(3). Nikola : hari pertama pergi bersama

395 68 2
                                    

Pihak Gakuen bilang [Name] hari ini boleh langsung pergi ke sekolah, masalah berkas-berkas dan pakaian seragam nanti diurus oleh ayah. [Name] terlihat senang pagi ini meski belum memakai seragam yang sama denganku. Diperjalanan aku membuka jas almamater kemudian menyodorkannya pada [Name]. [Name] kebingungan menatap jas di tangan.

"Pakailah, aku sudah setahun memakai itu," titahku dengan sedikit tawa.

[Name] terlihat senang, kini mengenakan jas kebesaran itu dengan gembira.

"Ti-tidak apa-apa kah ukurannya?" Aku langsung cemas, kedua tangan adikku sampai tak terlihat.

[Name] tertawa senang memainkan kain yang menggelantung di kedua tangannya. "Aku akan memakai ini sampai gerbang!"

Aku terkekeh maklum. "Baiklah, baiklah." Kemudian kami berdua berbincang.

[Name] bertanya banyak hal mengenai sekolah dan tempat tinggal, kemudian aku yang menjawab apa yang kuketahui dengan tambahan beberapa tempat unik yang wajib hari libur nanti [Name] kunjungi. Mungkin lebih tepatnya kami berdua kunjungi? Bersama dengan Vladimir malah akan sangat mengasyikkan!

°°°

Sayang sekali, aku dan [Name] tidak sekelas (ಥ ͜ʖಥ) (kan emang kita beda tingkatan, hehe) tapi, tapi aku pikir kepala sekolah akan menempatkan [Name] di kelas yang dekat dengan kelasku! Beda gedung ternyata, aku lumayan cemas. Bayangkan saja, terakhir kali aku bertemu dengan [Name], ketika [Name] masih SD, masih pendek, rambutnya pendek, pipinya gembul, tak setinggi sekarang, tak memiliki rambut panjang seperti sekarang.

Cemas kan?! Kan! Karena ya ... aku dari dulu senang sekali ketika [Name] lahir, menjadi adikku.

"Ada tahi di wajahmu!" Suara teriakan beserta gebrakan meja hadir membuatku menjerit kaget bukan main.

Laki-laki memakai jaket belang warna ceri-putih menatapku dengan tatapan yang seolah mengejek sikapku yang terkaget ini.

"Sialan kau, Vladimir!" Aku balik menggebrak dan kini bersandar lelah pada sandaran kursi.

"Dari tadi aku memanggilmu, tapi kau malah melamun tak menyahut. Benar, kan, telingamu tertutupi tahi." Aku mendengar suara kawanku itu yang agak menjauh, lebih tepatnya duduk di samping tempat dudukku—karena setelahnya hadir suara geseran kursi. 

"Sejak kapan aku punya teman sejorok dirimu, huh?" Aku tak menengok padanya, kepalaku menengadah menatap langit-langit kelas yang memiliki garis-garis membentuk kotak-kotak.

"Yang mengajari jorok kan kau," jawabnya.

Aku tak menyahut. Duduk tegap dan memandang ke luar jendela.

"Heii, bukannya kau sedang bahagia, Nikola? Kenapa sekarang wajahmu ditekuk begitu?" Vladimir kembali bersuara.

Aku sekarang menengok padanya. "Sejak kapan wajah ditekuk? Wajahku tak seperti wajahmu yang bersiku," responku datar.

"ASTGHTFSJKNGGJB, SIALAN KAU, NIKOLA MENGHINA WAJAHKU!" Temanku yang satu ini terlihat kesal dan mencoba meraih kerah seragamku. Namun, aku menahan tawa juga tangan kanan ini menahan keningnya agar tidak menggapaiku.

Aku kan atletis, si Vladimir ini tidak.

Beberapa detik kemudian, Vladimir sudah tak kesal, ia balik menyeringai melihatku yang menahan tawa ini.

Lantas, aku bingung, mengerutkan kening.

"Nah, tertawa, begitu baru Nikola." Vladimir mengangkat jempolnya.

Aku menghembuskan napas maklum. Ya, kawanku yang satu ini paling bisa buat seseorang tertawa.

"Jadi, bukannya ada berita besar yang ingin kau bahas denganku?" Vladimir menaruh sikunya di meja, dan dagu runcingnya itu ia taruh di tangan yang menengadah—sok ganteng dia.

"Tentang kau yang jomblo itu?" Aku meniru gayanya dengan bertopang dagu.

Mendengar kata sakral itu membuat Vladimir menggebrak meja dan membuatku meloloskan tawa.

"Kau juga jomblo kan!" jeritnya.

"Tapi, aku tak merasa hina seperti dirimu."

"A-aku tak merasa hina!"

"Buktinya kau marah."

"I-ini hanya respon saja. Wajar kan kalau marah dibilang jomblo?"

"Aku sih malah senang dibilang jomblo. Kan kesannya jadi mandiri, begitu." Aku menahan tawa.

"Wah? Iya kah?"

"Bohong lah hahahaha." Aku menyemburkan tawa.

"Tidak beres bercanda denganmu yaa!" Vladimir kembali kesal.

Aku menghela napas. Butuh teman curhat sepertinya aku sekarang.

"Hmm. Adikku itu ... akhirnya aku bisa berjumpa dengannya. Bukan hanya berjumpa, kita tinggal bersama lagi, sekolah bersama kembali." Aku mengawali pagi dengan kelas yang ramai ini dengan curhat—aku biasa curhat pada Vladimir.

Vladimir diam dengan wajah yang penasaran. Wajahnya yang pucat dengan mata vermilion-nya yang unik itu menatapku seperti tatapan sahabat yang penuh perhatian. Aku senang menumpahkan curhatku padanya.

"Hem ... ayah dan ibu, memang tidak bisa bersatu lagi, tapi ... ayah janji akan menjenguk kami lebih sering. Ayah adalah orang yang paling keras kepala memisahkanku dengan [Name]. Aku belum berani menceritakan tentang keluargaku padamu, Vladimir. Yang jelas, mulai sekarang dan ke depannya, mulai saat ini sampai saat nanti [Name] akan menikah ... aku yang akan melindunginya, mengayominya, mengajarinya hal yang baik, serta semoga aku bisa menuntunnya pada jalan yang baik dan berkah." Sepanjang aku bercerita, aku tak melihat kembali Vladimir, aku menunduk dengan senyum ini yang terangkat. Apapun keputusan ayah, ayah baik karena sekarang memberikan hak asuh [Name] pada ibu. Ibu tak kesepian, aku pun tak kesepian.

Aku terus menunduk. Tak terdengar respon Vladimir, membuatku aneh juga, dia kan biasanya banyak bicara. Saat aku menengadah, aku terkaget dengan Vladimir yang berderai air mata.

"Wo-woi!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Wo-woi!"

"Ni-Nikola ... kau ... aku ... HUAAAA!"

"Vladimiiiiiir?!"

[]

B e r s a m b u n g...

Problem : Brother and His FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang