Bab 1.2

28.2K 1.3K 7
                                    

.
..

Madeline, ibu mereka adalah penggemar berat karya Daphne du Maurier dan menamai kedua putri kembarnya dengan tokoh-tokoh yang ditulis di dalam buku, seperti nama Rebecca dengan judul yang sama seperti  bukunya dan Rachel dari My Cousin Rachel.  Juga adik mereka yang diberi nama Philip seperti nama sepupu Rachel dalam buku. 
Mengingat tentang Philip, Rachel kembali teringat akan pertanyaannya yang tak pernah dijawab ibunya, siapa ayah dari Philip?  Dan hingga Philip berusia enam belas tahun pun masih menjadi misteri.
“Jadi, bagaimana dengan pria bernama Aaron itu? Kau sudah memberitahunya?”
Rebecca mengangguk.
“Lalu? Bagaimana responnya?”
Rebecca menggeleng. “Aku tidak tahu.”
“Tunggu, bukankah kau sudah memberitahunya?” Rachel memelankan laju mobilnya saat ditikungan. Ini di luar kebiasaannya, karena biasanya ia sama sekali tidak akan memelankan laju mobilnya di tikungan jalan yang sudah sejak remaja ia lalui.  Saat ini ia sedang bersama Rebecca yang sedang hamil. Ia tidak ingin terjadi sesuatu pada Rebecca dan bayinya.
“Aku menitipkan surat pada asistennya.”
“Jadi kau sama sekali tidak menemuinya?”
“Kurasa itu yang terbaik bagi kami.”
Rachel menghela napas. Ia menambahkan sedikit kecepatan mobilnya. Gerbang Audene sudah terlihat, mereka tak akan lama lagi sampai. Audene merupakan suatu kota kecil yang berbukit-bukit dengan seluruh penduduknya yang mewarisi tanah turun-temurun dan para generasinya yang mengurus sekolah terbesar di Myths.
Rebecca memandangi bukit-bukit musim gugur yang kemerahan dan gedung sekolah tinggi yang menjulang di kaki bukit. Ia mulai mempertimbangkan untuk tinggal di sini dan memulai hidup barunya. Terlebih lagi Audene adalah sumber inspirasinya. Ia tak akan bisa berhenti untuk bersedih hati, kepalanya akan terus berpikir dan menciptakan sebuah skenario-skenario yang mungkin akan memikat pembacanya. Tiba-tiba rasa tak sabar untuk segera sampai melandanya dengan kuat.
Begitu mereka tiba di depan pagar rendah rumah yang terbuat dari kayu gelap yang terlihat bobrok itu, Rebecca segera keluar dan menghirup udara musim gugur Audene yang begitu dirindukannya. Suara derap kuda terdengar dan Rebecca bisa melihat Philip menghampiri denga menunggang kuda. Senyum Rebecca kian melebar.
“Phil,”
“Hai Becky.” Katanya dengan riang. Pemuda tampan itu melompat ke tanah dan memeluknya. “Kau telihat berbeda.
“Berhenti memeluknya dan bawakan tasnya Phil!” Perintah Rachel lalu menaiki undakan rumah itu. Phil menggerutu, tapi ia tetap membawakan tas Rebecca.
“Mom, lihatlah siapa yang berkunjung!”
Madeline yang baru saja memanggang roti menjulurkan lehernya keluar jendela dan melihat Rebecca melambaikan tangan. Ia terpekik senang lalu menghampur keluar dan memeluk Rebecca.
“Oh sayangku, aku senang mendengar kau akan tinggal di sini. Kemarilah, aku baru saja memanggang beberapa kue dan roti.”
Rachel melepas kemeja kota-kotak merah tak berkancingnya ke kursi kayu di luar dan menghempaskan dirinya di sana. Rebecca pun ikut terduduk di seberang meja dan Philip bergabung dengan mengambil kursi tanpa sandaran. Tak lama ibunya membawa nampan berisi kue-kue, roti hangat dan juga the untuk jamuan sore mereka.
“Aku mendengar dari Rachel kau sedang mengandung. Benarkah itu sayang?”
“Kau hamil, Rebecca?” Philip ternganga memandangi perutnya.
Rachel menyumpal mulut Philip dengan roti agar pemuda itu diam dan memberi isyarat pada Rebecca untuk menjawab.
“Apa Gavin tidak keberatan kau tinggal di sini sementara?”
“Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan pada kalian. Aku sudah bercerai dengan Gavin.”
Madeline menarik napas terkejut. “Kau dan Gavin bercerai? Apa kalian tidak memikirkan anak kalian yang belum lahir?”
“Mom, sebenarnya… ini bukan anak Gavin.”
“Jadi, itu yang membuatnya menceraikanmu?”
“Tidak. Aku yang meminta bercerai. Aku sungguh tidak tahan tinggal di rumah itu dan aku tidak mencintainya. Kuharap kalian mau mengerti aku. Aku dua tahun yang lalu terpaksa menikah dengannya karena janji kakek yang akab menikahkan cucu-cucunya. Lagi pula Gavin juga tidak mencintaiku.”
“Oh, lalu ayahmu? Jelas kakek dari suamimu akan kecewa. Si tua Magnus pun tidak akan menerimanya.”
“Karena itulah aku kemari. Aku ingin meminta pertolongan pada Rachel untuk menggantikanku di sana sampai bayiku lahir dan aku akan kembali untuk mengatakan pada kakek bahwa aku dan Gavin sudah bercerai.”
“Aku?” Rachel memandang Rebecca tak percaya.
“Ya, kau.” Ulang Rebecca. “Kita memiliki wajah dan perawakan yang sangat mirip, bahkan warna rambut kita pun sama. Tidak akan ada yang curiga.”
“Tapi, tentu saja kita berdua sangat berbeda.”
“Wah, ini akan semakin menyenangkan. Rasanya aku ingin ikut menyaksikan bagaimana Rachel berdandan sepertimu.” Ujar Philip sambil memandang Rachel dengan geli. Rachel menendang tulang kering pemuda itu dan menbuat Philip mengaduh kesakutan sambil mengumpat.
“Kurasa itu ide yang cuku baik.  Jika kau hamil dan tetap berada di sana, mereka akan menganggap bahwa itu adalah cucu keluarga Osborne dan akan semakin sulit.”
“Terima kasih, Mom.”
Rachel menghela napas pasrah. “Lalu bagaimana dengan pekerjaanku?”
“Kau tidak perlu cemas sayang, tidak ingatkah kau bahwa aku salah satu pewaris Audene, tentu saja mereka tidak akan memecat putriku hanya karena dia tidak bekerja selama setahun.”
“Aku akan diberhentikan-“
“Ya, kau akan berhenti selama setahun dan saat kau kembali nanti kau boleh kembali bekerja ataupun tidak.”
Rachel memandnag Rebecca was-was. Sejak kecil ia tidak pernah tinggal di kota. Hampir seumur hidupnya ia tinggal di balik gerbabg Audene dan tidak pernah menuju ibukota. Terlebih lagi ia akan bertemu dengan ayahnya jika berada di sana. Pikirannya mulai menerawang. Apa ayahnya akan menyadari bahwa ia bukan Rebecca, tetapi Rachel yang sedang berusaha menjadi Rebecca.
“Rachel, bagaimana sayang?”
Madeline memandangnya penuh harap.
Rachel menimbang-nimbang dalam hati. Ia memandang Rebecca yang juga balas memandangnya dengan ekspresi meminta tolong.
“Baiklah, akan kucoba.”

Rachel menarik napas dalam-dalam setelah pria itu menciumnya begitu lama. Ia dapat merasakan kecupan-kecupan itu berpindah ke lehernya dan si pria tidak juga berhenti. Air dalam bathup yang hangat membuat Rachel sesekali memejamkan matanya dan menikmati suhunya.
“Kau tidak apa-apa?” tanya pria itu sambil memandangnya dengan cemas.
Rachel membalas pandangan pria itu dan tersenyum. Mata abu-abu si pria terlihat lega. Dan Rachel terbangun dari tidurnya dengan tiba-tiba.
Rachel memeluk bantalnya dan mecoba mengenyahkan mimpi itu. Sudah berulang kali pria itu hadir di mimpi-mimpinya, tapi baru kali ini ia bermimpi dengan begitu intimnya dengan pria misterius itu.
Entah mengapa Rachel merasa bahwa mimpinya kali ini berupa sebuah pertanda. Tidak seharusnya Rachel risau akan mimpinya, tapi terkadang mimpinya berarti sesuatu.  Pernah suatu kali Rachel mendapat tawaran bekerja di Alona dan telah membuat janji wawancara kerja, sampai ketika malamnya ia bermimpi dirinya berada di sebuah jalan yang tak dikenal dan suram. Rachel yang hari itu sudah berada di depan gedung kantor itu mendadak berbalik dan mengikuti kata hatinya. Ia merasakan sesuatu hal yang tak beres di sini. Dan setahun setelahnya kantor itu tutup karena beberapa karyawannya melakukan demonstrasi karena kontrak budak yang dilakukan perusahaan terhadap karyawannya.
Rachel menghela napas dan kembali memejamkan matanya.  Wajah pria itu kembali terbayang di kepalanya dan pipinya merona dan panas. 
“Oh jika pria itu benar-benar ada, aku akan menikahinya.” Gumamnya dengan gemas.

..
.

Pertukaran IdentitasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang