EMPAT

32K 3.9K 124
                                    

Tingkat sabarnya wanita itu berbanding lurus dengan rapuhnya hati. Dimana sabar yang tinggi akan sejalan dengan rapuhnya hati yang tinggi pula. - Gwen Paradista


Mobil yang dikendarai Raka memasuki pekarangan sebuah rumah yang sangat dikenali oleh Gwen sebagai rumah keluarga Raka. Di sini hanya tinggal ayah dan mamanya Raka dikarenakan Raka lebih memilih tinggal di apartemen yang lebih dekat dengan kantornya. Sementara adiknya Raka sedang bertugas di Balikpapan. Gwen meraih jemari Raka sebelum memutuskan untuk turun dari mobil.

"Kenapa?" Raka menoleh saat dirasa jemarinya diremas oleh Gwen.

"Aku nggak yakin mama kamu okey setelah masalah kemarin." Cicit Gwen menatap lekat wajah Raka.

"Mama bukan orang pendendam. Juga ada aku kan di sini?" Raka tersenyum seolah memberikan kekuatan untuk kekasihnya itu.

"Udah, jangan dibawa pikiran banget. Yuk turun," Raka melepaskan remasan pada jemarinya dan segera membuka pintu mobilnya. Gwen menyusul meskipun terlihat enggan karena rasa tidak enak hati terhadap ibunya Raka.

Gwen berjalan perlahan sembari mengamati deretan pot bunga anggrek yang cantik dipandang mata. Ibunya Raka sangat mencintai bunga, terlihat dari jejeran pot bunga yang tersusun rapi di teras rumah. Setelah Raka mengucap salam, seorang wanita paruh baya dengan hijab minimalis keluar dari balik pintu rumah yang sebelumnya tertutup.

"Mama sehat?" Raka menyalami ibunya.

"Sehat dong, harus tetap sehat. Kan mama masih mau lihat anak mama nikah." Ibunya Raka melirik ke arah Gwen yang justru salah tingkah dengan ucapannya barusan.

"Tante," Gwen menyalami ibunya Raka. Yang disalami hanya tersenyum. Gwen menjadi semakin tak enak hati dibuatnya.

"Yuk, masuk. Ayah sudah nunggu. Mau makan bareng katanya." Ibunya Raka mengajak mereka masuk ke adalam rumah.

Ayahnya Raka sedang sibuk membersihkan koleksi piringan hitamnya. Kehadiran Raka dan Gwen pun tidak menyadarkannya dari aktivitas yang paling ia senangi itu.

"Ayah tuh gitu deh, ini anaknya dateng sampai nggak ngeh." Ibunya Raka mengingatkan suaminya.

"Eh serius banget sih Ayah, piringan hitamnya lebih menggoda ya dibanding anaknya pulang?" Raka menggoda ayahnya yang sekarang sudah mengemasi peralatannya.

"Nggak dong, ayah tuh beresin ini biar nanti kita pas makan ada nada-nada indah dari piringan hitam ayah ini." Ayah Raka terkekeh dan melirik ke arah Gwen.

"Gwen semakin cantik ya, nggak salah ini calon istrinya Raka." Celetuk ayahnya dan langsung membuat jantung Gwen berdebar-debar.

"Udah yuk makan dulu. Ngobrolnya sambil makan saja." Ajak ibunya Raka dan akhirnya mereka berempat langsung memposisikan diri pada kursi masing-masing.

Gwen melihat ibunya Raka mengambilkan nasi untuk ayah Raka, ia akhirnya tergerak untuk melakukan hal yang sama terhadap Raka. Ibunya tersenyum saat Gwen melayani putra sulungnya itu dengan baik.

"Gwen bisa masak apa?" Ibunya Raka membuka pembicaraan yang membuat Gwen tersedak makanannya. Raka dengan sigap memberi Gwen air untuk meloloskan makanan yang tersangkut.

"Gwen nggak pinter masak, Tante," Jawab Gwen memelankan volume suaranya. Berharap tidak didengar oleh ibunya Raka.

"Memangnya Gwen kalau makan gimana?" Ibunya Raka bertanya tampak antusias. Entah antusias atau ingin menyindir halus.

"Beli, Tante. Atau goreng telur sama frozen food." Jawab Gwen masih dengan suara pelannya itu.

Ibunya Raka mengangguk-anggukkan kepalanya. Raka melihat gelagat kekasihnya yang semakin salah tingkah akan pertanyaan ibunya. Ia mendekat pada Gwen dan berbisik, "Santai, Gwen."

Hate First, Love You Later (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang