"Ayo, makanlah, Sayang..." pinta Evelyn dengan lembut seraya mengangsurkan sesendok bubur kepada Angel.
Sore tadi Angel sudah diperbolehkan pulang ke rumah atas seijin dokter. Tidak lupa sebelumnya, dokter berpesan kepada kedua orang tua gadis kecil itu untuk tetap mengawasinya. Juga tetap mengingatkan Angel untuk meminum obat tepat pada waktunya.
"Tetapi aku sudah kenyang, Mommy..." Angel merengek. Bibir mungilnya mengerucut, membuat Evelyn tidak mampu menahan senyum.
"Kau baru memakan bubur ini sebanyak tiga suap putriku sayang, bagaimana mungkin kau sudah merasa kenyang?" tanya Evelyn seraya mencubit pipi Angel dengan gemas. "Ayo, makanlah. Kalau tidak, Mommy tidak mau lagi mengantarkanmu ke sekolah."
Ancaman Evelyn berhasil. Dengan cepat Angel membuka mulutnya lebar-lebar. Membuat Evelyn tertawa kecil, lalu kembali menyuapkan sesendok bubur yang tadi sempat tertahan di tangannya, ke dalam mulut gadis kecil itu.
"Mommy..." panggil Angel pelan.
"Ya, sayang?"
"Apakah Mommy tahu kapan aku akan sembuh?"
Pertanyaan yang meluncur dari bibir mungil Angel membuat Evelyn terkesiap. Bahkan gerakan tangannya yang hampir saja akan menyuapkan sesendok bubur lagi untuk gadis kecil itu mendadak terhenti, tertahan diudara. Evelyn terdiam. Susah payah ia menarik napas akibat sesak yang mendadak menyerang dadanya saat mendengar pertanyaan yang sarat akan nada putus asa itu.
"Secepatnya kau pasti sembuh, Sayang. Kau harus tetap semangat," sahut Evelyn akhirnya, dengan berusaha sekuat mungkin untuk tersenyum.
Angel memalingkan wajahnya dari Evelyn. Menatap lurus-lurus ke arah langit-langit kamarnya.
"Daddy juga pernah mengatakan hal yang sama. Tetapi nyatanya sampai sekarang aku masih sakit..." kata gadis kecil itu kemudian dengan sedih. Perlahan setetes bening air jatuh dari sudut matanya. "Entah mengapa aku merasa aku tidak akan sembuh, Mommy..."
Mendengar kata-kata itu, Evelyn kontan meletakkan mangkuk bubur ke atas meja, lalu meraih tubuh rapuh Angel ke dalam pelukannya.
"Tidak, Sayang. Kau pasti sembuh. Percayalah, Tuhan pasti menyembuhkanmu. Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak, Angel..." Evelyn mengangkat tangannya, menghapus tetesan air mata di wajah mungil itu. "Ingat pesan Daddy, kau tidak boleh menangis. Jangan menangis, Sayang. Percayalah pada Mommy, kau pasti sembuh."
Angel memandang wajah Evelyn lamat-lamat, seakan takut tidak ada lagi hari esok untuk menatap wajah cantik itu. Mata, hidung, bibir dan bahkan tiap incinya diperhatikan oleh Angel, seakan berusaha melukis segala keindahan itu dalam ingatannya.
"I love you, Mom." Angel berucap dengan pelan. Lalu tangan mungilnya bergerak membelai pipi Evelyn, menghapus setitik air yang jatuh dari mata hazel itu.
"Love you too, my little princess," sahut Evelyn. Perlahan ia mendekatkan wajahnya pada Angel, lalu mengecup dahi gadis kecil itu. Membuat senyum bahagia terukir di bibir putri kecilnya.
Cukup sudah. Keberadaan, kelembutan, dan kehangatan sikap Evelyn membuat Angel merasa cukup. Kerinduannya akan kehadiran sosok seorang Ibu terbayar sudah. Angel merasa tidak membutuhkan apapun lagi. Hanya dengan kehadiran Daddy dan Mommy-nya, Angel sudah merasa begitu sempurna. Juga bahagia. Hingga meski Tuhan mengambilnya sekarang pun, gadis kecil itu merasa sudah siap. Merasa sudah lega, sebab ia sudah merasakan indahnya memiliki sebuah keluarga.
Tanpa mereka sadari, di balik celah pintu yang sedikit terbuka, seseorang tengah mengawasi mereka dalam diam. Ben. Sekuat mungkin ia berusaha menahan sesak di dadanya kala menyaksikan pemandangan itu. Sekuat tenaga ia berupaya meredam perih di hatinya kala mendengar ucapan gadis kecil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Wedding
Romansa"Mommy? Kau mommyku kan??!!" tiba-tiba saja gadis kecil itu berteriak histeris, membuat Evelyn nyaris melompat saking kagetnya. Tangan mungilnya terangkat menarik-narik lengan baju Evelyn. Evelyn terhenyak. "Apa? Bu-bukan-" "Daddy bilang mommy canti...