Pak Lurah kejam

436 33 0
                                    


"Biasanya buah jatuh tidak jauh dari pohonnya."

Celetuk seseorang ketika menyadari aku masuk kelas. Aku masih belum sadar kalau peribahasa itu ditujukan padaku. Aku berjalan santai menuju bangku tepat didepan meja guru.

"Tampangnya sih polos, gak tahu dalamnya ... Hancur." sahut yang lain. Kemudian terdengar suara tawa mereka serempak. Mereka berempat berkeliling duduk di pojok. Dan aku tahu, siapa mereka.

Nia, Ratih, Wulan dan Anggi. Sekelompok anggota cewek yang selalu suka ngerumpi, memamerkan kekayaan kedua orang tua mereka.

Tapi hari ini, pandangan mereka terus tertuju padaku. Apa mungkin mereka membicarakan aku tentang SPP-ku yang dilunasi Den Bagus?

"Ada gak sih orang nolong kalau gak ada maksudnya?"  Nia berkata dengan suara agak dibesarkan supaya aku bisa mendengar.

Deg.

Benar apa yang kupikirkan? Tentang perkara kemarin rupanya.

Aku membiarkan mereka. Dan asyik membaca buku yang aku pinjam dari perpustakaan kemaren. Waktunya untuk dikembalikan makanya aku ingin membaca ulang supaya selalu ingat.

"Ya. Jelasnya pasti ada embel-embelnya. "

"Kalau enggak disuruh nyuci baju ya ditidurin..."
Sahut yang lain dan aku tak tahu siapa. Kemudian tawa mereka serempak menyusul.

Shitt!!

Tawa mereka meremas hati. Entah , mengapa badanku menggigil tiba-tiba. Buku teremas kuat ditangan.

"Orang kelakuan ibunya sama... Ya jelas anaknya juga sama." Ratih mencibir dengan nada yang menampar telak hatiku.

Brukk.

Buku aku banting keras ke meja. Aku berdiri kasar sampai kursi yang kududuki jatuh terjungkal ke belakang. Saat terdengar bunyi benda jatuh membuat tawa mereka berhenti seketika.

Mereka berempat memandangi dengan wajah terheran. Sebab baru kali ini, aku terlihat marah  mendengar olokan mereka.

"Apa maksud perkataan kalian?"Aku bertanya dengan sedikit membentak. Mereka diam. Suasana kelas yang tadi ramai mendadak sepi. Bahkan mulai mencekam. Berpuluh mata menatap kami.

"Kiranna, " panggil Rita, teman kelas yang duduk di bangku sebelah. Menghampiri aku dan menepuk bahu, lembut. " udah, jangan diladeni!"

Aku diam. Tapi tanpa membuang tatapan marah pada mereka.

"Dia tidak terima perkataan kita," ejek Ratih tersenyum sinis. Memandangi dengan mata beloknya.

Dulu, aku memang takut pada Ratih, anak kepala desa. Karena aku tidak ada apa-apanya bila harus melawan olokan mereka.

Tapi, ini sudah diluar batas...

Mereka menghina ibuku. Perempuan satu-satunya yang aku hormati selain Simbah. Tidak bisa! Aku tidak terima.

"Lalu kamu mau apa?" tiba-tiba Wulan sudah berdiri di depan. Sedikit mendorong tubuh ini  agak kasar. Aku terhuyung ke belakang. Untung saja ada Rita yang menahan tubuh.

"Mana ada perempuan yang pamitnya kerja bertahun- tahun, tapi pulang hanya bawa anak. Kalau tidak bekerja sebagai wanita nakal." seloroh Ratih di belakang.

Entah. Rasanya aku ingin melompat saat itu dan menampar mulutnya.

"Malu dikatain bekas anak pelacur!" Wulan menyunggingkan senyum mengolok.

Badanku gemetar. Tangan mengepal kuat. Mata terasa panas menyebabkan kabut di pandangan. Aku memejamkan mata. Beberapa bulir air bening jatuh di sudut mata. Terlintas bayangan wanita anggun penuh senyum.

KIRANNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang