Aditya dan Ratih

511 49 7
                                    

Aditya menggoes federal berwarna biru miliknya. Entah. Hari ini muka berkumis tipis itu mengeras. Bahkan senyum lebar yang melihatkan gigi taringnya mengintip nampak hilang. Setiap mata kami beradu. Ada sinar kemarahan di pijarnya.

Biasanya dia akan selalu mengekor di belakang sepeda Simbah. Menggodaku yang duduk di bocengan. Kadang sampai Simbah berteriak karena sepedanya oleng karena kejahilan Aditya menggelitik pinggangku. Tanpa sadar tubuh meliuk-liuk kayak ular untuk menghindari serangan Aditya. Membuat Simbah kehilangan keseimbangan.

Marahkah Aditya padaku?

Entahlah. Pertanyaan itu membuat otakku berputar untuk mengingat kejadian yang setidaknya membuat Aditya marah. Nihil. Rasanya aku tak pernah membuat kesalahan menyakiti perasaannya. Bukankah Aditya yang sering jahil padaku sampai kadang membuat aku hampir menangis.

"Sepeda kamu baru?" tanyanya pagi tadi. Saat melihatku membawa sepeda mini buterfly berwarna merah memasuki halaman sekolah.
Aditya bersender di tembok dengan tangan dimasukkan dalam celana. Sepertinya dia sengaja menungguku keluar dari tempat parkir.

"Dari orang tua itu?"
Aku terpaksa menoleh ke arahnya. Melihat wajah itu yang terlihat berlipat-lipat kesal. Aku mengerutkan dahi. Merasa heran dengan sikapnya.

"Kamu ... Tau gak sih?" terlihat ekspresi geram tertahan, "laki-laki tua itu memanfaatkan kebaikannya untuk mendekatimu."

Aditya berlalu dengan meninggalkan detak kencang. Entah. Karena apa? Sebelum pergi, dia menyempatkan tangannya melayangkan tinju ke dinding, tepat di mukaku. Sontak aku terkejut.

Semenjak itu, Aditya tak pernah mengganggu. Saat kami berpapasan pun, dia seolah tak mengenali. Entah. Rasanya sangat sakit. Ada sesuatu yang hilang dari hati. Senyum manisnya, ketegilannya mendadak sangat kunanti.

Hari ini tiga bulan, aku memasuki bangku sekolah menengah atas. Biarpun bangunan ini terbilang baru, tetapi sudah membuat banyak harapan untuk para anak-anak di sini untuk terus melanjutkan sekolah. Sekolah baru ini bukanlah milik pemerintah tetapi milik swasta. Sama halnya dengan sekolah lanjutan pertama yang direkomendasi Den Bagus.

Sekolah ini sebagaian masih tahap dibangun. Hanya beberapa kelas yang sudah layak ditempati yaitu kelas satu dan dua. Satu tingkatan kelas dibagi menjadi enam ruangan, satu ruangan di isi, 30 siswa. Itupun banyak anak yang tidak mendapatkan tempat duduk dan berakhir harus sekolah di kota atau menunggu tahun berikutnya.

Jarak tidak terlalu jauh dari sekolah lanjutan pertama, mungkin sekitar 15 menit. Terletak di jalan besar menuju kota. Sehingga sekolah ini cepat diketahui penduduk dari wilayah lain. Masyarakat sangat berantusias lalu dengan segera mendaftarkan anak mereka.

Sebelumnya, banyak anak yang harus putus sekolah karena SMA berada jauh di kota. Bagi orang yang mampu saja yang bisa menyekolahkan anak mereka ke kota. Tidak hanya masalah keuangan sekolah saja yang mahal tapi juga biaya hidup di sana. Tidak memungkinkan anak-anak mereka akan berangkat serta kembali ke rumah karena jarak yang terlampau jauh.

"Ceileh ... Ada yang sendirian," celetuk seseorang dengan nada mengejek.

Aku yang barusan melewati sekelompok siswi di gang kelas, tau benar siapa pemilik suara itu. Yang jelas mereka adalah Ratih dkk

"Siapa juga yang mau berteman dengan anak pengorot ..."

Brengsek, batinku berteriak. Tanpa menoleh, kuteruskan langkah menuju kelas.

"Takut ketularan," sahut yang lain dengan tawa merendahkan.

"Kita'kan anak baik-baik," teriak mereka serempak dengan nada menyindir. Lalu diiringi tawa yang menyakitkan.

KIRANNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang