(c)

676 24 2
                                    

Devin masuk ke kubikelnya yang tertutup setengah badan itu, melongos menelungkupkan wajahnya, lelah dengan ulah Danu tadi, samapai Naina muncul di depannya dengan menyodorkan segelas air putih dingin. Naina tahu, emosi Devin bisa sedikit menurun jika meneguk air putih dingin. Naina hafal betul luar dalam kebiasaan Devin sejak ia dekat dengannya, terhitung sejak ia baru bergabung di kantor D'Islamic.

"Nih...!"
"Thanks...," jawab Devin menegakkan punggungnya kembali, menyeruput isinya hingga ia merasaka sensasi dinginnya sampai ke rongga dada juga kepalanya yang seperti tengah mengeluarkan kepulan asap. Fresh!

"Lama-lama kamu ama Danu persis Tom n Jerry deh..., akur napa sih?" ucap Naina membuka percakapan, mendengarnya menyebutkan dua tokoh kartun yang nggak pernah akur itu, lantas menghubungkannya dengan apa yang terjadi antara Devin juga Danu, membuat bibir Devin menyunggingkan senyum samar. Ton Jerry?  Aku dan Danu? Oh my God, seheboh itukah pandangan itu hadir untukku?

"Penuhi keinginannya..." iseng Naina tersenyum jahil. Rupanya bakat rese milik Danu menjangkitnya. Devin menatap kesal.

"Naina, kalau hanya jalan itu yang membuat dia berhenti rese denganku, aku memilih seperti ini, dibanding memenuhi ajakannya yang nggak masuk akal itu..."

"Kamu jalan lain?" senyumnya, menawarkan ide baru.

"Kalau itu baik kenapa nggak?" timpal Devin, menunggu ide itu keluar dari lisan Naina dengan tatapan dalam.

"Merried aja dengan dia...," santai Naina berucap sembari menyeruput isi gelasnya.

"Hah? Kamu nggak lagi demam kan?" sentak Devin berdiri, memegang jidat lebar Naina. Naina menggeleng cepat dengan wajah ngolok persis wajah Danu tadi. Nyebelin!

"Gimana?" kedipnya pada Devin, iseng!
"Nggak!" geleng Devin, setengah kesal.
"Yakin?"
"Nai...na!" lengkingan ini pun tinggi kembali. Devin tak ingin gosip aneh menyebar bak wabah penyakit ke penjuru kantor. Naina melangkah keluar dengan wajah geli melihat ekspresi Devin.

"Ehm!" kembali deheman ini hadir. Devin menhela napas kesal, menyuarakan sorry-nya kembali dan beranjak berdiri menuju lift. Devin ingin tenang dari emosinya yang tidak stabil, meninggalkan Naina yang masih betah dengan senyum ngolok lenkap dengan rasa tak bersalah pada wajahnya.

"Dev, kamu mau kemana?"
"Rileks dikir, teh...," senyum Devin, kecil. Teh Hanum mengangguk paham. Devin pun meninggalkan kantor dengan wajah kesalnya yang berlipat. Naina melihat itu menggidikkan bahu. Ada senyum manis di sana, mengukir cantik. What's wrong?

•••••

Devin ingin sejenak melupakan kerjanya. Kini ia tengah duduk di bawah pohon depan kantor, menyadarkan punggungnya menatap langit. Devin sangat menyukai saat-saat seperti ini, di mana ketika mood-nya buruk, dia akan memandang langit yang biru cerah, dibelai semilir angin yang berhenbus sejuk, yang akhirnya membuat hatinya perlahan dingin kembali, seperti saat-saat ia menikmati air dingin yang membasahi kerongkongannya tadi. Nikmat!

Di tengah pandangan lurus itu, Devon teringan enail Av-Rous yang mengatakan bahwa hidup penuh warna, jika ingin seimbang dengan itu, nikmati kehidupan itu, dan yakinlah bahwa itu bukan kebetulan, tapi telah diatur oleh-Nya. Devin menatap sekeliling dan menggumam, "Bukan kebetulan? Huf... Tetap aja ngebetein...," batinnya.

Beberapa menit kemudian, Devin mengangkat tangannya menatap jarum jam yang kini bergerak mwnuju angka 3. Dengan tarikan napas kecil, ia berdiribmemutarvtubuh kembali memasuki kantor, dan tenggelam dalam kesibukannya kembali, hingga pukul lima sore.

"Devin..., Teh Hanum duluan ya...," pamit teh Hanum. Devin mengangguk tersenyum pada wanita lembut itu. Ia baru saja menikah beberapa bulan lalu dan tengah mengandungvcalon generasinya.

"Hati-hati Teh..., Devin ntar nyusul."
"Oke..., Dik!" acung jempolnya pada Devin. Wajahnya yang ditutupi jilbab itu pun hilang masuk ke lift. Devin menatapnya kagum.

"Devin, pulang yuk!" ajak Naina pada Devin selepas Teh Hanum. Devin menoleh, lalu mengangguk kecil. Kantor D'Islamic punya peraturan yang Devin kagumi, jika sore telah mengukir cantik di ufuk barat dengan pancaran warna merahnya yang sering diistilahkan tanduk setan, jurnalis wanitanya diizinkan untuk pulang lebih dulu, Devin termasuk di dalamnya. Be happy itulah sedikit kelegaan Devin tatkala sore menjelang. Come back to kost!

"Aku beres-beres dulu ya. Lagian, Keira belum SMS kalau dia sudah menungguku di bawah." Naina mengangguk pamit lebih dulu tanpa lupa berdehem kecil. Khas orang nyebelin versi Devin.

Setelah membereskan meja kerjanya, Devin menarik ranselnya yang tergeletak di samping meja kerjanya, persis dekat CPU yang tergeletak hangat setelah seharian aktif sebagai media pendukung pekerjaan. Devin menyandangnya pada bahu kiri. Bersiap melangkah menuju lift. Pulang untuk rehat sejenak dari rutinitas wasilah menjemput rezeki-Nya.

"Ikut gue ya, Dev. Kebetulan nih, hue juga mau pulang..." suara Danu kembali terdengar. Devin menhentikan langkahnya, menoleh sigap ke arah Danu yang ternyata belum pulang juga, beserta golongan ikhwan Misy'al dan kedua sahabat terbaiknya.

"Nu..., please deh... Aku bilang nggak! Okey?" ucap Devindengan lelah yang tergambar dari wajah dan juga tersirat dari suaranya.

"Jaim banget sih lo...," celetuk Danu tanpa ampun, keluar begitu saja dari mulutnya. Benar-benar mengaduk-aduk emosi Davin yang terlampau lelah.

Zduk! Kepala Devin terasa menabrak sesuatu demi mendengar kata-kata Danu. "Emang aku cewek apaancoba? Kan nggak salah tuh, aku memegang prinsip agamaku..." protesnya dalam hati memilih untuk sabar, namun Danu tambah ngotot dengan kata-katanya yang membuat otak lelah Devin meradang.

"Nu...," lotot Devin, garang. Danu mengangkat alisnya, menyambar helm standarnya yang ituk ia bawa masuk kantor. Entahlah, apa motifnya hingga helm tua ia bawa serta. Takut kemalinga? Apa iya, kan ada satpam!

"Yuk, gue gue tunggu di bawah...," ucapnya cuek, menarik ranselnya yang segede gunung itu menuju lift. Devin memicingkan mata. Danu tidak menyerah! Sedikit pun!

"Nu, mas Rafi ikur kamu ya...," tepuk Rafi pada pundak Danu. Danu berpaling pada Devin. Devin memalingkan muka, menoleh pada Rafi yang Devin ketahui kembali menyelamatkannya dari ajakan nyeleneh milik Danu.

"Thanks," pelan bibir Devin berucap, melangkah lebih dulu masuk lift. Mereka mengikuti setelah Devin sampai di bawah.

•••••

Devin berdiri di depan kantor, menunggu wajah Keira muncul menjemputnya dengan mobil Avanza silver kebanggaannya. Lima menit menunggu, Keora muncul dengan cengiran khasnya. Nampak, lelah itu terlihat dari wajah orientalnya.

"Yuk!" ajaknya sembari membukakan pintu untuk Devin. Devin pun mepangkahkan kakinya menuju Keira yang duduk santai di balik stir. Ketika mobil Keira melewati gerbang kantor, Devin melihat Danu juga Rafi yang masih membicarakan sesuatu yang entah apa dengan orang yang berada di dalam mobil sedan silver, yang Devin ketahui itu milik Misy'al dengan penumpang setianya, Shafiq. Trio Ikhwan yang menjaga eksistensinya sebagai muslim. Total!

Mobil Keira pun keluar lebih dulu.

•••••

Gaza I'm ComingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang