Sang Kyai 32
“Lalu apa yang harus saya lakukan mas?” tanya Tejo dengan wajah senang, dan bersemangat.
“Sekarang ambil air wudhu,” kataku.
“Oo baik-baik mas…” kata Tejo segera beranjak menuju kamar mandi.
Bagiku di manapun tempat, kalau kita bisa, maka berbuat baik, dan selalu berusaha berbuat baik, belajar selalu mengikhlaskan segala perbuatan.
Sebab menurut hematku, jika amal baik itu menyandarkan pada amal baik diri sendiri, aku ragu jika amalku bersih, suci dari penyakit, dan lolos bisa tembus langit tujuh, dan diterima oleh Alloh mendapat ACC, kalau amalku itu akan pantas mendapat balasan, mungkin amalku baru sampai di langit 1 atau 2, telak tertahan oleh malaikat penjaga pintu langit, karena aku yang penuh dosa dan kotor, maka aku perlu amal yang dengan sisitim tanam modal, aku mengajak orang lain untuk melakukan laku ibadah, dan dengan sendirinya aku akan mendapatkan bagian jika orang yang ku ajak menjalankan ajakanku. Semakin banyak orang yang kita ajak, maka akan makin banyak pahala yang kita peroleh, malah bagian kita pasti langsung kita terima utuh, entah ikhlas atau tak ikhlas orang yang kita ajak dalam menjalankan ibadah, dan tentu saja tanpa mengurangi pahala orang yang kita ajak.
Teori ini tak bedanya dengan seseorang yang mendirikan pabrik, misal pabrik pakaian, jika dia menjalankan pabrik itu sendiri, maka bisa jadi 1 baju bisanya terjual 1 bulan ke depan, beli bahan sendiri, diukur sendiri, dipotong sendiri, dijahit sendiri, dan dipasarkan sendiri. Maka akan lama prosesnya, tapi jika dia mengajak banyak orang menjadi karyawannya, mengerjakan rancangannya, dan ada yang mengukur, ada yang tukang memotong, ada yang tukang menjahit, ada yang bagian pemasaran, bisa dipastikan pabrik itu akan maju dan banyak omsetnya.
Nah itulah yang selalu ku lakukan, membangun perusahaan, mempunyai banyak karyawan, yang akan mengamalkan motif yang ku arahkan, jika ingin melesat cepat dalam kesuksesan, maka hal itu bisa diterapkan siapa saja, dan rasakan buah manisnya amal.
Jika mengandalkan amal perbuatan sendiri, maka kita akan lama sekali berkembang, dan amal kita mungkin bertahun-tahun baru menuai hasil.
“Sudah mas, saya sudah wudhu,” kata Tejo.
“Coba duduk membelakangiku.” kataku.
Tejo pun duduk membelakangiku, lalu ku tempelkan tangan di punggungnya, dan ku salurkan hawa murni ku padukan dengan do’a dan dzikir, semua kekuatan yang ada di tubuhnya ku sedot semua, lalu ku buang.
“Wah rasanya ada yang keluar dari tubuhku mas…” kata Tejo.
“Wah sedang pada ngapain ini?” tanya Arif Rahman yang tiba-tiba muncul.
“Ini mas lagi membereskan masalahnya kang Tejo.” jelasku.
“Gimana mas, apa bisa dimulai membersihkan penampungan?” tanya Arif.
“Udah dari sini juga bisa, biar ku tariknya dan kumpulkan di sini, nanti ku omonginnya biar pada pergi.” kataku, yang saat itu duduk di tempat duduk depan penampungan.
“Harus dengan sarat apa mas?” tanya Arif.
“Nggak pakai sarat apa-apa, cuma supaya jangan ribut, biar saya konsentrasi.”
“Ooo silahkan-silahkan mas…” kata mereka berdua.
Aku segera duduk bersila dan berkonsentrasi, menarik semua jin yang ada di dalam rumah, hawa gelap menggulung, makin pekat, dan rasa merinding mulai menjalari tubuh, pertanda mereka yang tertarik mulai mendekat.
Ku rasakan ada beberapa jin berkumpul kebingungan di depanku, lalu ku beritahu semua, agar meninggalkan tempat penampungan itu.
“Mereka semua di sini, di depan sini.” kataku pada Arif dan Tejo.
“Iya mas kami merinding, tapi ndak melihat.” kata Tejo.
“Coba kamu berjalan ke depan.” kataku pada Tejo, dan Tejo pun berjalan, lalu jatuh menggrasuk kayak ada yang menghalangi kakinya.
“Waduh…!” kata Tejo yang segera ketakutan.
Aku katakan pada semua jin yang ada enam jin itu untuk keluar dari penampungan, ku persilahkan mau menempati pohon atau apapun, asal jangan mengganggu penampungan, dan semua mau pindah, tanpa syarat.
Setelah semua beres, kami mengobrol sampai malam.
——————————————
Paginya setelah sholat subuh berjama’ah dengan Arif dan Tejo, kami sarapan pagi bareng.
“Alhamdulillah badan saya enak banget mas, semalam tidur juga enak, bangun rasanya enteng, biasanya saya kalau mau tidur resah banget, biasanya bolak-balik ada dua jam an baru bisa tidur, alhamdulillah sekarang enak banget.” kata Tejo yang wajahnya kelihatan sudah tidak ada aura hitamnya.
“Ya syukur kalau begitu, jangan lupa sholat lima waktunya dijaga, soalnya itu juga menjadi modal rizqinya akan lancar berkah atau akan susah, sebab orang yang rajin sholat akan berkah rizqinya.” kataku.
“Iya mas, do’akan saya, biar bisa hidup dengan islami.” kata Tejo.
“Ya jangan do’a-do’a aja, seseorang itu harus punya keinginan kuat untuk merubah jalan hidupnya, menempuh rel jalan yang diridhoi Alloh, orang tak ada ceritanya bisa bahagia jika tidak menempuh jalan yang diridhoi Alloh, diterima atau tak diterima kita ini ciptaan Alloh, maka jika ingin bahagia maka tempuhlah jalan yang sudah ditunjukkan Alloh.” jelasku dengan perlahan.
“Maaf mas, bisa kami minta diberi pegangan dzikir, untuk kami istiqomahkan, agar kami bisa membiasakan menggantungkan diri pada Alloh.” kata Arif, yang memberesi piring kami.
“Ada kertas gak biar ku tuliskan amalan, ingat diistiqomahkan,” kataku yang segera diambilkan kertas oleh Arif Rahman.
“Oh ya mas, nanti ku anter pakai motor untuk ikut medical.” kata Arif sambil menyerahkan pena dan kertas. Segera ku tulis amalan.
“Nanti setelah medical balik ke sini atau ke penampungan pusat.” tanyaku sambil nulis amalan.
“Ke penampungan pusat aja mas, soalnya pak Daud sama pak Amir ingin juga dilihat rumahnya.” jelas Arif.
——————————————
Tempat medical suasana ramai sekali, tapi kebanyakan TKW, aku ditinggal oleh Arif setelah didaftarkan dan menerima nomer urut, tes urin, ditimbang, diambil darah sudah, tinggal difoto sinar x, sama pengecekan badan, itu saja sudah seharian, setelah selesai sholat asar aku ke warung tegal, di dalam ada dua orang lelaki.
“Makan bu…” ku bilang pada penjaga warung, lalu memilih lauk, dan mulai makan.
“Mari pak…” kataku menawari orang yang juga makan di dalam warung.
“Silahkan…” jawab mereka berdua.
“Bapak ini juga ikut medical?” tanyaku pada dua orang yang keduanya sudah umur, ku perkirakan yang satu berumur 50 an tahun, yang satu berumur 45 tahun.
“Iya…” kata mereka berdua hampir serempak.
“Mas ini juga ikut medical?” tanya yang tua.
“Iya pak.. la bapak ini mau kerja di mana?” tanyaku.
“Kerja di Saudi, di pabrik semen.” jawab yang muda.
“Lhoh kok sama, aku juga di pabrik semen, trus bapak ini dari mana asalnya?” tanyaku.
“Kami dari Tuban.” jawab yang muda.
“Lhoh kok sama, aku juga dari Tuban, Tubannya mana?” tanyaku.
“Wah pasti ini anaknya pak Mustofa…, aku sudah mengira,” kata yang tua.
“Iya aku anak pak Mustofa, wah bapak kok bisa tau, bapak ini dari mana?” tanyaku makin heran.
“Aku ini iparnya mak Mudi, yang rumahnya di belakang rumahmu.” jelas orang yang tua.
“Wah aku kurang paham… gak tau kalau kang Mudi punya ipar yang sudah tua kayak sampean, hahah.” kataku bercanda.
Kami segera akrab dan bicara ngalor ngidul, karena ketemu orang sedesa. Kami jadi bareng medical, dan bareng pulang ke tempat penampungan bersama.
——————————————
Besoknya kabar medical sudah bisa diterima, tapi aku belum bisa dibilang fit, karena ternyata foto sinar x ku tidak ada kelihatan gambarnya, jadi harus difoto ulang, tapi setelah difoto ulang, tetap saja tak bisa, tak ada bentuk gambarannya sama sekali.
Sebenarnya aku juga tau, khodam yang ada di dadaku berusaha menutup dadaku, karena memang aku punya penyakit asma, yang sudah lumayan akut, karena sering mengecat dengan kompresor jadi plak cat menempel di jalur pernapasanku, apalagi kalau nyemprot vernis, rasanya jalur napasku lengket. Wah bisa gak jadi berangkat ke Saudi. Aku akhirnya dirujuk ke tempat medical lain. Dan Alhamdulillah setelah otot-ototan karena foto sinar x ndak ada gambarnya juga, akhirnya diluluskan.
Karena wira-wiri, terpaksa waktuku habis, sehingga masa terbang dan jeda istirahat sangat pendek. Menunggu panggilan, aku terbang pada pemberangkatan pertama rombonganku yang ada 30an orang, disuruh siap-siap besok akan ke Bandara.
Akupun menyiapkan semua barang yang akan kubawa, malam sudah tak bisa tidur karena membayangkan di pesawat, tapi esoknya waktu di absen, namaku tak tercantum, aku jadi bingung. Tapi ya udahlah.
Tapi malam jam 10 malam, ada kabar pesawat terbakar satu sayapnya, dan terpaksa turun di bandara Singapura, dan semua penumpang diinapkan di hotel.
Wah ternyata ada maksudnya juga Alloh menahanku tak ikut terbang, baru paginya aku mendapat panggilan bersama TKI yang tersisa untuk terbang.
Ketika memasuki bandara Soekarno Hatta Cengkareng, rasanya seperti mimpi, setelah boking tiket, maka kami menunggu di ruang tunggu, dan jam 3 siang pesawat diberangkatkan.
Semoga selamat sampai tujuan. Dan pesawat tinggal landas, menuju dunia baru yang tak ketahui bagaimana nasibku di sana, tapi Alloh selalu di hatiku, sebaik-baik penjagaku.
Sampai Bandara Riad rombonganku transit ke penerbangan domestik, menuju Jijan. Sampai di bandara Jijan, turun dari pesawat, panas langsung menampar wajah, keluar dari bandara sudah ada mobil penjemput dari Perusahaan, dan kami diantar ke perusahaan, sampai di perusahaan semen kami ditempatkan di Barak yang ada 60 kamar, setiap kamar ditempati satu orang, tapi karena kami baru datang, dan rencana sebagian akan dioper ke pabrik baru, maka satu kamar diisi dua orang, aku dengan orang yang tak ku kanal, walau sama-sama dari Indonesia.
Badan lelah, tapi pagi jam sepuluh kami datang, kami harus cepat menghadap ke kantor pabrik, untuk mengurus administrasi, dan besok langsung kerja, langsung mendapat pakaian seragam.
Urusan administrasi selesai, kami tetap harus masuk kerja, walau belum kerja, hanya berkenalan dengan para pekerja lain. Dan bagusnya berarti langsung di catat gaji.
Jam 4 sore pulang kerja, kamis – jum’at libur, jika masuk maka dihitung overtime.
Malam, aku memilih tidur sore, sebab badan rasanya lelah setelah perjalanan jauh belum istirahat. Di malam aku tidur lampu ku matikan, dan lampu dari kamar mandi menyorot. Temanku sekamarku tidur di ranjang lain di sampingku, karena memang ada dua ranjang dalam kamar.
Di saat aku tidur, aku merasa ada yang mengawasi di atasku, aku membuka mata, dan aku kaget, karena ada kepala dengan pengikat kepala putih, dan berambut panjang, tengah melayang di atasku.
“He… siapa kau…!” dalam kagetku.
Dia juga kaget, mungkin kaget karena aku bisa melihat dia, dia langung melesat kabur dan menabrak pintu.. “jedak…!” dan kepalanya mental, menengokku yang bangun dengan pandangan panik dan takut, lalu melesat lagi menembus pintu.
Aku membetulkan selimutku, karena kamar serasa dingin sebab ber AC, heran juga baru pertama sampai sudah ada arwah orang mati penasaran yang mendatangiku. Sepertinya akan ada kejadian yang lain yang akan menjadi kisah panjangku di Saudi Arabia.
Hari kedua, ternyata pabrik ini sangat besar, mungkin luasnya di Indonesia, seluas satu kecamatan lebih, dan banyak dikelilingi gunung, yang kerja di bagian peledakan gunung untuk diambil batunya harus diantar jemput bus, karena jauhnya, dalam hitungan ini hari pertama aku bekerja, asalnya salah aku dikirim bekerja sebagai cleaning servis tapi kemudian dipindah ke tempat kerjaku sendiri sebagai penulis kaligrafi.
Aku punya ruangan sendiri, berupa gudang, ah pokoknya dijalani aja, dan tetangga kerjaku servise jok kursi, ada juga orang Indonesianya, aku kaget ketika melihat orang Indo yang kerja di sebelahku, karena aku sudah pernah secara tak sengaja menolong orang itu.
Memang garis taqdir itu melintang-lintang kadang kita tanpa sadar bertemu dengan garis taqdir orang lain.
Ketika menolong orang ini yang bernama Sarno, saat itu tak sengaja aku meraga sukma, dan terseret pada tarikan kekuatan, sampai ke suatu daerah Malang, tepatnya Gondang Legi, aku melihat Sarno yang waktu itu belum ku kenal, Sarno memasuki sebuah rumah mewah, dan di dalam rumah mewah itu ada dua orang perempuan ibu dan anak, yang sedang membicarakan kalau Sarno akan dikorbankan kepada Nyai Blorong, aku heran kok aku ketarik ke rumah itu,
“Ah aku tak mau bu… wong Sarno itu orangnya jelek.” kata si anak gadisnya.
“Udah jangan mikir soal itu, yang penting kamu pura-pura saja nikah sama dia, nanti kan dia cuma dijadikan tumbal.” jelas ibunya.
Aku heran mendengar percakapan mereka. Dan Sarno masuk lalu aku keluar melayang ke suatu tempat, tempat itu adalah warung nasi, yang di depannya ada pohon mangga, aku berdiri di atas pohon mangga, dan melihat ke warung tak mengerti. Di dalam warung ada dua orang gadis sedang makan nasi sambil ngobrol.
“Apa kamu suka sama kang Sarno?” tanya gadis satunya.
“Iya…, aku terlanjur berbuat dengannya, jika aku tak nikah dengannya aku akan dukunkan dia,” jawab perempuan satunya.
Aku heran kok balik-balik Sarno. Tiba-tiba aku terseret lagi ke sebuah rumah, di dekat tikungan nampak Sarno berlarian, menggedor-gedor rumah, aku masih kebingungan karena tarikan yang tak bisa ku lawan. Aku ikut masuk ke rumah, di mana seorang lelaki setengah tua membukakan pintu dan Sarno diajak masuk ke dalam, dan di dalam ku lihat berbagai sesaji.
“Musuhmu sekarang No..,” kata lelaki setengah tua itu.
“Iya saya tau mbah kyai.” jawab Sarno. “Makanya saya minta tolong ke mbah kyai.”
“Aku mau saja menolongmu no…, tapi taruhannya nyawa, apa kamu mau menjaga dan menikahi anakku.” kata orang setengah tua itu, “Soalnya bisa saja aku kalah dan taruhannya nyawaku.”
“Iya mbah, saya akan berusaha.” kata Sarno.
Tiba-tiba di luar terdengar suara mendesis, dan suara kook.. kok.., aku segera melesat keluar, dan melayang di udara,
“Sudah No, kamu lari dari pintu belakang.” kata lelaki setengah tua, dan dia sendiri keluar rumah sambil membawa keris.
