Sosok berbadan besar berdiri di hadapan Lek Parman. Kaki berbulu lebat itu sudah anteng tepat di leher Paklek. Sekali hentak, siap mematahkan leher yang punya."Ampun, Den ...." seru Lek Parman memegangi kaki yang mulai siap menekan. Pria itu menyorot tajam. Rahangnya mengeras.
"Berani-beraninya kamu, ya. Mau senonoh dengan ponakanmu sendiri. Mau tak bilangin warga biar kamu dipasung lalu dihajar habis-habisan sama mereka... Hahhh!" hardik pria itu berjongkok, menampar pipi Lek Parman.
"Ampun... Den, saya khilaf. Saya janji gak bakal melakukan itu lagi, " pria berkulit gelap dengan rambut gimbal mengiba. Tangannya memegangi kaki pria yang berdiri di atas lehernya.
Pria itu melirikku sekilas. Aku yang terduduk di tanah dengan baju basah karena air dari ember yang terpelanting saat kaki pria tadi menendang Pak Lek Parman. Pria itu menarik kakinya, berjalan mendekatiku.
Lek Parman segera bangkit berdiri. Kepalanya melongok arah rumah memastikan bahwa istri dan mertuanya tak sempat mendengar kerisuhan tadi.
"Kamu gak papa, tho, Nduk!" pria itu mengulurkan tangan. Aku menundukkan kepala, tak berani menatap wajah pria itu apalagi menyambut uluran tangannya. Masih trauma.
Aku menggelengkan kepala.
"Aku baik-baik saja, Om."
Tangan pria itu ditarik kembali lalu disembunyikan dibelakang tubuh. Melangkah pelan ke tempat Lek Parman berdiri.
"Sekali lagi aku lihat, kamu ngerjain bocah ayu iki, .... Tak potong manukmu tak pakakno asu..."" ancam pria bermata sipit mirip keturunan cina.
"Gak lagi, Den..." Lek Parman menunduk takut sampai kepala mau menjungkal ke bawah.
Pria yang setahun ini mondar mandir di desaku sebagai juragan tengkulak. Dimana para petani di sini menjual sebagian hasil panennya pada juragan tampan yang terkenal akan kebaikan hatinya ini. Bernama Raden Bagus, sebagus wajahnya. Keturunan konglomerat dari kota. Masuk ke desa, mencoba membenahi kemakmuran para petani di sana.
Desa ini masih jauh dari kota. Terletak di bawah kaki gunung. Ada dua gunung yang menutupi wilayah hingga menyebabkan penduduk di sini tertinggal jauh dari kota. Butuh waktu sehari semalam bila menginginkan ke kota. Dan itu pun harus memakai kendaraan.
Raden bagus berlalu dengan tangan berada di belakang. Sikapnya yang dingin dan misterius membuat banyak para gadis menggila. Tapi sayangnya, Raden Bagus enggan untuk menanggapi mereka yang selalu merayu ingin dipersunting. Padahal dari segi umur, Raden bagus memang sudah pantas punya istri.
"Mbah..." panggilku sambil memilah kedelai berada di nampan besar terbuat dari bambu di kursi panjang. Kedelai itu kelak akan dijadikan tempe besok dan dijual di pasar.
Mbah Mi duduk di depan tungku besar terbuat dari tanah ( pawon ). Tangannya memasukkan ranting-ranting kayu di dalam lubang tungku. Lalu menyalakan korek api, disulut di kertas usang yang sedari tadi digenggam kemudian di masukkan dalam tungku. Api menyala perlahan. Dengan sigap, Mbah Mi mengambil sebuah kipas lalu dikibas api itu supaya menyala terang.
Di atas tungku terdapat panci untuk menanak kedelai yang sudah terlebih dahulu dicuci lalu direndam beberapa jam yang lalu. Tidak lupa ditiriskan terlebih dahulu bila dimasukkan dalam panci. Pekerjaan yang rutin dilakukan Mbah Mi menjelang sore. Biasanya aku bertugas untuk memilih kedelai yang baik untuk dijadikan tempe.
"Ada apa to, Cah ayu?" tanya Mbah Mi mendekat duduk di samping. Mengambil hasil pekerjaanku dan di taruh di ember plastik. Persediaan untuk besok setelah pulang dari berjualan tempe.
"Tadi Bu guru menanyakan uang SPP." Aku menatap api yang mulai berkobar ditungku. Membuat aura panas di sekitar.
Mbah Mi diam tak menjawab. Aku merasa sedih harus memberi beban pada Simbah di usia lanjut ini. Tapi aku tidak ingin putus sekolah. Aku ingin mewujudkan cita-cita Ibu sebelum menutup mata.
"Tetap berjuang untuk terus menggapai mimpimu, Tuhan selalu ada di sampingmu."
Mbah Mi mengelus rambut pelan, "sabar ya. Belum ada uang. Doakan besok tempe jualan Mbah habis jadi uangnya bisa buat bayar uang SPPmu."
Aku memejamkan mata. Merasa sesak di dada. Teringat pesan Bu guru di sekolah.
"Besok kalau belum bayar tunggakan SPP sampe lunas sesuai bulan, maaf ya. Kalian tidak bisa mengikuti ujian."
Aku mengangguk pelan. Dan membayangkan besok harus duduk di luar sekolah menunggu teman yang lain mengikuti ujian. Melihat dari jendela ruang kelas dengan tetesan airmata. Sangat menyedihkan.
"Kenapa?" tanya anak laki-laki pemberi kentucky kemaren, berjalan di samping. Merasa aneh, melihat langkahku lemas menuju sekolah.
Aku menoleh. Lalu menggeleng pelan. Kemudian melangkah lagi.
Aditya, nama anak laki-laki itu berdiri tepat dihadapan membuat langkahku berhenti mendadak.
"Ngomong!" tegasnya lagi. Matanya membulat.
"Apaan, sih. Kepo!" Tanganku menyingkirkan tubuh itu dari hadapan.
"Soal uang SPP?" tanya Aditya lagi tanpa sedikitpun bergeser dari tempatnya.
Aku diam. Menunduk. Dia terlalu tahu tentang apa yang terjadi dalam hidupku.
"Aku yang akan membayarnya nanti."
"Gak usah!" tolakku cepat.
"Kenapa?"
Aku diam.
"Takut ketahuan ayahku."
Aku diam.
Teringat beberapa hari lalu, PakDe Narwi- ayah Aditya, memarahiku gara-gara Aditya memberi beberapa buku miliknya. Entah. Aku tak tahu. Kenapa Pakdhe Narwi begitu membenciku? Melihatku seolah mengingatkan dia pada sesuatu. Setiap kali kami berpapasan di jalan, dia selalu menyuruh pekerjanya untuk mengusirku.
"Ini uang tabunganku."
Aku menggeleng.
"Aku hanya tidak ingin ayahmu terus membenciku. Dan melarangmu untuk berteman denganku."
"Lalu bagaimana dengan ujianmu nanti?"
"Aku bisa menyusul, " jawabku pelan, sedikit ragu-ragu. Karena aku tak tahu pasti, kapan Simbah mendapatkan uang dalam waktu dekat ini.
Aditya menatapku tajam. Sebelum dia membuatku memilih keputusan salah untuk menerima uangnya, segera aku berlari menjauh. Masih kudengar panggilan menyerukan namaku lalu langkah mengejar.
Untung saja bel berbunyi saat aku memasuki ruang kelas. Aku bernapas lega. Duduk di bangku. Sekilas aku menatap dia yang berdiri di depan pintu dengan wajah dongkol. Kemudian Aditya berjalan menuju kelasnya.
Anak itu duduk di kelas delapan sementara aku duduk di kelas tujuh. Terdengar detak suara sepatu memasuki ruang kelas membuat dada semakin berdebar. Rasanya badanku panas dingin.
Bu guru masuk membawa setumpuk lembaran soal ujian. Sekilas dia melirikku.
Deg.
Rasanya napasku berhenti. Mungkin lirikan itu seolah mengusirku untuk pergi. Aku berdiri dengan lemas, menaruh tali tas pada bahu.
"Kiranna, mau kemana?" tanya Bu Saski.
"Keluar, Bu." Aku menjawab dengan menunduk. Malu dilihatin banyak teman.
"Kenapa? Sakit?"
Eh.
Aku mengerutkan dahi. Menggeleng perlahan.
"Belum bisa bayar SPP, Bu." Pelan suaraku menjawab. Berharap mereka tidak mendengar. Wajahku terasa panas. Menjalar pada mata yang menahan tangis.
"Wong mlarat!" ejek teman perempuan duduk di sudut belakang. Lalu terdengar teriakan keras Huuu panjang membuat hatiku serasa teremas. Rasanya aku ingin berlari memeluk Ibu. Menangis dalam pelukan.
Aku tertunduk menutupi buliran airmata yang mulai turun perlahan. Menyedihkan.
"Duduk, Kiranna!" perintah Bu Saski berjalan pelan menuju tempat dudukku, " Biaya SPPmu lunas sampai kamu lulus. Jadi gak usah kawatir tidak mengikuti ujian."
Aku terkejut. Ada rasa nyeri tercabut di dada. Beribu pertanyaan menyerbu kemudian. Mengelilingi satu persatu untuk dijawab.
Siapa yang telah menolongku?
![](https://img.wattpad.com/cover/146637868-288-k925525.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KIRANNA
ChickLitgadis muda yang bercita-cita ingin memajukan desanya lewat impiannya. sayangnya, dia hanya gadis miskin.