Chapter 9

6.6K 637 18
                                    

"Rin... Kau masih di sana?" tanya Kalya setelah aku terdiam menahan keterkejutan untuk waktu yang cukup lama.

Aku menggeleng menyadarkan diri. Aku tidak bisa bersikap seperti ini dan menimbulkan curiga dari orang lain. Sekarang yang harus kulakukan adalah bersikap tenang. "Ya. Sorry. Aku hanya terlalu... Uh.. Kau tahu... Terkejut. Bagaimana mungkin ini terjadi, bukan? Mereka selalu diselimuti mobil mahal yang mungkin tingkat perlindungannya sangat tinggi." Lanjutku mengoceh untuk menyingkirkan rasa panik.

Kalya berdecak. "Jika memang sudah ditakdirkan demikian, tak akan ada yang bisa menghalangi, Rin."

"Kau benar," tanggapku singkat.

"Kau ke kampus hari ini atau masih punya urusan dengan ibumu?"

Pikiranku kembali melayang. Aku telah berbohong dan sekali lagi harus berbohong. Aku harus bertemu Arlanzio. Aku harus mempertanyakan  apa yang membuatnya segila ini. Dia seorang psikopat. Dammit! Aku telah berhubungan dengan psikopat?

"Uh... Mungkin tidak Kal," jawabku berusaha sekuat mungkin untuk tidak ketahuan.

Aku akan ke kampus. Ya. Kemana lagi aku harus mencari Arlanzio selain kampus? Tapi sahabatku tidak boleh mengetahui ini. Aku harus menjauhkan mereka semua dari Arlan.

"Okay. Jangan terlalu lama di sana mengerti?" guraunya. "Ingat kuliahmu di sini."

Aku tertawa sebisa mungkin. "Iya iya. Aku mengerti, madame. Ya sudah ya. Aku tutup telponnya. Bye."

"Bye."

Setelah mengakhiri panggilan, aku menatap ke seluruh penjuru ruangan. Tubuhku mendadak bergetar dengan air mata menggenangi pelupuk mataku. Shit! Aku telah membunuh orang. Secara tidak langsung aku telah membuat orang kehilangan nyawanya. Aku terduduk di atas ranjang seolah tak punya kekuatan untuk berdiri lagi. Kupeluk lututku sambil menangis panik dan terkejut.

Aku telah berhubungan dengan orang yang salah. Sekarang apa yang harus kulakukan? Memohon pada Arlan untuk mengembalikan nyawa mereka? Tidak mungkin. Dia hanya manusia biasa. Manusia biasa yang gemar membunuh. Arlan pembunuh.

Tubuhku bergetar takut. Bagaimana jika salah sedikit saja dan dia melukaiku atau orang-orang yang kusayangi? No. I forbid it. Sekarang bagaimanapun caranya aku harus bertemu dengannya dan mempertanyakan kenapa dia melakukan ini? Apa karenaku? Karena aku tersakiti kemarin? Kenapa dia berambisi segila ini untuk melindungiku? Apa harus dengan jalan ini dia membelaku? Haruskah dengan membunuh orang lain? Dan Darren... dia mungkin cemburu pada Darren. Darren tidak bersalah tapi dia juga hampir menghilangkan nyawa Darren.

My God! kenapa sekarang dia kelihatan seperti iblis pencabut nyawa? Kugenggam ponselku dan memutuskan untuk menghubunginya. Dering pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Panggilan tersambung tapi dia tidak mengangkatnya.

Kakiku menghentak lantai sembari kepalaku mencari ide. Tidak ada jalan lain. Aku memang harus ke kampus mencarinya. Dia pasti ada di kampus.
Merasa yakin dengan asumsi itu, aku beranjak dari tempat tidur lalu bersiap-siap berangkat.

Kampus ramai seperti biasanya. Sedari tadi aku bertingkah seperti maling yang celingak-celinguk mencari Arlan sambil berusaha untuk terhindar dari pandangan sahabat atau teman sejurusanku. Hari ini aku membolos. Tidak lucu bukan jika aku ketahuan sedang berada di kampus sekarang?

Mataku memandang area parkiran dan lapangan lalu berjalan sepanjang koridor dan taman-taman kampus,  tapi tak kunjung menemukannya. Sekitar pukul 10.30 aku memutuskan untuk mencari di kelasnya saja. Aku berdiri di depan pintu. Memandang setiap baris bangku tapi tak menemukan Arlan.

Your Own Prisoner (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang