(c)

559 21 2
                                    

Lusa, tepat hari jumat, itu waktu yang pak Dion katakan. Kini Devin telah berada di dalam mobil sewaan yanh ia sew khusus, memulai perjalanannya menuju Samarinda. Sejenak, Devin singgah membeli penganan Tahu Sumedang untuk keluarga juga bekalnya selama perjalanan. Devin hanya waktu satu hari di sana. Besok pagi Devin harus segera kembali lagi ke Balikpapan karena ada yang harus ia urus menjelang keberangkatannya berkenan dengan dengan visa juga hal lain yang harus dipersiapkan. Tak cukup lama waktu yang ia habiskan selama perjalanan dikarenakan Devin menyetir dengan kecepatan tak biasanya, Devin tiba di rumah dengan selamat tepat jarum jam mengarah ke angka enam sore.

"Jujur, Mama dan Papa ingin Kakak menikah dulu, namun jika seperti ini jalannya, Mama dan Papa mengizinkan Kakak, jaga diri Kakak, tapi sebaik-baik penjagaan ini, Mama dan Papa titipkan pada Allah...," ucap Mama mewakili Papa yang hanya diam dengan bacaan di tangannya. Devin tahu Papa adalah orang yang tak banyak berbicara, tapi diamnya adalah dukungan dan cinta untuknya. Sesekali, terlihat anggukan Papa tatkala Mama mengurai pesan panjang untuknya. Ada cahaya bening dari balik kacamata ber-frame putih yang Papa kenakan.

"InsyaAllah, Devin akan hati-hati Ma, Pa. Mengenai pernikahan, sebenarnya Devin memikirkannya juga, karena umur Devin yang sudah menginjak 27 tahun. Kelak, jika saatnya tepat, Allah pasti akan mengirimkan Devin seseorang yang menghargai Devin, mencintai Devin juga keluarga Devin...," kecup Devin pada punggung tangan Papabdan Mama bergantiqn, lalu memeluk keduanya lama.
"Devin cinta Papa juga Mama...,"

Mama juga Papa juga akhirnya memberikan izinnya, dengan catatan Devin harus berhati-hati. Dan Devin menyanggupinya, walau Devin untuk itu. Gaza telah lama dijajah oleh Israel, dan di sana, ribuan orang telah menuai syahid, yang tak menutup kemungkinan itu bisa menimpanya kapan pun di tengah tugasnya. Devin telah tahu bahwasanya Gaza adalah daerah Palestina satu-satunya yang masih bertahan hingga hari ini, yang diperjuangkan oleh generasinya yang terus menerus tumbuh untuk mempertahankan tanah para Nabi tersebut, dengan taruhqn nyawa mereka demi memperjuangkan ke-izzah-an Islam dan Masjidil Aqsha yang ada di sana. Di tanah inilah, darah syuhada mengalir harum. Setahu Devin, beberapa pintu masuk menuju Gaza telah dibuka karena desakan internasional, namun tetap di bawah penjagaan yang super ketat oleh mereka dengan snipernya. Tapi, cukuplah Allah sebagai tempat aku memohon perlindungan.

"Untuk urusan visa sudah diurus sekaligus oleh Misy'al, jadi kamu bisa di Balikpapan malam nanti. Nggak usah terburu-buru. Nikmati kebersamaan bersama keluarga barang sejenak. Maaf ya."

SMS ini masuk ketika Devin sarapan bersama Mama dan Papa. SMS yang sejenak membuatnya bernapas lega, nggak harus terburu-buru mengejar waktu. Hm... Misy'al telah mengurus segalanya, so... Thanks.

"Ma, Pa, Devin berangkat dulu. Maafkan kesalahan Devin ya. Ikhlaskan Devin pergi...," pamit Devin begitu jam menunjukkan pukul empat sore. Jika tak terjebak kemacetan di Bukit Soeharto, Devin memprediksi ia akan tiba pukul 17.30. Bisa jadi, ia pun harus shalat di jalan. Langsung ke kantor D'Islamic menemui pak Dion yang memintanya untuk ke kantor dulu, lalu rehat sejenak di kost mempersiapkan mental sebelum barangkat.

"Vin, ingat daerah kali ini daerah konflik, jaga stamina kamu...," pesan Mama. Devin mengangguk, menyandang ranselnya segera, mencium punggung tangan Papa dan Mama untuk yqng kesekian kalinya.

"Hati-hati...," peluk Mama bergantian dengan Papa yang mengantar hingga pintu gerbang. Devin mengangguk, meninggalkan mereka kembali menuju Balikpapan dengan Salamnya.

"Assalamu'alaikum Pa, Ma..."

Balikpapan, 22.00

Devin tiba di kost ketika semua telah terlelap.
Diandra yang membukakan pintu, karena sebelumnya Devin menghubungi via hape untuk membukakan pintu.
Ia bangun dengan wajah ngantuk.

"Sorry say, Kak Devin lupa membawa kunci...," ucap Devin yang dibalas Diandra dengan anggukan kecil, ngantuk membuatnya tak dapat menjawab ucapan Devin.
Ia pun kembali masuk ke kamarnya dengan langkah gontai.

Sampai di kamarnya, Devin bukannya tidur, melainkan segera membersihkan kamarnya yang hampir seminggu nggak sempat dibersihkan karena deadline yang padat. Jika harus besok, Devin ragu apakah ia bisa membersihkan kamarnya atau tidak sama sekali, karena waktu yang terus berputar cepat menuju jam keberangkatannya ke Mesir. Dari sanalah Devin juga rombongan dokter lainnya akan masuk. Seperti briefing yang disampaikan pak Dion tadi.

Tangan Devin terus menyusun kertas-kertas yang menumpuk di sudut kamarnya, sampai akhirnya Devinmenemukan kartu nama yang dia cari. Dari sana tertera sebuah nama yang membuat jantungnya berdegup kencang. Nama hacker yang rutin mengirim taushiyah padanya.

Al-Fath Journalist

Av-Rous
0812546xxxxx

Wajah superman dengan dagu belah itu pun terpampang jelas pada ingatannya. Devin ingin bertemu dengannya sesegera mungkin, namun waktu tak memungkinkan untuknya untuk gera menemui hacker ini dikarenakan jam telah jauh menuju tengah malam dan tak mungkin kantor al-Fath Journalist masih beroperasi. Kalau toh ada, mungkin mereka tak mengizinkan tamu berkunjung seperti halnya D'Islamic karena kesibukan di ruang percetakan yang meminta konsentrasi ekstra. Maka Devin pun menunggu pagi untuk segera menemuinya, dan inilah waktu yang begitu panjang menurut Devin.
Menunggu!

Pagi, dengan wajah segar bersemangat, Devin segera menuju kantor al-Fath untuk menemui Av-Rous. Devin memasuki lift dengan cepat yang akan mengantarnya ke lantao lima gedung al-Fath. Di lantai itulah Av-Rous berkantor.

"Maaf Mbak, mas Avv tidak ada di tempat. Beliau ke Jakarta menuju Malaysia dengan penerbangan jam tujuh pagi ini...," terang sang resepsionis dengan senyum manisnya. Devin memejamkan matanya kecewa, dan beralih menatap jam. Jam di tangannya tengah mengarah pada angka tujuh. Mungkin dia sudah berangkat untuk check in sejak pukul 06.30. Allah....

"Kapan kembalinya?" kejar Devin kembali. Sarng resepsionis membuka agenda yang ia punyai, lalu menjawab dengan senyum kembali.

"Besok jam 12 siang...."

"Dua belas siang?" tanya Devin, meyakinkan. Kepala sang resepsionis mengangguk. Dan jam itu adalah Devin dan Misy'al beserta rombongan berangkat dari Jakarta menuju Mesir setelah satu malam menginap di Jakarta.

Devin meninggalkan kantor al-Fath dengan wajah lesu.

"Kenapa, lu?" tanya Keira yang menunggu di mobil. Devin menggeleng pelan. Lesu!

"Aku nggak bertemu orangnya Ra, dah pergi ke bandara tadi pagi..."

"Belum saatnya kali..." balas Keira, bijak. Menghidupkan mesin mobil sembari membukakan pintu untuk Devin yang menampilkan wajah yang nggaj sedap.

"Mungkin...," jawab Devin lesu, menghempaskan tubuhnya begitu saja.

"Lu tuh ya, memangnya sepenting itu? Sampai harus kehilangan semangat segala? Be happy, Non...," cecar Keira, memutar mobil keluar dari areal perkir menuju jalan besar. Disisinya, Devin masih terdiam. Kecewa berat... Hik.. Hik...

•••••

Chapter ini masih bersambung ya guys.. 😉

Gaza I'm ComingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang