Marry Me

70.7K 1.8K 157
                                        

Billy menatap foto Evelyn pada layar ponselnya. Sejenak ia merasa bersalah karena harus kembali meninggalkan perempuan itu tanpa mengucapkan kata perpisahan. Tetapi Billy merasa yakin, ia telah melakukan yang terbaik. Setidaknya untuk dirinya. Sebab ia tahu, semakin ia mengucapkan selamat tinggal pada Evelyn, maka akan semakin sulit pula baginya untuk meninggalkan perempuan itu.

Billy mengusapkan ibu jarinya pada gambar wajah Evelyn. Dengan seketika hatinya menggemakan rentetan kalimat berisi doa untuk perempuan cantik yang tengah tersenyum itu. Semoga ia bahagia. Semoga ia senantiasa baik-baik saja, meski Billy tidak lagi dapat menjaganya.

Entah sampai kapan Billy harus merasakan siksaan pada hatinya. Entah apa yang harus ia lakukan untuk meredam luka yang tak kunjung hilang disana, Billy tidak tahu. Ia hanya berharap, semoga Tuhan membantunya melupakan Evelyn. Dan semoga Tuhan membantunya menjalani hidup tanpa kehadiran perempuan itu lagi.

***

Evelyn duduk termenung sembari terhanyut dalam pikirannya. Tentu saja, tentang Billy. Evelyn menyadari bahwa dirinya telah begitu jahat pada lelaki itu. Ia telah menyayat luka yang begitu dalam pada hati mantan kekasihnya. Jika saja bisa, Evelyn tidak ingin terjebak dalam situasi seperti ini. Jika saja bisa, ia ingin tetap menjaga hatinya untuk Billy. Tetapi ternyata Tuhan memiliki rencana lain. Dan sebagai manusia, Evelyn hanya mampu mengikuti alur yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Kala Evelyn tengah terhanyut dalam lamunannya, tiba-tiba saja sebuah lengan kekar melingkar di pundak perempuan itu, memeluknya dari belakang.

"Kau masih memikirkannya?" tanya Ben, dengan suara bariton yang selalu mampu mengirimkan kehangatan pada hati Evelyn.

Evelyn mengangguk pelan. "Aku merasa sangat jahat padanya," sahutnya dengan nada sedih. Serupa dengan raut yang tercetak pada wajahnya saat mengucapkan kalimat itu.

Ben menghela napas sesaat. "Ya, sejujurnya akupun merasa demikian," katanya kemudian. "Tetapi kita harus percaya, Tuhan sudah mengatur ini semua. Tidak ada sesuatupun yang terjadi tanpa kehendak-Nya."

"Aku tahu. Aku juga tidak menyesali semua ini, hanya saja... Bagaimanapun, aku tetap sudah menyakitinya." Perlahan setetes bening lolos dari sudut mata Evelyn. Sungguh, ia merasa sangat bersalah pada Billy. Dan rasa bersalah itu akhirnya memaksa air matanya keluar lagi, untuk kesekian kali.

Ben menjulurkan lehernya demi menatap wajah Evelyn. Ia menghapus titik bening yang mengalir itu, lantas menarik kepala Evelyn bersandar pada dadanya yang bidang.

"Jangan menangis, Eve. Bukan salahmu jika pada akhirnya cinta kalian tidak bisa bersatu. Takdir sudah menggariskan seperti itu," kata Ben dengan bijak. Ia mengetatkan pelukannya pada Evelyn, dan menyandarkan kepalanya pada pundak perempuan itu. "Kita berdoa saja, semoga Billy segera menemukan cinta sejatinya."

Evelyn mengangguk. Dalam hati ia turut mengaminkan ucapan Ben. Ya, semoga saja Billy segera menemukan perempuan yang tepat untuknya, yang sekaligus akan menjadi cinta sejatinya

Ben mengecup puncak kepala Evelyn dengan lembut. "Aku pergi ke kantor dulu, ada klien penting yang harus kutemui. Kau istirahatlah, jangan terlalu memikirkan hal ini, hm?" katanya kemudian.

Evelyn kembali mengangguk. Ben mengecup puncak kepala perempuan itu sekali lagi, lalu kemudian melangkah pergi meninggalkannya.

***

"Mommy..." Panggilan Angel mengagetkan Evelyn yang tengah duduk sembari membaca sebuah buku di tangannya.

"Ya, Sayang?" Evelyn menyahut seraya mendongak dan menatap pada Angel.

"Apakah Uncle Bill benar-benar sudah pergi, Mommy?" tanya gadis kecil itu seraya mengambil posisi di sebelah Evelyn. Raut wajahnya tampak murung.

"Ya, Sayang. Uncle Bill sudah pulang."

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang