ra?" Bara bertanya saat aira membalikkan tubuhnya dan hendak berjalan meninggalkan mereka berdua didepan kamar inap adimas.

"Ini mau kekantik bawah sebentar, aira mau beli persiapan air mineral buat kamar mas adimas" aira berkata seraya tersenyum manis kepada 2 orang sahabatnya tersebut.

"Ya udah deh, kalau gitu biar aku aja yang beliin, kamu dikamar aja jagain adimas sama finia ya" sambil memberi isyarat kepada istrinya, bara segera melangkahkan kakinya untuk turun menuju kantin rumah sakit .

"Udah yuk masuk ra" finia berkata seraya menarik tangan aira untuk masuk kedalam kamar inap adimas.

***

"Fin?" Aira bersuara memecah keheningan yang menyelimuti didalam kamar adimas. Finia hanya bergumam dan melirik aira sahabatnya itu dengan tatapan iba.

"Nanti kalau aira ngelagirin, siapa yang mau adzanin anak aira" aira berkata menitikkan air mata dan ter senyum manis seraya menatap adimas yang terbaring lemah di atas ranjang, sesekali ia juga mengelus ngelus pipi suaminya itu.

Finia hanya bisa merangkul temannya yang sudah siap terisak akan kepedihan nasib yang menimpa diri nya. Finia hanya bisa membiarkan aira menangis dan mengeluarkan semua beban pikiran yang ada dihatinya, ia berdoa dalam hati semoga adimas lekas sembuh, ia tak sanggup melihat aira yang tersiksa seperti mayat hidup.

"Bangun mas, bangun kenapa gak bangun bangun sih? Hem ? Mas marah sama umai?" Aira berkata setelah melepaskan pelukannya dari finia, ia terus meracau dan terisak.

"Udah ra udah" finia kembali menenangkan aira dengan mengelua ngelus punggung nya. Ia pun ikut menangis melihat semua penderitaan yang dialami oleh aira.

****
"Ra? Makan dulu ya sayang, bunda udah bawain kami bekal kesukaan kamu" sudah sekian kali buk ida membujuk aira untuk makan, sudah dari tadi tak ada seorang pun yang bisa membujuk aira untuk makan, sedari tadi aira seperti orang stres yang ditinggal pergi oleh suaminya.

Ia hanya bisa termenung sabil menitiskan air mata, dan sudah berapa kali aira jatuh sakit dengan kondisinya yang sedang berbadan dua, ia juga sering demam tinggi, untungnya tidak terpengaruh terhadap janin yang ia kandungi.

Ustad indra juga sudah membujuk aira untuk makan, ia juga merasa iba kepada menantunya ini.

"Mas bangun yuk, udah pagi loh, mas gak lapar?" Kini aira bergumam lirih sambil membelai kepala suaminya, sontak semua penghuni yang ada didalam ruangan inap adimas  mulai dari, buk ida, pak edi, ustad indra, bara dan finia mereka menghela nafas dan menatap aira dengan tatapan iba.

Humaira Hamzelina  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang