Chapter 8

7.9K 681 36
                                    

Sepanjang jalan aku terdiam merasa canggung begitu pula dengan Arlanzio. Dia selalu lebih pendiam saat menyetir. Aku tidak ingin menoleh barang sekalipun ke arahnya karena sedari tadi pipiku memerah setelah mendengar kata 'sayang' darinya.

"Kau pendiam hari ini." Komentarnya setelah setengah perjalanan belum mengeluarkan suara.

Mataku tetap memandang keluar jendela saat menjawab, "Aku tidak punya sesuatu yang harus dikatakan."

"Kau masih takut dengan mimpimu?"

"Tidak."

"Ceritakan tentang mimpi itu." Perintahnya seperti biasa.

Aku mengedikkan bahu. "Aku tidak ingin membicarakannya."

"Arine." Kali ini suaranya penuh penekanan. Dia sangat temperamen. Tidak akan ada yang bisa mengikuti perubahan mood-nya. "Look at me, Sweetheart."

Aku menggeleng semakin malu. Jika begini caranya maka aku hanya akan memancing tanya darinya. Cepat atau lambat aku pasti akan...
Mobil berhenti secara mendadak dan dengan gerakan cepat dia memegang dagu lalu memutar kepalaku menghadapnya. Mataku membulat masih dengan pipi bersemu merah. Setelah melihatku, kedua alisnya beradu disertai ekspresi tidak senang.

"What's wrong?" Tanyanya.

Aku menggeliat melepaskan sentuhannya. "Nothing." Aku tidak akan pernah mengakui kalau dia membuat jantungku berdebar tak karuan.

Matanya menelusuri wajahku. "You're blushing."

Aku semakin dan semakin malu lagi. Astaga! Wake up, Arine. Kenapa kau seperti remaja kasmaran dan kepada Arlanzio pula. Apa yang salah dengan kata 'sayang'? Beberapa temanku juga mengatakan itu.

"Um... Aku..." Mataku bergerak liar. "Itu... Aku... Um... " Otakku seakan tak berfungsi. Aku bahkan kebingungan sendiri mencari alasan. "Kenapa kau bertanya?" kataku dengan nada tinggi mencoba menutupinya dengan terlihat marah agar dia tidak mencurigaiku lagi. "Aku akan terlambat. Cepat jalankan mobilnya."

Kedua alisnya terangkat. "Sekarang kau berceloteh seperti biasa. Kau sakit atau sedang malu-malu padaku?"

Mataku membulat. Tubuhku menegang. Kontrol dirimu, Arine. Kenapa kau membuatnya semakin tahu isi hatimu?

"Apa?" Aku berdecak sombong sebisa mungkin. "Kenapa aku harus malu pada orang sepertimu? Tidak penting." Kutarik tasku berniat membuka pintu mobil. "Kau membuatku terlambat. Sebaiknya aku naik bus saja."

Aku hampir berhasil turun, hampir merasa lega, saat lagi-lagi dan untuk keseratus ribu kalinya langkahku terhentikan. Kejadiannya secepat kilat bahkan sampai aku tidak menyadari bahwa sekarang Arlanzio telah lepas dari seatbeltnya dan mengurungku dengan lengan kokohnya. Dia menindihku. Damn! Aku tidak berbaring tapi jelas sedang terkurung di bawah tubuh kekarnya.

Wajahnya hanya berjarak 2 centi dariku. Napas hangat yang mengalirkan sengatan dingin itu begitu memabukkan. Jika tidak karena ekspresi dingin dan gertakan giginya, aku mungkin sudah memejamkan mata berkeinginan untuk mendapat ciuman manis darinya.

"Ap... Apa yang kau lakukan?" ucapku terbata-bata.

"This is my car and you're in it so you should do whatever I like you to do." Gertaknya penuh intimidasi.

Tubuhku bergetar ketakutan. Dari sorot matanya bisa kulihat tatapan kejam yang bisa membunuh siapa saja. Oh please. Tell me that's not me. Aku tahu Arlanzio menyadari ketakutanku hingga dia sontak melonggarkan tekanan tubuhnya. Dia menghembuskan napas panjang seolah dengan itu bisa lebih tenang. 

Your Own Prisoner (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang