9

922 79 11
                                    

Kim mengintip dari balik tembok kerumunan orang di depan pintu kamar rumah sakit. Tuan So, Kepala Sekolah, beberapa guru, dan tentu saja Rael, mereka berdiri menunggu dengan wajah panik di depan kamar Jimin tengah berbaring sekarang.

Kim meremas ujung seragamnya sementara air mata tak kunjung berhenti mengalir dari hatinya. Jungkook menatap nanar gadis di depannya itu. Sesekali melirik orang-orang di depan sana. Ia menyentuh bahu Kim. Mendesah pelan.

"Kau akan menunggu sampai mereka semua pergi?" tanya Jungkook pelan. Kim mengangguk tanpa repot-repot menoleh ke arah pemuda itu. Saat tak ada lagi suara yang keluar dari bibir Kim, Jungkook merasakan keheningan yang menyesakkan di antara mereka.

Jungkook memandang lurus punggung Kim. Ia tahu, sejak tandu itu membawa Jimin ke tempat ini, segala hal dalam benak gadis itu hanyalah Jimin. Seolah pria itu menjadi poros dunia bagi Kim.

Jungkook ingat betul bagaimana reaksi Kim ketika melihat Jimin terbaring tak sadarkan diri. Gadis itu membeku. Seolah jiwanya keluar dari raganya. Pandangannya kosong namun air mata terus membanjiri pipinya.

Kim seperti terombang-ambing dalam arus kebingunan antara mimpi dan kenyataan. Berharap jika semua hal yang baru saja terjadi hanyalah mimpi. Namun, ketika kenyataan memukul telak kesadarannya, Jungkook bisa melihat rasa sakit luar biasa dari kedua netra gadis itu.

Jungkook merasakan perasaan asing merambatinya. Sesak, cemburu? Entahlah. Ia hanya tak ingin melihat Kim terus terisak.

Maka, ketika ia memacu mobilnya dengan kecepatan penuh mengejar ambulance yang membawa Jimin, Jungkook tak peduli dengan bunyi klakson yang diikuti sumpah serapah dari pengemudi lain yang ia salip.

Jungkook meraih tangan Kim, kemudian menarik gadis itu untuk duduk di bangku yang terletak di samping mereka. Kim bahkan tak protes, ia menurut, dan itu semakin membuat Jungkook tak tahan melihat kondisi Kim.

"Mau minum sesuatu? Akan kuambilkan," tawar Jungkook lembut. Gadis itu hanya mengangguk. Jungkook tak bicara apa-apa lagi. Ia mengusap lembut kepala Kim, lalu pergi menuju mesin minuman otomatis.

***

Tak terbesit sekali pun dalam benaknya jika akan mengalami hal ini. Jimin tak sadarkan diri, dan entah mengapa, hal itu membuat hatinya semakin hancur berantakan. Rasanya benar-benar dua kali lipat ketimbang melihat Jimin berciuman dengan Rael. Kim menundukkan kepalanya. Pandangannya terpaku pada sepatunya hingga seseorang memanggil namanya.

"Kimberly?"

Kim mendongak, mendapati Kim Seok Jin berdiri di hadapannya dengan balutan jas berwarna putih.

"Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa tak masuk ke dalam? Jimin masih...," mendadak pria bernama Seok Jin itu menghentikan kalimatnya. Ia lupa Jimin dan Kim masih menyembunyikan status mereka. Ah, benar juga.

Seok Jin menghela napas pelan kemudian duduk di samping Kim. Mengingat beberapa menit yang lalu, hatinya mencelos tatkala ia harus memasang selang infus pada tangan Jimin.

"Jimin itu orang yang kuat." Seok Jin membuka kalimatnya. Pria itu mendesah lelah. "Namun hari ini, sepertinya kalimat itu tak berlaku lagi." Seok Jin terkekeh pedih. Ini kedua kalinya ia melihat Jimin hancur setelah pria itu menghantam kaca cermin di apartemennya.

"Kau tahu, Kim? Selama aku mengenal Jimin, aku belum pernah melihatnya seperti ini. Dia terlihat begitu menyedihkan dan lemah. Dia seperti bukan Jimin yang kukenal dulu. Dia, berubah."

Kim menoleh. "Apa maksudmu?" suaranya terdengar serak dan menyedihkan.

Seok Jin menyilangkan kakinya lalu bersender. Tersenyum pahit ketika harus menggali masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam dan bertekad untuk tak lagi memancingnya keluar. Akan tetapi ketika ia melihat perubahan besar yang dibawa gadis itu pada Jimin, mau tak mau Seok Jin harus membiarkan kenangan itu muncul ke permukaan.

I.D.S (I Deal Scenario) NC+21Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang