part 11

288 9 0
                                    

Sang Kyai 11
Aku segera ambil wudhu dan duduk membaca wirid, yang kubaca surah waqi’ah 15 kali, untung aku telah hafal di luar kepala, jadi setengah jam pun selesai, dengan kesungguhan aku berdoa. Lalu keluar, pas nyampai di tempat majang lukisan, sebuah mobil kijang warna biru gelap berhenti. Seorang pemuda turun dari mobil menghampiri.
“Mas lukisannya harganya berapaan?” tanyanya.
“Duaratus ribu mas.” jawabku.
“Udah borong aja semua.” suara lelaki dari dalam mobil.
“Udah mas, saya borong semua, tolong diangkut ke dalam mobil.” kata pemuda itu, yang mengejutkanku, apalagi Renges, dia dalam keadaan jongkok, kulihat matanya melotot, atau kayak orang mau boker.
“Udah Nges, ayo diangkut ke dalam mobil, tunggu apa lagi.” kataku mengejutkannya. Kami segera mengangkut lukisan ke dalam mobil, dan di dalam mobil ada lelaki dan perempuan setengah baya, sebentar kami ngobrol dan aku diberi kartu nama, lelaki paruh baya itu bernama bapak Suwandi, pengusaha mebel dari Jepara.
Ah yang penting lukisanku telah laku, setelah sholat magrib kamipun pulang ke kontrakan, tak lupa makan dulu di warung Padang, pesen rendang kesukaanku, Renges sampai habis tiga piring. Dan kami melenggang pulang dengan kelegaan di hati, uang ada, rokok di tangan. Ah mau apa lagi, yah kami butuh istirahat, atas penat beban pikiran karena harapan yang dipaksakan.
“Sekarang menurutmu Alloh ada di Jakarta tidak Nges?” tanyaku pada Renges. Ketika kami ada di dalam angkot.
“Iya, iya ada…” jawabnya sambil ketawa, yang tak ada manisnya sama sekali.
“Alloh itu ada, dan selalu ada, tak pernah melupakan kita, kita aja yang melupakan Dia, kuasanya bisa menggerakkan hati siapa aja, buktinya pada hati orang Jepara tadi.” kataku setengah berfilsafat.
“Iya, iya… Kamu memang anak pesantren, jadi lebih ngerti, tapi aku lelah banget nih, kotbahnya nanti aja lah, sekarang aku yakin aja, nebeng di keyakinanmu, wong juga sudah ngelihat buktinya.” katanya sambil nyedot rokok Djisamsoe.
Setelah hari itu, aku pun dapat job lukisan, juga kaligrafi kaca. Sehingga kami tak perlu untuk pergi menyusuri lorong, melewati jalan-jalan, menawarkan pada setiap orang yang kami temui. Karena orang yang akan memesan lukisan sudah datang sendiri ke kontrakan di Cipinang muara. Jadi aku tinggal beli material, dan mengerjakan pesanan, tapi aku ingat tujuanku sebelumnya. Maka setelah ku rasa cukup, aku pun kembali ke pesantren dengan uang lumayan.
Pagi itu aku menghadap Kyai, setelah sebulan di pesantren aku ingin pulang sekaligus ngamalkan ‘ngedan’ dari rumah, karena kepasrahanku pada ALLOH, masih butuh penggemblengan, mengingat masih ada keraguan atas berserahku pada Alloh, kelabilan jiwaku, atas tawakal, yang belum sebenar-benarnya, dan Kyai pun mengijinkan.
Tanpa menunggu lama aku pun berangkat pulang, dengan naik bus jurusan Kalideres, lalu ganti metro mini ke Pulogadung, baru naik bus ke Tuban, daerahku. Sampai di rumah aku disambut pelukan ibuku, ditanya ini itu, dan diceritai tentang pacar-pacarku dulu yang datang ke rumah, minta ijin menikah, aneh-aneh aja. Juga lek Mukhsin yang saban hari datang minta ditulari ilmu, kang Murikan, juga teman-temanku silih berganti datang, juga orang-orang yang datang minta diobati. Baru seminggu di rumah, aku pamitan pada kedua orang tuaku, pergi dengan alasan menjual kaligrafi. Untung di rumah ada kaligrafi banyak. Dan saat itu yang ku ajak temanku Majid, karena kaligrafi yang banyak kami pun berangkat, pas kebetulan habis hari raya, jadi dalam bulan Syawal, yang ku tuju adalah Rembang, di taman Kartini, walau aku tak ngomong jujur pada Majid kalau aku akan ngejalani ngedan.
Sampai di taman Kartini, kami segera memajang lukisan. Dan kaligrafi. Sehari semalam kami tungguin, tak juga ada yang membeli. Nawar juga cuma satu orang. Ah apakah karena niatku ngedan tak murni, ku tunggangi dengan niat yang lain? Entahlah. Malamnya kami tidur di masjid Rembang, sebelah alun-alun. Dan paginya Majid ku ajak menawarkan lukisan dari pintu ke pintu, tapi tak juga ada yang beli. Ah sial amat, sampai siang itu aku dan Majid nyampai di desa Peterongan. Seperti biasa aku menawarkan lukisan dari pintu ke pintu.
“Feb… Febri… Febrian….!” ada 3 cewek cantik berlari-lari dari rumah memanggil namaku, aku dan Majid yang tengah berjalan pun berhenti. Aku dan Majid berdiri mematung, heran! Kenapa ada cewek cantik-cantik siang-siang kerasukan, sampai mengenalku, ah bener-bener aneh.
“Iya bener Febri,” kata cewek satu, tinggi, langsing berkulit sawo mateng, berhidung kyak orang luar, berbibir tipis, setelah ku tau namanya Tia, kepada cewek jangkung, berkulit putih pucat, kayak orang Cina, bermata sipit, apalagi kalau ketawa matanya makin hilang, namanya Karti, dan yang larinya paling belakang, adiknya Tia, baru SMP kelas tiga, namanya Lola, orangnya imut.
“Heeh, gak salah, Febri.” kata Karti.
“Buktinya juga, kita panggil langsung berhenti, berarti iya.” tambahnya.
“Bener kan kamu Febri..?” kata Tia ketika telah nyampai di depanku.
“Bener namaku Febri, tapi mungkin bukan orang yang kalian maksud.” jawabku, takut ada kesalahfahaman. Sementara Majid malah bengong terlongong-longong di dekatku, kayak orang kesambet.
“Ah tak mungkin salah, wong kami ini udah kompak, mengidolakanmu sejak dulu…” kata Karti ngotot. Oo, rupanya idolaku. Ah ada lagi.
“Wah bener-bener, kalian salah orang…” kataku mencoba menghindar,
“Bener, kami tak salah, dagunya, hidungnya, mulutnya, rambut panjangnya, wah tak salah..” kata Tia menelitiku satu-satu.
“Udah kita bawa kerumah aja, pasti cocok.” kata Karti yang segera memegang pergelangan tanganku dan menariknya. Terpaksa aku ngikut aja. Sampai di rumah Tia aku didudukkan dan ditunjukkan berbagai majalah yang ada tulisan plus fotoku, terang aja aku tak bisa menghindar, kecuali menjawab “iya”. Kontan ketiga cewek berebutan memelukku, menciumku, mencubit pipiku, aku diserang mendadak, tentu saja tak bisa menghindar, Astagfirulloh, moga-moga tak dicatat termasuk dosaku. Ya kalau dianggap dosa, diampunkan oleh Alloh.
“Ih Febri, kami gemes..!” kata Tia mencubitku,
“Udah-udah,” kataku kikuk. Emang repot jadi terkenal.
“Mas Febri, sekarang lagi apa nyampek sini?” tanya Karti.
“Wah pasti lagi cari bahan untuk bikin cerita terbaru, iya kan?” kata Tia mengerling.
“Nah masukin dong kita pada cerita terbarunya.”
“Tau aja kalian.” jawabku singkat, agar tak berbantahan, dan untuk Tia, karti, dan Lola, ini kalian udah ku bawa dalam cerita. Berarti aku udah tak punya hutang harapan pada kalian.
Kami berdua dijamu bak tamu kebesaran, bahkan makan mereka bertiga menyuapiku, huedan, bener-bener, padahal aku penulis kacangan, penulis angin-anginan, penulis kambuhan, lalu apa yang terjadi andai aku sekaliber Habiburrohman Assayrozi, atau misal saja aku artis terkenal.
Sore itu, kami jalan-jalan ke taman Kartini lagi, kulihat betapa bangganya mereka berjalan di sampingku, seakan berjalan dengan orang yang benar-benar terkenal, ah biarlah mereka menikmati daya hayal mereka. Aku tenang saja. Sementara Majid mengikuti dari belakang, kayak nunggu uang jatuh.
Aku diminta menginap, tapi aku tak mau, bisa berbahaya, maka kami berdua pamit, dan tak lupa menghadiahkan semua lukisan. Aku dan Majid pulang dengan kegagalan total. Sekarang aku memutuskan pergi sendiri, mungkin ini lebih baik, maka aku pamitan pada orang tuaku, ku bilang mau main ke rumah teman, pagi itu aku berangkat ke Bojonegoro, kemudian naik kereta api KRD jurusan Jakarta, aku memutuskan turun di daerah yang tak ku kenal, agar perjalananku tak tergantung pada siapa-siapa, uang di sakuku ku berikan pada pengemis semua, aku ingin kepasrahanku total pada Alloh. Ku pilih turun di Kradenan Purwodadi. Daerah pedalaman.
Aku mulai melangkahkan kaki tak tentu arah, tanpa bekal apapun, hanya kepasrahan, kepasrahan yang ku usahakan setotal mungkin, ya Alloh inilah aku, aku yang masih tertempeli keakuan yang menumpuk, aku yang berserah padamu lengkap dengan dosa-dosaku masa lalu, bila Kau tolak aku, aku sendirian, apapun tanggapanMu, apapun kehendakMu, aku adalah orang yang berusaha berserah. Jerit hatiku, di sela-sela kaki yang melangkah satu-satu. Aku terus berjalan, hanya berhenti, kalau waktu sholat datang, mampir ke masjid, dan menjalankan sholat, lalu berjalan lagi.
Malam telah tiba, aku yang tau jalan, sama sekali tak takut tersesat, karena tak punya tujuan, jadi apa yang harus disesatkan. Aku tak punya arah, jadi tak takut kehilangan arah, ku langkahkan saja kaki yang teramat lelah. Ketika waktu isyak aku coba mencari masjid, ketika bertanya pada orang, malah tak dijawab, tapi ditinggal pergi, tapi aku akhirnya menemukan mushola kecil, dan ada orang berjamaah, aku segera ambil wudhu dan ikut berjamaah, perut yang seharian ku isi air saja, terdengar berkrucukan saat aku sujud. Setelah sholat, semua orang pergi, tinggal aku sendiri, mengenang satu-satu perjalanan hidupku, sambil terus memutar tasbih, menuntaskan wiridku. Dan tanpa sadar aku pun roboh tertidur, padahal nyamuk-nyamuk besar mengeroyokku, tapi tak menggemingkan dalam tidurku.
Kira-kira jam 2 malam aku terbangun, karena dingin yang menusuk tulang, tapi aku kaget, karena telah berselimut, dan di sampingku ada obat nyamuk, pasti ada orang yang menyelimutiku saat aku lelap, aku pun pergi ke tempat wudhu. Dan menjalankan sholat malam, lalu wirid sampai tertidur lagi, waktu subuh terbangun, saat adzan dikumandangkan, dan mengikuti sholat subuh, lalu melakukan wirid biasa setelah subuh. Setelah wirid, matahari telah meninggi, aku keluar dari mushola, di depan mushola ada gadis umur 17 tahun, tengah menyapu halaman.
“Mas, itu ketela goreng dan kopinya dimakan,” kata gadis manis itu, sambil menunjukkan ketela goreng, dan segelas kopi hangat.
“Wah, makasih mbak, jadi ngrepotin aja.” kataku berbasa basi. Ah tanggungan dari Alloh, gak boleh ditolak, akupun lahap ketela, wah sayang tak ada rokok, yah kenapa, sejak kemaren aku lupa ngumpulin uthis, untuk sekedar ngerokok, setelah makan aku pun pamitan melanjutkan perjalanan. Kembali aku melangkah dan melangkah, cuma kali ini dengan harapan baru, harapan nemuin uthis, atau puntung rokok, harapan baru ini cukup membuatku sibuk, apa sih berharganya puntung rokok, cuma mungkin karena ada unsur kepentingan dunia, jadi membuatku benar-benar sibuk. Yah aku kadang sibuk mengikuti seseorang yang sedang merokok sambil berjalan. Terus ku kuntit kemanapun orang itu pergi, ku ikuti masuk gang dan jalan-jalan kecil, sampai orang itu membuang puntung rokoknya, yah kalau ternyata puntung yang di buang kecil, kadang sampai habis, aku menyumpah “pelit amat, kenapa gak dimakan sekalian gabusnya ditelan.” kataku jengkel. Dan kalau puntungnya panjang, aku seperti menemukan bongkahan emas. Begitulah terus. Aku betapa sibuknya, cuma karena puntung.
Tak terasa telah seharian aku berjalan, dan sampai di daerah pinggiran hutan, kubaca tulisan yang terpampang di regol desa, SELAMAT DATANG DI KEDUNG TUBAN.
Segera kucari masjid, tak begitu susah, karena adzan yang berkumandang, dan aku pun pergi ke masjid, mengikuti sholat berjama’ah, mungkin nanti malam bermalam di masjid ini, batinku, selesai sholat aku pun duduk di emperan masjid, ku ambil satu puntung rokok dan kunyalakan, dengan kenikmatan yang tersisa, inilah yang paling nikmat, menikmati ketidak punyaanku, kemiskinan tiada tara. Kepapaan tiada duanya. Tapi aku tak kawatir, dan tak takut, apapun yang menimpaku, terburuk sekalipun, aku akan terima dengan kelapangan dada. Aku tak takut karena kehilangan jabatan, karena aku tak punya kedudukan apa-apa, cuma jadi hansip pun enggak, aku tak takut kehilangan harta benda, karena uang cuilan satu rupiah pun tak punya, aku benar-benar tak punya apa-apa yang harus dibanggakan. Lapar? Haus? Aku telah yakin Alloh akan menanggungku, takut apa lagi?
Untuk menuju Alloh, ikuti sungai-sungai dzikir, walau menabrak batu kebosanan, aliran itu adalah sabar. Lintasi gersangnya padang puasa. Yang panasnya luruhkan hati yang melata. Rumputnya kadang kita cintai. Karena tumbuh dari kesenangan hati. Basuh jubahnya dengan istigfar. Kuatkan dengan sholawat. Lailahailallah, terbawa ke satu muara, ketenangan jiwa yang merana, khauqolah, tak ada yang mampu bergerak, dan tak ada yang dapat berhenti, keculi atas idzin-Nya. Tak ada yang lebih menyenangkan dari pada tenggelam di samudra makrifat. Bercumbu dengan kekasih yang telah lama dirindukan.
Ah kenapa aku malah menikmati puntung rokok, ah syetan telah hampir menundukkanku, dengan barang yang sebenarnya dibuang oleh orang lain, yah puntung rokok, apa sih berharganya puntung rokok? Aku segera membuang semua puntung rokok yang seharian ini ku kumpulkan dengan kecintaan dunia, dan segera mengambil air wudhu di samping masjid, kemudian duduk bersila memulai wirid-wiridku, mungkin baru beberapa jam, kudengar suara ramai di depan masjid, lelaki dan perempuan, lalu salah seorang menghampiriku.
“Maaf mas, mas ini harus menghadap kepala desa.” kata seorang pemuda umur 17an.
“Lho ada apa?” kataku heran.
“Wah kampung kami, sedang rawan, banyak maling, kami takut nanti mas disangka maling.”
“Oo.. begitu, ya udah mari menghadap.” kataku sambil beranjak berdiri. Kemudian diikuti sekitar 15 pemuda pemudi, ku dengar bisik-bisik yang menganggapku gila, ya tak salah memang saat itu, aku sendiri tak tau persis keadaanku, sudah beberapa hari tak mandi, rambutku juga panjang terurai, tak pernah kucuci, kulitku pasti hitam berdebu, juga pakaianku yang pasti entah bagaimana kotornya, karena tidur di sembarang tempat. Dianggap gila? Itulah yang ku harap, atau mungkin aku lebih tepatnya ingin dianggap bukan dari bagian dunia.
Sampai di tempat kepala desa aku pun ditanya ini, itu, ditanya KTP, ditanya langsung dicocokkan dengan KTP-ku, setelah itu aku diajak nonton latihan silat Kera Sakti. Aku santai saja duduk di kursi, sampai seorang gadis umur 18 tahun menghampiriku,
“Mas, ayo ke rumah makan dulu.” kata gadis itu, yang segera ku ikuti dari belakang, sampai di rumah kepala desa lagi, telah tersedia masakan opor ayam. Aku pun disuruh duduk, ditinggal makan sendiri. Malam itu, aku menginap di rumah kepala desa, tak ada yang istimewa, besoknya aku pamitan melanjutkan perjalanan. Jalan kaki, menulusuri jalan, tanpa tujuan. Tapi baru satu kilometer, berjalan, tiba sebuah sepeda motor Astrea berhenti, seorang gadis berseragam sekolah pengendaranya. Aku tak perduli, jalan saja, tapi gadis itu memanggilku,
“Mas Ian…” aku pun terpaksa berhenti, ternyata anak kepala desa yang waktu berkenalan denganku namanya Maftukhah.
“Eh embak…” kataku dengan panggilan menghormati, walau umurnya lebih muda dariku.
“La kok jalan kaki mas? Kenapa tak naik mobil aja?” tanyanya kawatir.
“Sebenarnya mau kemana sih?”
“Iya mbak, jalan kaki aja, dan aku tak punya tujuan.” jawabku agak lama, karena bingung, mau jawab bagaimana.
“Tak punya uang ya?” wah nanyanya yang enggak aja, mau ku jawab punya, jelas aku bohong, mau ku jawab tak punya, aku diam aja. Dia menyodorkan uang 20 ribuan,
“Ini ambil..!” katanya, tapi tak ku ambil,
“Kurang?” katanya, wah kenes juga nih gadis.
“Bukan, bukan itu maksudku, tak usah… aku…” aku jadi bingung. Dan dia sudah memasukkan uang ke sakuku. Yah udahlah dari pada gontok-gontokan tak ada ujung pangkalnya.
“Ayo naik ke motor, aku bonceng…, atau kamu yang di depan, aku dibonceng…”
“Ah tak usah mbak, biar aku jalan kaki aja,” kataku risih.
“Bener gak mau, kalau gitu, ya udah ku tinggal dulu.” kata Maftukhah. Yang segera berlalu dengan motornya, sementara aku melanjutkan berjalan, dengan terus dzikir tanpa henti, aku telah tak perduli apa di sekitarku, sampai jam 2 siang aku sampai di daerah Cepu. Segera ku cari warung makan, sekedar nyari pengganjal perut. Uang dari Maftukhah ku belikan nasi, dan setelah itu aku mencari masjid untuk sholat dzuhur. Selesai sholat dzuhur aku melanjutkan perjalanan lagi.
Sekitar jam limaan aku sampai di Padangan, kakiku telah pegal, dan butuh istirahat, aku mencari tempat duduk yang enak untuk menyelonjorkan kaki, agar darah di kaki tak menumpuk, kulihat regol depan rumah, tapi ada gadisnya seumuran 16 tahunan, aku gak jadi membelok, ku cari tempat yang lain saja, aku pun meneruskan perjalanan, tapi baru tiga empat langkah, gadis itu memanggilku,
“Mas Iyan…! Mas Iyan….” apa telingaku yang salah dengar, aku tetap melangkah, tapi suara gadis itu memanggil lagi, sekarang malah kenceng.
“Mas Iyan..!” Aku berhenti, ternyata memang gadis itu memanggilku, dia menghampiriku,
“Bener kan mas Febrian?” tanyanya dengan tersenyum, ah paling-paling penggemarku lagi.
“Benar namaku Febrian,” kataku tak ragu.
“Jadi…, jadi, bener? Ih tak disangka…” katanya dengan raut muka berbinar, ku taksir gadis ini baru kelas 1 SMA.
“Kok kamu tau namaku? Dan tau diriku?” tanyaku untuk meyakinkan dia pasti penggemar tulisan-tulisanku.
“Wah jadi orang terkenal, kok merendah gitu, ini juga pasti sedang mencari bahan tulisan, aku ini penggemarmu mas.” Benar memang dia salah satu penggemarku, yah memang manusia tak bisa lepas dari masa lalu. Masa lalu tetap saja akan selalu mengikuti, kemanapun kita pergi,
“Ayo ke rumah, wah jadi grogi didatangi penulis terkenal.” katanya menggandeng tanganku.
“Wah kalau mencari bahan tulisan, memang harus gini ya mas, sampai-sampai nggembel gitu.”
“Heeh” kataku sekenanya.
“Ck.. ck… Huebat..! Jadi penulis jadi berat ya mas..?”
“Ya jadi penulis kan setidaknya harus tau keadaan, situasi, kondisi yang akan kita tulis, jadi bisa menjiwai, bisa menyeret pembaca pada alur cerita.” kataku asal aja. Gadis itu bernama Yulianti. Dia membawaku ke ruang tamunya, dan dikenalkan pada kedua orang tuanya, yang ramah menyambutku, lama kami ngobrol tentang karya-karyaku.
Setelah sholat magrib aku pun pamitan, walau kedua orang tua Yulia, memintaku untuk menginap tapi aku tetap melanjutkan perjalanan, ku putuskan kembali ke Cepu. Aku akan menuju ke Ngawi saja, dan berharap untuk tak bertemu penggemar, ah kenapa rasanya dunia ini sempit, kemana-mana masih saja ada yang mengenalku. Jam 10 malam aku sampai di stasiun kereta api Cepu. Aku memutuskan tidur di stasiun saja. Setelah sholat isyak, ku selonjoran di kursi ruang tunggu setasiun. Mengenang satu demi satu perjalanan di antara dengung nyamuk yang mulai terasa mengerubutiku.

Kisah Sang KyaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang