Temu kangen

431 25 14
                                    

Bagi yang rindu Kiranna Monggo di simak

KIRANNA

TEMU KANGEN

"Duh, Cah Ayu!" Den Bagus menatap lekat gadis cantik bermata kucing  di hadapannya. Kiranna menoleh pelan lalu menunduk, saat Den Bagus mengedipkan mata genit. Jari lentik Kiranna mencubit pinggang lelaki bertubuh tegap dengan rambut kriwul itu. Bukannya kesakitan, Den Bagus malah tertawa senang.

"Suwe ora ketemu ... atiku mundak ser-ser cedhak awakmu, Nduk." Den Bagus mengulurkan tangan ke arah rambut Kiranna yang dibiarkan tergerai. Diselipkan sebagian rambut yang menutupi wajah ayunya.

Kiranna melirik malu. Tak henti-hentinya, tangan berjari lentik meremas ujung kaos yang dipakai. Detakan jantung membuat tubuhnya bergetar seolah tengah ada lindu.

Den Bagus menyesap harum rambut Kiranna, membuat gadis pemalu itu terlonjak kaku. Desah napas lelaki itu yang terdengar di telinga Kiranna, menyengat kulitnya, menimbulkan desir halus meranyapi hati.

Kiranna mengggigit bibir bawahnya. Sebenarnya  dia ingin menghindar dari perlakuan memabukkan Den Bagus tetapi hatinya berkata lain, dia merasa nyaman seolah inilah rumahnya yang dulu pergi jauh.

Den Bagus mengerutkan dahi. Diendus-enduskan hidungnya mencari bau yang menusuk. Harum melati di rambut Kiranna berubah aneh.

"Nduk ...!"

Kiranna terjingkat.

"Kapan terakhir kamu keramas?"

Kiranna mengernyitkan dahi, heran atas pertanyaan yang menurutnya tak pantas dilontarkan di saat seperti ini, apalagi tangan Den Bagus sedang menciumi rambutnya. Karena merasa segan, dengan sedikit kesal Kiranna pun menjawab, "Tadi pagi, Den."

"Rambutmu kok bau tai lencung ..." Tanpa tendeng aleng-aleng, Den Bagus berucap.

Kiranna terperangah, bukan Kiranna melainkan aku. Lalu bayangan mereka yang tengah memadu rindu berantakan saat adek Abhi merangkulku dari arah belakang.

Tangan kecilnya yang bergelayut manja di leher membuat aku tahu, bau yang dimaksud Den Bagus.

"Abhi ...!" Segera saja aku angkat bayi mungil ke kamar mandi. Bagaimana melihat paras tampannya belepotan pasir dengan jari-jari diselimuti coklat tai ayam, membuatku 😤😤😤. Nulis ... skip.



"Nduk, pengen sun!" Den Bagus memonyongkan mulut. Kiranna membesarkan mata, geli melihat tingkah konyol bujang lapuk. "Mbok yo aku ki di sun nu lo, Nduk. Ben kangenku ki ilang."

"Emoh." Kiranna menutup mulut, menjauhi muka Den Bagus yang mendekat.

"Medit men tho, Nduk," gerutu Den Bagus mencebikkan mulut. Kiranna menggeleng. "Pissan ae yoo." Den Bagus masih berusaha membujuk. Kiranna menggeleng, tangannya mendorong tubuh Den Bagus untuk menjauh.

"Emoh. Emoh. Emoh." Suara Kiranna sedikit keras. Den Bagus mundur mendengar suara Kiranna yang terkesan marah.

"Yo wes nag nggak gelem," ujar Den Bagus mulai sedikit panik melihat Kiranna yang nampak menangis sesenggukan. "Jo nangis yaa."

Bukannya diam, Kiranna malah menjerit keras membuat Den Bagus gelagapan. "Waduh .... durung diapak-apakno wes nangis kejer!" Alih-alih ingin menenangkan, Den Bagus mengelus rambut Kiranna. Tapi suara jeritan menyakitkan telinga yang dia dapat. Kiranna dengan sadis menggigit tangan Den Bagus.

"wadouuh ....!" Suara itu bukan milik Den Bagus tetapi jeritan penulisnya. Bagaimana tidak menjerit kesakitan, aku yang tengah asyik menekan tombol layar ponsel tetiba tanganku diraih lalu digigit Kak Umi.

Tangan Kak Umi menunjuk Adek Abhi yang tengah membawa sapu. Rupanya bocah kecil itu mau memukul kakaknya. Sangking takutnya, Kak Umi nangis lonjak-lonjak. Menjerit panik saat adeknya mulai mendekat.

Aku yang baru sadar cuma bisa melihat sapu yang terayun ke kepala. Pletak! Aku meringis. Untung sapunya mendarat manis di kepala emaknya, bukan ke Kak Umi. Maka dari itu ... Nulis ... skip, nunggu anak pada tidur.

"Nduk!" panggil Den Bagus mendekat. Kiranna yang terperangah, melihat sinar purnama, terlonjak kaget.

"Injih."  Santun Kiranna menjawab. Den Bagus tersenyum lembut, mengagumi sosok bidadari yang berdiri di hadapannya. Sangat cantik, melebihi wanita manapun yang pernah dia temui.

"Mung nguwasi slirahmu ae, aku wes bungah," ujar Den Bagus mendekat. Melihat jarak yang terlampau dekat, Kiranna mencoba mundur selangkah. "Opo maneh nag nyedak ngeneki ... kepengen ndang iso ngrasakno push-up karo awakmu."

Kiranna mengeryitkan dahi. Kepolosannya tidak mampu menerjemahkan maksud omongan Den Bagus. Bujang tua itu tersenyum, melihat raut kebingungan Kiranna.

"Ra ngerti yoo," ejek Den Bagus, "gelem ra diajari push-up memperbesar perut, Eh! Salah, memperkecil ding."

Kiranna diam tak menjawab, masih mencoba untuk menelaah sendiri ungkapan Den Bagus. Berpikir diamnya Kiranna adalah mau, Den Bagus pun mengambil ancang-ancang untuk mempraktikkan.

Kiranna yang tengah fokus untuk mencari jawab omongan Den Bagus, lengah. Kaki belakang yang setengah bertumpu, kehilangan keseimbangan membuat tubuh Kiranna terjatuh. Apesnya lagi tangan Kiranna malah menyeret tubuh Den Bagus untuk terjatuh bersama. Alhasil pose mereka sudah seperti diangankan Den Bagus.

Merasa diperlakukan senonoh, Kiranna geram. Hatinya mendadak mendidih marah. Didorong keras tubuh Den Bagus menjauh.

Plak!

Sekonyong-konyongnya pria itu menjerit, bukan ding tapi aku. Tanpa sadar, aku melihat raut wajah Paksu melotot. Marah karena tertampar tak kusengaja.

Paksu langsung menjauh dan tidur menghadap ke tembok. Aku merangsek, mendekat.

"Yah ... katanya mau push-up," kataku merajuk. Setelah sadar, ternyata bukan Den Bagus yang ngomong tadi, tapi Paksu. Biasanya dia pake istilah itu kalau lagi mau. Sayangnya Sikak Umi mau dikelonin Ayah, mungkin efek lama tak jumpa. Berhubung lama Kak Umi tertidur, akhirnya aku nulis biar kagak ngantuk. Eh ... kok malah ngeneki, piye jal?

"Males." Paksu menjawab dengan nada kesal.

"Ayang ... Maaf, ye! tadi kebawa ma ulah Den Bagus," rayuku sambil mendusel di ketiaknya. Paksu diam kagak respon malah pura-pura tertidur. "Nebus dosa, aku mau kok disulap jadi kodok atau cicak-cicak di dinding."

Paksu menoleh, menatap tajam. "Jadi sekarang mau nyamain badan aku ama dinding."

Yaelah ... salah lagi.

"Bukan gitu, Ayang!" Masih mencoba menaklukan gunung es yang membeku. "Dinding mah ayep kalo kamu anget terus bikin bobo aku pules."

Paksu mencebik.

"Sono ...  males aku," sergahnya membalikkan tubuh paksa. "Suami pulang bukannya ditemenin malah ditinggal nulis. Sono ... push-up ma Den Bagusmu."

Dan aku cuma bisa gigit jari. Nulis ... skip dulu. Ngrayu paksu biar dapat jatah olahraga
malam😆😆😅😅.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 21, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KIRANNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang