Juragan Mul Bangsat

543 41 21
                                        

#KIRANNA part 9

Suara jangkrik dan kodok bernyanyi bersahutan. Musik indah bagi warga desa di malam hari. Udara malampun terasa dingin menyentuh kulit hingga menembus tulang.

Lampu bulat yang bertengger di tiang rumah menerangi ruang tamu. Ada dua gelas kecil berisi kopi yang tinggal separuh tergeletak di atas meja kayu yang warnanya mulai sedikit berubah. Dari empat kursi yang berhadap-hadap mengintari meja, Bulek Thum nampak mengamatiku dengan wajah menyelidik. Dia duduk di salah satu kursi yang menghadap ke arahku yang tengah duduk di dipan kecil di pojokan ruang tamu. Sementara Simbah berdiri di depan pintu, mengantar Den Bagus pulang. Suara kuda mulai menjauh pertanda Den Bagus sudah berlalu pergi.

Lek Parman yang sedari tadi sembunyi di ruang tengah, muncul lalu duduk seenaknya dengan mengangkat sebelah kakinya di atas kursi rotan yang anyamannya mulai berantakan bahkan ada yang terlepas sehingga mengesankan berlubang.

"Dia cuma cari panjatan buat bisa nyalon lurah." Lek Parman mengambil sisa kopi di meja lalu menyruput tanpa bertanya kopi itu milik siapa.

"Kok tahu kamu?"Bulek Thum beralih pandangan.

"Ya, tahu. Para warga dikasih kebaikan segitu banyak, kalau gak ada niat apa-apa ... mana ada," cerosoh Lek Parman lagi, "Kiranna ...Jangan mau dinikahkan sama bujang lapuk itu. Nang kene ngomong bujang ... sopo ngerti nang kutho duwe bojo telu."(Disini bilang bujang ... siapa tahu di kota punya istri 3)

"Darimana kamu tahu kalau dia sudah punya istri?" Bulek Thum masih menanggapi omongan Lek Parman.

"Opo yo enek ... wong sugeh ganteng rung duwe bojo. Nag aku yo ... wes rabi ping sepuluh."( Apa ya ada ... orsng kaya tampan belum punya istri. Kalau aku mah ... udah nikah sepuluh kali)

Bulek Thum mendengar kalimat terakhir Lek Parman langsung melototkan mata. Bibirnya mengatup erat dengan menahan amarah.

"Oh ... nag sugeh arep rabi peng sepuluh," sindir Bulek Thum dengan wajah mengeras. Lek Parman yang menyadari omongan ngawurnya, melihatkan gigi kuning miliknya dengan mimik kikuk.( oh .. kalau kaya mau nikah sampe 10 kali)

"Ora Thum ... seng tak maksud Den Bagus. Opo yo wani aku rabi meneh sido mlungker aku nang kuburan,"elak Lek Parman menggaruk tengkuknya yang mungkin tak gatal. ( gak thum ... yang aku maksud Den Bagus. Apa berani aku nikah lagi bisa-bisa tidur aku di kuburan)

"Awas ... kowe nag macem-macem tak rajang manukmu." Bulek Thum mengambil gelas yang di tangan Lek Parman. ( Awas ... kamu kalau macam-macam anumu aku rajang)

"Urung tak ombe, Thum ...( belum aku minum )" Lek Parman masih menggenggam gelas itu.

"Cekakek iku rep mbok ombe ...(sisa kopi ini mau kamu minum)" Bulek Thum melepaskan tangannya dari gelas yang dipegangi Lek Parman dengan kesal. Sampai air yang berwarna hitam dalam gelas nampak terguncang walau tidak sampai keluar karena hanya sisa kopi.

"Eman Thum ..." segera diminum sisa kopi itu dengan cepat. Membuat sebagian kopi menempel pada kumisnya ysng lebat. Diambil gelas satunya lagi lalu diminum segera, "Siapa tahu habis minum bekas kopi orang kaya bisa ikutan jadi kaya." Diletakkan gelas yang sudah kosong itu pada meja.

Terdengar tawa mengejek Bulek Thum, "Ora usah ngimpi duwur-duwur diguyu laler ..."( gak usah mimpi tinggi ditawain lalat)

"Sopo ngerti tho Thum ..."(siapa tau ...)

"Sugeh kok endi ... wong kerjane mung mlungker sak ben dino." Bulek Thum mengambil semua gelas yang sudah kosong itu dari meja. Melangkah pergi menuju dapur.(kaya dari mana ... orang kerjanya tidur tiap hari)

"Sudah ... jangan pada rame sendiri!" sentak Simbah kesal mulai risih karena perdebatan kecil mereka. "Kiranna urusanku ...kalian gak perlu ikut campur." Simbah berjalan lalu duduk di sebelahku, di dipan kecil dari bambu. "Menurutmu piye Nduk enak e?"

KIRANNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang