Chapter 15

6.4K 580 29
                                    

Arlan masih menggenggam tanganku saat berjalan di parkiran. Dia menolongku, okay aku mengakui itu tapi dia melakukan sesuatu di luar batas. Dia mengungkapkan sesuatu yang tidak seharusnya diungkapkan di depan kedua sahabatku. "Arlan, stop!" kutarik tanganku kasar sampai dia berhenti dan menghadapku dengan bibir mengetat yang membuatku sedikit ragu untuk melawan.

"Kau ingin kembali pada bajingan itu?"

Mataku membulat. "Absolutely not!"

Rahangnya mengerat menandakan kalau dia sedang menggertakkan gigi dengan kuat. "I'm not doing this right now." Dia menarik pergelangan tanganku lagi. "Jika kau menentangku sekarang Arine maka aku akan kembali ke dalam dan membunuh bajingan itu tepat di depan kedua sahabatmu. Your choice." Dia mendengus kasar membuatku semakin takut.

Ancamannya memang tidak pernah meleset tapi paksaan ini sudah membuatku muak. Tiba-tiba sesuatu masuk ke dalam pikiranku. Setiap kali orang lain membuatku terluka maka Arlan akan campur tangan dan menghabisinya. Keberanianku menciut. Aku harus meyakinkan Arlan untuk tidak melakukan apapun pada Doni. Bagaimanapun juga Doni adalah kekasih Kalya. "Okay. Aku akan mengikutimu tapi kau harus janji untuk tidak menyakitinya." Gertakan kuat gigi Arlan membuatku sedikit tidak paham permasalahannya di sini. Shit! Is it a wrong thing to say?

"I don't make any promises," desisnya pelan kemudian menarikku lagi. Dengan berat hati aku mengikuti dan membiarkannya membawaku tanpa protes. Mood-nya sangat buruk, kupikir saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membujuknya. Tidak...Tidak. Aku harus segera membujuknya. Arlan selalu bergerak cepat dan melakukan sesuatu tanpa kusadari. Mungkin saja dia akan pergi menemui Doni saat aku tidur. Jantungku berdegup kencang. Kalya akan hancur jika mendengar Doni terluka. Kehancuran Kalya berarti kehancuranku juga. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

"Arlan," kataku tenang menatapnya yang sedang menyetir. Dia tidak menjawab. Yang dapat kulihat hanya respon dari tangannya yang menekan steer mobil semakin kuat. Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. "Aku tidak mengerti kenapa kau bisa semarah ini." Kugenggam kedua tanganku di atas paha. Berbicara padanya di saat seperti ini sama sekali bukan momen favoritku.

Setelah mengatakan itu dia masih saja diam tak merespon maka aku lanjut berbicara. "Dia tidak menyakitiku sama sekali," dengusku mulai putus asa.

Tiba-tiba mobil berhenti mendadak membuat tubuhku tersentak maju. Mulutku terbuka. Kusingkirkan rambut yang menutupi wajahku lalu melihat ke arahnya. Arlan menatap lurus ke depan dan dapat kupastikan pegangan kuatnya itu mampu menghancurkan steer mobil. Rasa takut itu kembali menghinggapiku. Monster.

"Ar...a... Arlanzio," kataku terbata-bata. " Ar... are y... you okay?"

"Kau tidak perlu marah." Aku menelan dengan susah payah di tengah ketakutanku. "Ak...Aku mm...minta maaf ji...Jika aku salah." Dia masih saja tak merespon. "Arlan...please... kau membuatku takut," bisikku dengan suara bergetar.

Kalimat terakhirku mengembalikan fokusnya. Akhirnya Arlan menoleh walau masih dengan aura gelapnya. "I should punish someone like him. Tear him apart till nobody knows him anymore."

Aku bergidik ngeri. Aku tahu dia tidak berkata omong kosong. Dia akan melakukan apa yang dikatakannya. Aku harus menghentikan ini. Oh God! Bagaimana seseorang bisa berubah menjadi mengerikan seperti ini dalam hitungan menit?
Aku takut tapi tidak dapat membiarkan ini berlalu begitu saja. Bagaimanapun aku harus menghentikan Arlan. Pertama-tama aku harus menenangkannya.

"Arlan please. Leave it there." Aku menyentuh lengannya. "Forget it. It's going to be okay."

Dia melihat sentuhanku di lengannya. Kupikir dia akan semakin marah dan menjauh dariku tetapi sebaliknya. Arlan terlihat lebih tenang. Syukurlah. Aku tidak menyangka sentuhan kecil mampu menenangkannya. Setidaknya sedikit. "Don't be angry," gumamku pelan.

Your Own Prisoner (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang