Aku menyabuti rumput liar yang berada di gundukan tanah. Sesekali mengelus papan kayu di atasnya. Pikiran menerawang jauh pada masa lalu yang penuh tawa bahagia. Dihujani belaian kasih dari malaikat tercinta. Sekarang. Tawa itu ikut terkubur didalam gundukan tanah yang mulai mengering.Airmata perlahan jatuh. Saat ingatan mengeruak muncul melihatkan adegan kebersamaan menari indah di pelupuk mata. Segera tangan menghapus air yang membasahi pipi. Seolah berkata, "Stop, Kiranna. Jangan menangis!"
Mengembuskan napas yang serasa tertahan di dada. Sangat sulit. Sebab luka ingin berteriak mengaduh pada sosok yang tertimbun tanah. Rasanya ingin melihatkan ketegaran tapi nyatanya hati sangatlah rapuh.
"Cengeng!" ledek suara berat dibelakangku.
Aku menoleh. Mendapati seorang anak laki-laki berusia 14 tahun. Menyondorkan sesuatu yang terbungkus kertas minyak ke arahku.
"Apa ini?" tanyaku bangkit berdiri. Mengibas- ibaskan tangan berharap tanah yang menempel pada jari-jari ikut terjatuh.
"Buka sendiri!" jawabnya melengos.
Aku menerima bungkusan itu lalu membukanya. Sepotong ayam kentucky.
"Darimana kamu tahu, aku menginginkan ini?" tanyaku menyelidik. Dia berdecak.
"Aku melihat Bila dan Ajeng makan di depan rumah. Aku pikir, kamu pasti tidak dikasih ama Bulekmu."
Aku mengangguk.
"Makanlah. Kalau kurang, entar aku ambil lagi dirumah."
Aku menggeleng. Memasukkan makanan kesukaaan dengan perlahan. Sebenarnya ingin langsung kusantap dengan lahap tapi sangat kikuk. Saat ada sepasang mata melirik mengawasi walau terlihat sembunyi-sembunyi.
"Memang kalau ngomong sama ibumu, dia bisa ngasih kamu gitu?" tanyanya seolah mengejek. "Di makam tuh, do'ain. Bukan nangis ngadu. Aneh."
Aku hanya diam. Melihat dia yang bukan siapa-siapa tapi begitu penuh perhatian. Sedangkan yang masih ada ikatan darah tak punya perasaan. Membiarkan nestapa sendirian.
"Sudah, jangan nangis!" cegahnya. "Ingat, pesan ibumu!"
Aku mengangguk dengan isakan.
____________________"Main mulu, " teriak seorang wanita bertubuh tambun sambil menjontorkan dahi. Aku menunduk, takut melihat bola mata apinya. Sementara dua ponakan tertawa melihat aksi ibunya memarahiku. Biasanya mereka juga ikut usil memukuli.
"Cuci pakaian sana!" perintahnya mendorong tubuh hingga terjerebab ke lantai. Mulut mengaduh kesakitan. Tapi dua makluk yang dulu pernah aku temani main saat bayi, tertawa cekikikan.
Seseorang wanita tua menghampiri, menolong tubuh untuk berdiri.
"Awakmu ki nyapo tho, Thum. Sakjae benci eram karo Kiranna." sela Mbah Mi menepuk bajuku yang kontor.
"Belo ae terus, Mak."
"Ileng, Kiranna ponakanmu, Thum. Wasiat Mbak Yumu."
"Wasiat opo, " sela Bulek Thum geram."wasiat ngentekne beras. Wasiat ki warisan seng akeh ora nambah beban."
"Astagfirrullah,...Thum." kata Mbah Mi mengelus dada. "eling Thum, biyen seng nyekolahno awakmu ki sopo? Mbak Yumu. Saiki awakmu mundak ra eling ikatan keluarga. Seng muk kejar mung dunyo." Mbah Mi menggenggam tanganku, mengajak berlalu.
"Sebelum cucian selesai, ndak boleh makan!" ancam Bulek Thum masuk ke kamarnya sambil membanting pintu dengan keras.
"Gak usah dipikir kelakuan Bulekmu, ya Nduk." hibur Mbah Mi merangkul bahu yang bergetar. Aku menangis sesenggukan di dada Simbah, kerabat satu-satunya yang masih peduli.
"Kerjakan dulu yang disuruh Bulekmu, yaa. Entar Simbah bantuin kalau pekerjaan Simbah udah selesai."
Aku mengangguk. Berjalan gontai menuju kamar mandi di belakang rumah.
_________________
Sumur tua yang dindingnya dipenuhi lumut serta bak mandi berukuran besar dan setiap kali airnya penuh, aku yang selalu mengisi dengan ember hitam yang di tali pakai tali tambang panjang.
Aku melempar ember itu masuk dalam sumur. Terdengar bunyi blam saat ember itu menyentuh permukaan air sumur. Kemudian aku menarik tali tambang yang terikat. Menarik sekuat tenaga.
Berat itu pasti. Dan lelah... Sangat. Bagaimana kekuatan seorang anak berusia 12 tahun dengan berat badan sekitar 30 kg menarik beban ember dengan berat sekitar 10 kg.
Tapi apa daya. Dan itu sudah menjadi kegiatan wajib dilaksanakan.
Dua ember besar sudah penuh. Badan rasanya lemas tak bertenaga. Belum telapak tangan yang lecet karena tali tambang yang kasar. Sementara beberapa tumpuk pakaian menanti sentuhan tangan.
Aku menghela napas panjang membuang sesak penuhi rongga dada. Hanya saja airmata terlalu lancang bertindak. Mengalir deras hingga napas terasa berhenti.
"Jangan sekalipun menangisi yang pernah terjadi. Tetap tersenyum. Allah menyanyangimu."
Setiap tangisan itu memburu, suara ibu terdengar menguatkan. Seolah tangan lembutnya mengusap rambut lalu menyium dahi penuh kasih.
Aku tersenyum. Mengusap air bening yang membasahi pipi. Lalu memulai lagi aktivitas yang melelahkan. Satu persatu pakaian kotor aku kucek dengan tangan. Sesekali mengusap kening yang dibanjiri keringat.
Tiba-tiba seseorang dari belakang mendekap tubuh lalu membungkam mulut yang mau menjerit minta pertolongan. Dari bau tubuhnya, aku tahu, dia siapa?
Aku menggigit salah satu jari orang itu.
"Aduh!" teriaknya kesakitan. Tapi tak melepaskan pelukannya. Aku berontak, menginjakkan tumit kaki pada jempol kakinya.
"Lepaskan aku, Lek!" teriakku memaksa tangan kekar itu melonggarkan pelukannya. Tangan kekar itu membungkam lagi mulut.
"Sini cah ayu, " rayu Lek Parman, suami Bulek Thum mulai mendaratkan bibirnya di tengkuk. "wangi eram awakmu..."
Sumpah, rasanya aku mau menjerit. Bukan hanya sekali ini, pria jahat itu memperlakukan aku seperti ini. Berkali-kali. Tapi selalu gagal karena Simbah terus mengawasi gerak- geriknya ketika dia mau mendekatiku. Sekarang Simbah berada di dapur mengurusi dagangannya yang esok hari dia bakal jual di pasar. Jelas tidak mungkin Simbah mendengar teriakanku.
Brakkkk.
Seseorang melayangkan tinju ke arah Lek Parman. Tubuh berkulit hitam akibat keseringan berpanasan itu tersungkur ke tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
KIRANNA
ChickLitgadis muda yang bercita-cita ingin memajukan desanya lewat impiannya. sayangnya, dia hanya gadis miskin.