Magrib, ketika panghilan adzan menggeman ke seluruh langit Balikpapan, saling baersahutan dari masjid satu ke masjid lainn memanggil jiwa-jiwa merindu nafsu mutmainnah, Devin baru tiba di kost sederhananya bersama perantau lainnya yang seluruhnya cewek, masih berstatus sebagai mahasiswi.
"Kak Devin, makan malam yuk...," ketuk Dinandra di pintuk kamar Devin. Devin baru saja selesai mandi ketika ia mengetuknya, masih dengan handuk yang melingkar manis di atas kepalanya yang basah."Oke, tapi kak Devin mau shalat dulu." sebuah kewajiban yang tak boleh terlewatkan.
"Kami tunggu!" jawabnya, terdengar melangkah kembali, turun ke lantai dasar. Di sana semua telah menunggu. Zora, Zahra, Aisy dan Mei Lyn.
Selepas shalat, Devin pun turun, bergabung dengan mereka. Menikmati menu khas chef Mei. Spaghetti with egg yellow.
"Sorry, kak Devin telat... Tadi kelelahan, jadi istirahat dulu bentar...," senyum Devin, menark kursi, duduk tenang menghadapi makanan.
"Itu mah biasa kak, untuk jurnalis seperti kakak. Apalagi ini masa-masa deadline kan?" Diandra membalas cepat, diiyakan yang lainnya.
"Yap!"
Semua tertawa.
•••••
Makan malam terlah lewat, yang diakhiri dengan pesta buah semangka sambik berbincang sejenak di ruang tamu. Selepas itu, Devin segera melangkahkan kakinya menuju kamar kembali. Devin ingin meregangkan otot-otot tubuhnya, membawa rileks dengan istirahat yang baik. Tidur sebelum jam sepuluh! Inilah pegangan Devim sebagai persiapan kesegaran ketika bangun di jam tiga dini hari. Menyertakan proposal hidup esok, semoga lebih baik dan bermakna dari sebelumnya. Tak lupa di sanalah ia menyelipkan doa khusus untuk korban Gaza, bumi yang menjado impiannya. Devin selalu ingin suatu saat nanti Allah mengirim langkahnya ke sana, menyaksikan langsung dan menghimpun berita langsung dari sumbernya. Riil, itulah impian yang besar, menggelegak bak pusaran air pada pikirannya, hadir dalam doa-doanya yang panjanjang. Gaza!
Baru sampai pertengahan tangga, bel pintu depan berbunyi kalem dengan ucapan salam yang menentramkan, sampai gerombolan setan yang antri di depan pintu terjungkang mendengarnya.
"Huf..." Devin menghembuskan napas, menggidikkan bahu, siap memutar langkah untuk turun kembali. Ketika langkahnya hampir menyentuh lantai dasar, Aisy muncul menuju pintu, lagi-lagi dengan masker bengkoangnya yang tebal dan putih pucat.
"Huf..." Devin pun kembali menarik napas menaiki tangga. Namun, baru beberapa tangga langkah itu, Aisy muncul memanggilnya.
"Kak, ada yang cari tuh!" ucapnya dengan mulut kaku, khawatir maskernya rusak, dengan disertai isyarat tangan mengarah ke ruang tamu.
"Kaka?" tunjuk Devin pada dadanya. "malam-malam gini, siapa yang nyariin aku?" batinnya, bergegas turun dengan uapan hangat.
"Ya, cowok dari al-Fath Journalist." samar-samar, Aisy memberi informasi, samar karena efek masker yang mulai mengeras.
"Oke...," angguk Devin, memutar langkah kembali dengan napas naik turun. Letih!
Devin melangkah cepat menuju ruang tamu. Baru beberapa langkah, kakinya mengingat akan sesuatu yang terlupa.Cepat, Devin pub memutar langkah menuju kamar Mei Lyn yang persis dekat dengan ruang tamu. Meminta untuk menemaninya. Menemui tamu spesialnya di waktu-waktu di mana dirinya harus rileks.
Di ruang tamu Devin mengerutkan dahi, melihat wajah tampan persis superman berdagu belah itu. Ia sedang duduk membuka majalah fashionable dengan kostum santai dipadu jaket hitam. Devin menautkan alis. Devin belum pernah bertemu orang ini sebelumnya.
"Ehm... Maaf, anda mencari saya?" Tegurnya, pelan. Wajah itu terangkat, menatap Devin dan mengangguk tersenyum. Ia pun meletakkan majalah, lalu mulai mempaerkenalkan diri dengan baik, tanpa basa-basi.
"Saya dari al-Fath Journalist, yang mencari pengajar untuk calon jurnalis muda di al-Fath. Pendeknya, pelatihan jurnalisti. Kebetulan, tema kami ada yang berbicara feature dan orang yang tepat dengan bahasa yang pas adalah anda. Saya telah membaca tlisan anda di majalan D'Islamic...," paparnya to the point aja, tanpa melihat wajah Devi dan Mei yang mengerut.
"Saya?"
"Ya..., ini kartu nama saya. Jika anda berkenan, hubungi nomor itu."
"Oke, saya pikir dulu...," angguk Devin. Ia tersenyum dengan senyum yang manis di belik wajah lelahnua. Lesung pipinya nampak sempurna, muncul dari kedua pipinya yang rada cubby.
Ia menyetujui dan segera pamit. Devin mengantarnya hingga benar-benar hilang dari halaman kost. Setelah itu, Devin segera kembali ke dalam.
"Thanks, Lyn," tepuk Devin pada bahunya.
"Oke...," senyumnya.
Devin pun membimbing langkahnya kembali menaiki tangga dengan hembusan napas ngos-ngosan karena tangga yang seolah tak berujung.
"Huf!" hembusan napasnya untuk kesekian kali terdengar begitu ia tiba di depan kamarnya. Karena lelahnya yang sangat, Devin tak memperhatikan kartu yang di berikan padanya tadi. Kartu itu ia lempar begitu saja, yang terjatuh bersama dengan tubuhnya yang tertelungkup di atas spring bed. Kartu itu jatuh tepat di atas tumpuka sampah kertas-kertas bekas print out yang tertumpuk di sudut kamar. Kartu itu pun tercampur di sana dan Devin tak mengetahuinya karena lelahnya menuntut untuk segera istirahat. Devin pun terlelap tanpa mengingatnya lagi. Ngantuk benar-benar membuatnya lupa untuk menjalankan rutinitasnya sebelum tidur. Wirid malam juga muhasabah. Afwan ya Rabb...
•••••
Update yang bagian awal dulu ya.. 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Gaza I'm Coming
SpiritualDi Tengah Desingan Peluru, Cinta Itu Bersemi.. ••••• "Kamu ingin meliput Gaza?" tanya Devin pasti, hingga ia terlonjak dari duduknya. "Ya. Aku ingin menaklukkan Gaza dengan kameraku ini," balasnya meyakinkan. Sungguh, ia seperti aku.. Dengan gelega...