Chapter 11

7K 628 10
                                    

Dia berdecak. "Kita bisa menjadi apapun yang kau inginkan, sweetheart bahkan menjadi pasangan seperti yang kau idam-idamkan bersama bajingan itu."

Really?
Dia mengatakan Darren bajingan? Seriously? Dari yang kulihat dialah bajingan sesungguhnya di sini.

"Namanya Darren!" desisku tajam.

Arlan kembali tertawa meremehkan. "Ya, Darren. Bajingan yang terakhir kali kulihat ingin menjalin hubungan denganmu."

"Kau tidak pantas mengatakan itu tentang Darren," belaku. "Dia pria baik-baik, tidak sepertimu yang menyakiti orang lain dan bermain- main dengan banyak wanita tanpa memikirkan perasaan mereka. Jika ingin mencari bajingan maka kaulah orangnya!" Menyentakkan kaki, aku melangkah melewatinya.

Arlan benar-benar...Ugh! Dia selalu mampu merusak suasana. Tadinya aku sudah hampir...Hampir lupa dengan apa yang terjadi tapi sekarang rasa marah, malu dan kesal kembali datang secara bersamaan. Aku menarik napas panjang. Right Arine, sekarang kemana kau akan pergi?

Taman rumahnya tertata rapi dan saat aku melihat ke kiri dan kanan. Benar. Tidak ada rumah sejauh mata memandang. Kami benar-benar berada di tengah hutan. Aku memang kesal tapi tidak mungkin jika aku pergi dari sini apabila tak tahu arah pulang. Ponselku malah kehabisan baterai di saat genting seperti ini!
Aku mendengus kesal, menendang rumput kemudian menggeram sendiri. Sejak bertemu Arlan aku menjadi sial dan sial saja. Kuliahku terbengkalai, jauh dari sahabat juga orang-orang yang kusayang. 

Kupandang ke sekeliling. Rumah Arlan kelihatan megah dengan desain kotak minimalis. Sebelah kanan hanya taman berisi rumput tanpa bunga tetapi sebelah kiri tak ada taman, hanya ada struktur tanah yang terlihat terjal. Aku melihat lebih dekat ke kiri, ternyata ada tangga pendek menuju ke bawah.

Aku mendengus panjang. Mungkin bukan langkah yang bagus untuk turun ke bawah sekarang. Kuputuskan untuk berjalan lurus saja.

Entah berapa lama aku berkeliling di sekitaran rumah Arlan dan sekali lagi menemukan kenyataan bahwa tidak ada rumah lain di sekitar sini. Situasi ini membuatku bertanya-tanya,  kenapa Arlan memilih rumah yang jauh dari pusat kota dan terpencil tanpa tetangga seperti ini? Seluruh jalan pikirannya memang sulit ditebak.

Lelah berjalan-jalan, aku duduk di salah satu tangga sebelah kiri taman. Tak kusangka Arlan tidak mengikutiku. Biasanya pria itu tidak akan membiarkanku jauh-jauh tanpa interupsi darinya. Oh, mungkin saja karena dia tahu aku tidak akan bisa pergi kemanapun. Aku memutar bola mata lalu mengikat rambutku yang mulai terkena keringat dengan asal.

Melewatkan makan siang ternyata langkah yang salah. Egoku benar-benar tinggi. Akibatnya aku mulai lapar dan haus sekarang. Mungkin Arlan tak mengikutiku karena alasan ini. Dia ingin melihat seberapa besar egoku bertahan dalam keadaan lapar seperti ini kemudian akan mencemooh saat aku kembali dan meminta makanan darinya. Wicked bastard!

Lima menit berlalu, aku tidak tahan lagi. Kuputuskan untuk masuk ke rumah. Kubuka pintu depan dan melangkah pelan berharap Arlan tidak mendengarku, berharap pria itu sedang tidur atau apalah yang membuatnya jauh dari keberadaanku. Aku bergidik geli. Aku sudah terlihat seperti maling saja.

"Memutuskan untuk kembali, sweetheart?" Suara itu mengalun tak jauh dariku. Aku terkesiap lalu mencari ke seluruh sisi ruangan.

Arlan ada di dekat dapur. Berdiri dengan tangan dilipat di depan dada sambil bersandar pada dinding di sana. Damn! Ternyata dia telah berganti pakaian dengan celana selutut dan kaus putih yang membuatnya tampak memukau. Sangat menarik dan sangat tidak adil saat satu pria bisa diberkahi dengan wajah memukau sampai apapun yang dipakainya mampu membuatnya terlihat seperti dewa yang penuh kekuasaan.

Your Own Prisoner (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang