Den Bagus berjalan pelan dengan tangan berkaitan di belakang. Celana hitam katun merk luar dengan dipadukan batik coklat terang, tertata rapi masuk dalam celana. Dan sebuah sabuk hitam melingkar di pinggang dengan tokoh kepala singa ditengahnya.
Penampilannya mengingatkan aku pada seseorang. Akh! Mengingatkannya hanya menimbulkan rasa sakit yang menjalar. Segera kutepis bayangan itu sebelum aku terlarut dalam kerinduan.
"Monggo ..."kata Den Bagus memecah keheningan yang sempat tercipta, "siapa tadi yang mau mengusir Kiranna. Monggo ...berhadapan kaleh kulo."
Pak Lurah diam. Sementara Bapak kepala sekolah segera berdiri dari duduknya, melangkah ke arah Den Bagus hanya untuk menyalami tangan beliau. Padahal usia jauh dibawahnya, tapi dia tak nampak terganggu.
"Silahkan duduk !" Menarik kursi lalu mempersilahkan Den Bagus untuk duduk.
Tangan Den Bagus melambai pelan, menolak tawaran Bapak kepala sekolah. Dari sorot matanya, terlihat ada kemarahan. Dan ditujukan pada Pak Lurah.
"Bagaimana Pak Lurah bisa dilanjut?" tanya Den Bagus berdiri tepat dihadapan Pak Lurah.
Pak Lurah tertunduk tak bisa membalas pertanyaan Den Bagus.
"Ini hanya masalah salah paham saja, Den. Bisa diatasi dengan kekeluargaan." Bapak Kepsek menengahi.
"Kalau bisa di atasi, kenapa harus sampai dikeluarkan?"
Bapak Kepsek diam. Matanya melirik ke arah Pak Lurah.
"Ini bukan urusan panjenengan. Saya mohon panjenengan gak usah ikut campur. " Akhirnya Pak Lurah membuka suara. Tak ada penekanan di sana malah terlihat lunak dan bijak.
"Gak usah ikut campur, bagaimana? Yang anda lakukan pada Kiranna itu penindasan..." bentak Den Bagus marah.
Pak Lurah terdiam. Menunduk.
"Sampeyan iki pengayom. Seharusnya meluruskan, bukan malah membela yang salah."
"Lho... Anakku gak salah," sela Pak Lurah tersinggung. Raut wajahnya berubah mengeras, "anak itu yang salah main tampar anak orang."
Telunjuknya mengarah padaku. Matanya menyorot tajam seolah aku adalah mangsa yang siap diterkamnya. Den Bagus seketika menoleh padaku.
"Opo yo benar omongane Pak Lurah, Nduk?"
Raut wajahnya nampak datar tak terkesan seperti tadi. Sementara dari arah Pak Lurah yang posisinya dibelakang Den Bagus, melotot. Mencoba mengintimidasi.
Aku menunduk. Menenangkan hati yang mulai menciut. Takut terhadap ancaman dari Pak Lurah.
"Ngomong, Nduk. Gak usah takut."
Suara Den Bagus seolah tahu pikiranku. Aku mengembuskan napas perlahan. Menyakinkan hati.
"Mereka menghina ibuku," jawabku dengan suara lirih.
"Bohong dia !" teriak Pak Lurah. Den Bagus langsung melotot pada Pak Lurah. Seketika orang itu nampak menutup mulutnya.
"Orang anaknya belum selesai ngomong udah disela, " cecar Den Bagus garang. Tatapannya kemudian beralih pada Bu Saski. Nampak guru berkacamata itu terlihat kikuk.
"Apa benar Kiranna memukul anak Pak Lurah?"
Bu Saski mengangguk. Tiba-tiba rona wajahnya memerah. Entahlah. Karena apa...
Den Bagus berjalan ke arahku. Tanpa diduga, dia membungkuk menyalami Simbah. Posisi kami memang masih terduduk dilantai.
Simbah mengelus rambut Den Bagus lembut.
![](https://img.wattpad.com/cover/146637868-288-k925525.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KIRANNA
ChickLitgadis muda yang bercita-cita ingin memajukan desanya lewat impiannya. sayangnya, dia hanya gadis miskin.