Sementara di luar rumah, seekor ular sebesar manusia, tengah melata di tanah, anehnya tubuhnya cuma sepanjang tubuh manusia, dan gerak geriknya seperti sudah berjalan, dan dia berhadapan dengan lelaki setengah tua itu, aku melayang di atas pohon tebu, tegang juga karena ingin tau apa yang akan terjadi, ular itu mulutnya yang besar tiba-tiba memakan tanah, dikunyahnya dan disemburkan, berupa bola api yang meluncur mengarah pada lelaki tua yang memegang keris. Lelaki itu melompat, dan bola api lewat, tapi ular itu bertubi-tubi menyerang dengan api, maka ada satu dua bola api menghantam lelaki tua itu sehingga tubuhnya terjengkang.
Ular sebesar manusia itu yang di tengah kepalanya ada satu tanduk di antara rambutnya yang kemerahan, mau mendekati si orang tua yang mungkin sudah mati, aku segera melesat, dan ku hantamkan kakiku ke kepalanya, ular itu bergulingan menjerit, suaranya suara perempuan, dan dia mencorong matanya menatapku heran, lalu mulutnya memakan tanah dan tanah disemburkan ke arahku berbentuk bola, aku melompat dan pohon besar di belakangku segera terhantam dan terbakar, ganas juga serangannya, serasa udara sangat panas, aku mundur, sekali waktu ku serang dia dari udara dengan hantaman petir dari tanganku, dia menjerit, sisiknya sangat tebal, sehingga seranganku walau bisa melemparkannya tapi sama sekali tak bisa melukainya, hanya tubuhnya sekedar berasap. Aku terus mundur, dan terbang, dia berusaha mengejar, aku melesat ke arah lebih tinggi, di kejauhan ku lihat sebuah bendungan, aku turun lagi memancing ular itu ke arah bendungan, sampai di tepi bendungan yang lumayan berkedalaman, ku hantam tubuhnya kuat-kuat dengan beberapa kali hantaman petir, yang membuat ular itu menjerit dan melengking, dan terlempar ke udara, aku hantam lagi dengan beberapa kali hantaman tangan kanan kiri, dan ular itu jatuh ke dalam bendungan.
Alhamdulillah, aku segera kembali, tubuh rasanya penat, pertarunganku dengan ular itu cukup menguras tenaga.
“Aku bernama Sarno.” kata mas Sarno.
“Sampean jadi kawin sama anak orang yang menolong sampean,” kataku langsung.
“Lhoh kok sampean tau?” tanya dia heran.
“Hehehe, ya tau saja,” “Ooo jadi perempuan yang wajahnya seperti ini dan ini itu istri pertama?” kataku menggambarkan istri pertamanya.
“Iya itu istri pertama, sedang anak orang yang menolongku itu istri kedua.”
“Ooo begitu rupanya ceritanya…”
“Rumah istri sampean kan di depan ada pohon besar yang terbakar kan?”
“Iya..”
“Jadi akhirnya mertua sampean itu meninggal?” tanyaku.
“Iya waktu dia menolongku meninggal.” jawab mas Sarno bengong karena aku tau detail keadaannya.
“Kok sampean bisa tau saya semuanya to?”
“Ya kebetulan saja.” jawabku.
“Wah sampean ini dukun apa gimana kok bisa tau semua.” tanyanya.
“Ndak, cuma kebetulan.”
“Kalau ku bilang, misal kalau ke rumah istri sampean harus melewati pasar, habis itu jembatan, lalu pertigaan, lalu ada masjid yang berpagar besi, lalu jalaaan terus melewati tikungan yang banyak pohon bambunya, lalu kalau masuk ke arah depan rumah istri sampean maka harus belok kanan, di depan rumah istri sampean ada pohon tebu, di belakang ada sungai kecil yang airnya sering kering, ada pohon pisang dan pepaya, bagaimana detail gak?”
“Wah aneh banget bisa tepat semua…, aku jadi takut.”
“Ya kebetulan saja Alloh menunjukkan padaku.” kataku.
“Wah.. aku tak habis pikir, sungguh aneh banget.” kata mas Sarno sambil ketawa dan kebingungan.
“Nanti main ke kamar ya mas, aku mau curhat, nanti malam atau nanti setelah pulang kerja.” kata mas Sarno.
“Iya insaAlloh.” kataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sang Kyai
RomansaPagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian diham...