Sang Kyai 29
Penyakit iri dengki itu seperti panu, yang bisa tumbuh di kulit siapa saja, iri dengki itu bisa tumbuh di hati siapa saja, jika panu tumbuh jamurnya karena kita tidak suka menjaga kebersihan kulit, maka iri dengki itu tumbuhnya karena kita tak suka menjaga kebersihan hati.
Dan sebab tumbuhnya penyakit itu karena MA AGNA ‘ANHU MALUHU WAMA KASAB, karena tak terima dengan hartanya dan keberadaan pekerjaannya, jika kita tidak mensyukuri kenikmatan, sehingga mempunyai harta bagaimanapun kurang, punya ilmu merasa kurang, punya kedudukan merasa kurang, punya apapun merasa kurang, maka ujung-ujungnya akan timbul iri dengki dengan apa yang dimiliki orang lain, tak perduli orang lain itu memiliki lebih sedikit dari apa yang kita miliki.
Dan jika iri dengki itu telah tumbuh maka persifatan kita akan seperti KHAMALATAL KHATOB, orang yang membawa kayu bakar, yang membakar sana membakar sini.
“Mas Ian, yang sabar ya…, nanti di rumah akan ada yang iri dengki, disabarkan, nanti dia akan meminta pertolongan pada mas Ian…,” kata kyai memperingatkanku ketika aku pamitan pulang.
“InsaAlloh kyai, do’akan saya bisa kuat dan selalu diberi kesabaran oleh Alloh. ” jawabku.
Memang benar, sampai di rumah namaku telah dijelek-jelekkan oleh kyai lain, bahkan tak tanggung-tanggung menjelek-jelekkannya lewat speaker masjid.
Pertama mendengar, diriku merasa kaget dan tak pada tempatnya, tapi setelah ingat pesan Kyai, maka aku tak perduli, ku biarkan saja apa yang dikatakan.
Mulut, dan anggota apapun di tubuh itu adalah penerjemah isi hati, jika hatinya ikhlas, maka apapun yang dilakukan oleh tubuh akan menuju pada kebaikan, dan jika hati itu buruk, maka hati apa yang dilakukan oleh tubuh, termasuk apa yang diucapkan oleh lisan itu akan buruk, hati itu sumber utama, jika sumbernya kotor maka semua aliran akan kotor.
Aku berpikir, orang yang menjelek-jelekkan tanpa adanya suatu kenyataannya, orang tak akan ada yang percaya, malah orang akan bersimpati denganku, dan membenci yang menjelek-jelekkan, juga akan meroketkanku semakin tinggi dalam kedudukan, sebab dia telah berusaha mengambil dosa-dosaku, sebenarnya secara teori aku harus membayarnya, karena telah mengambil dosaku.
Dan apa yang menimpaku ini belum seujung kuku, dari apa yang menimpa Nabi Muhammad. Maka pemikiran itu malah membuatku bukan cuma bukan hanya rasa hati lapang, tapi malah kayak ada rasa ketagihan. Apalagi diambil dosa dengan gratis, artinya walau orang itu sudah bicara kesana kesini, kalau lapar dia makan nasinya sendiri, aku tak perlu memberi makan.
Padahal dia sudah payah-payah menjelekkanku, maka kadang aku do’akan supaya rizqinya lancar, karena dia sudah aktif membersihkan dosaku, walau kelihatan secara lahirnya menghujad dan menjelekkanku.
Mungkin sudah berusaha menjelek-jelekkanku dalam setiap pengajiannya, kyai Askan, nama kyai tersebut akhirnya ke rumahku.
“Ada apa kang?” tanyaku ketika telah bertatap muka dengannya.
“Aku mau bicara,” katanya dengan nada tinggi.
“Silahkan, apa yang mau dibicarakan?” kataku ku buat serendah mungkin nadanya.
“Kau kan orang pendatang, aku orang sini, maka tak selayaknya kau merebut popularitasku di desa ini.” jelasnya masih dengan nada orang marah.
“Lhoh popularitas mana milik kang Askan yang ku rebut, tolong dijelaskan.”
“Itu orang-orang banyak yang ikut pengajian jika kau yang ngajar dan banyak yang ikut ma’mum jika kau mengimami.”
“Lhoh bukannya itu kemauan mereka sendiri? La saya juga ndak memerintah, ndak ada satupun orang yang ku suruh, semuanya atas kemauan mereka sendiri.” kataku masih dengan nada pelan.
“Ndak bisa.”
“Ndak bisa bagaimana kang?”
“Ndak bisa, ya ndak boleh kau merebut jama’ahku..”
“Oo maksud sampean mungkin saya tidak usah ikut pegang masjid?”
“Iya..”
“Ya ndak masalah, malah saya senang, jika sampean mau mengurusi semua, berarti melepaskan kalung rantai amanah yang diserahkan padaku, saya malah senang sekali dan berterima kasih pada sampean kang.” jelasku dengan senang.
“Jadi sekarang bagaimana?” tanya dia.
“Ya mulai nanti silahkan sampean yang mengimami, juga pengajian saya sampean yang mengganti, sungguh saya berterima kasih kang.” kataku.
“Baik..” katanya dengan semangat.
Maka sejak saat itu, aku tak ikut pegang menjadi pengurus, imam, pengajar di masjid, setiap pengurus lain menanyakan kenapa? Maka ku jawab, karena aku sering tak di rumah, sehingga tak mau nantinya tak bisa bertanggung jawab.
Padahal biasanya Kyai Askan itu juga jarang-jarang dia datang ke masjid dalam sholat lima waktu, dan kalau misal aku datang ke masjid, maka ustad atau kyai yang lain tak mau maju jika ada diriku datang, jadi serba runyam juga posisiku, biasanya sampai aku mau maju, baru sholat berjama’ah bisa dimulai, dan kalau aku maju, dan kyai Askan tau maka dia akan marah-marah.
Apalagi makmum yang telah tua-tua, kebanyakan akan sampai nangis-nangis jika aku yang menjadi imam.
Memang itu sudah sejak aku memimpin di pesantren tahfidzul qur’an dulu, jika aku yang menjadi imam, maka akan banyak yang menangis, bahkan ada yang sampai menjerit pingsan, hal itu bukan tanpa sebab, karena memang jika seseorang itu membaca qur’an dengan pendalaman kepahaman dan penerapan yang pas akan menimbulkan efek yang menggetarkan hati.
Awalnya kisah ini ku alami, aku ini sebelum menjadi orang yang berusaha mendekatkan diri pada Alloh, diriku seorang yang dapat dikatakan nakal, seorang yang senang berkelahi, hobby tawuran, rambut panjang sepantat, dan setiap hari memakai anting, dimana ada konser rock pasti datang. Pada waktu itu ada konser power metal di daerah Bojonegoro, aku dengan teman-temanku pun datang, entah memang sudah diatur oleh Alloh, kok konser dibatalkan, aku kecewa. Dan untuk mengobati kekecewaanku, aku jalan-jalan sama temen-temenku keliling kota Bojonegoro, kok pas kebetulan ada pengajian akbar, dan pas pembaca saritilawahnya dari Mesir, ya aku nongkrong aja di situ. Ee pas yang baca Qur’annya tampil ke panggung, tak ada sama sekali maksud mendengar bacaan qur’an orang itu, tapi kan pakai soundsystem tetep saja aku mendengar, dan ketika orang itu membaca qur’an, dadaku rasanya diaduk, bergetar, bergolak, aku yang asalnya berdiri dan bersandar pada tembok, sampai sampai karena getaran yang ku rasakan aku tak kuasa berdiri, mataku berlinang, ingin rasanya menjerit, melolong, minta ampun atas semua dosaku, diriku rasanya hina, tak berharga, munafik, fasik, kafir, pendosa, aku seperti merasa ditelanjangi di mahsar, sampai tanpa sadar aku mengguguk, menangis, meminta ampun atas semua dosaku, aku merasa sangat berdosa lebih berdosa dari orang yang paling berdosa, air mataku terkuras, dan itu bukan diriku saja, teman-temanku, semua orang yang hadir pun menangis, padahal itu hanya bacaan al-qur’an, yang aku juga temanku, juga orang yang hadir pasti tak semua tau arti satu persatu isinya, tapi kenapa semua menangis?
Pulang dari kejadian itu, aku telah berubah seratus delapan puluh derajad.
Tentang bacaan Qur’an itu selalu terngiang di pikiranku, siang malam selalu membayangi langkahku, dan otomatis kemudian menjadi perenunganku, sampai aku seperti terseret pada pemahaman tentang kenapa orang, bahkan Nabi sendiri jika dibacakan Al-qur’an sampai menangis.
Orang-orang utama kenapa bila membaca Alqur-an itu mereka menangis, seperti Abu bakar, ketika membaca qur’an itu akan terdengar suara air direbus di hatinya, bagaimana jika Umar bin Khotob itu membaca Qur’an akan tercium bau daging terbakar, karena terbakarnya hati takut pada Alloh.
Mata adalah mata airnya hati, jika mata menangis karena hati yang takut pada Alloh, seperti tanah yang keluar airnya, karena menunjukkan tanah yang subur, mata yang keluar airnya karena hati yang takut pada Alloh menunjukkan menyalanya iman dalam hati, iman menyala sehingga menerangi yang sebelumnya tak terlihat menjadi terlihat, yang samar menjadi jelas, juga arti alqur’an yang lembut-lembut itu tertangkap dari pembaca kepada pendengar, seperti orang yang menggoyang meja, orang yang duduk dengan orang yang menggoyang meja, maka akan ikut goyang mejanya, sebab meja itu hanya satu, orang yang hatinya tergetar karena membaca Al-qur’an, maka akan menggetarkan orang yang ada dalam satu jama’ah sholat. Getaran itu terkirim oleh kabel yang tak terlihat. Hanya orang yang telah tergetar hatinya, bisa menggetarkan orang lain.
Lalu bagaimana mungkin hati bisa tergetar? Hati tergetar atau wajilat qulubuhum, karena jika membaca Alqur’an itu diri memahami dan meyakini seyakin-yakinnya kalau Al-qur’an itu adalah surat dari Alloh, untuk diri kita, sebagai orang Islam, maka walaupun isinya tentang cerita orang munafik, orang kafir, orang yang tersesat, orang yang dzolim, maka maksudnya Alloh ya kita itu, bukan orang lain, karena Al-qur’an diturunkan untuk kita bukan orang agama lain.
Jadi penyadaran diri, kita dalam lahirnya dalam KTP nya orang Islam, tapi masih selalu bertingkah laku sebagai orang ingkar seperti kafir, pembohong seperti orang munafik, selalu tak menempatkan sesuatu pada tempatnya seperti orang dzolim, ngeyel seperti Bani Israil, melakukan perbuatan ngawur seperti orang tersesat, jadi penyadaran diri akan kemelekatan sifat buruk dalam diri, lalu Alloh menegur kita. Dzat yang bisa membalik dunia, dan menghancurkan kita menjadi bangkai yang tak berkubur, itu memperingatkan kita, pasti orang beriman yang menyala imannya akan tergetar, dan merasa diri itu benar-benar terlekati sifat buruk.
Sebab jika diri makin merasa suci, maka diri itu makin kotor, sebab walau telah penuh menempul di tubuh aneka macam kotoran, tetap saja merasa suci.
Dan orang yang paling merasa lurus, maka akan paling tersesat, karena sudah tersesat tetap saja merasa lurus, sebab perasaan lurus itu telah mendarah daging.
Juga orang yang paling bodoh itu adalah orang yang paling merasa pintar, karena jelas telah salah, tapi akan selalu yang dilakukan itu adalah kepintaran dia.
Orang yang paling munafik, adalah orang yang merasa sifat nifak tidak melekat pada dirinya, jadi berulang kali berdusta, maka akan dianggap tidak dusta, sebab menganggap dustanya itu suatu kebenaran.
Jadi seseorang yang ingin menjadi baik, maka tak segan-segan mengkoreksi diri, jika ada kekotoran maka tak segan mengakui lalu membersihkannya, agar ketenangan hati yang bersih didapat.
Dan ketika hati telah bersih, saat mana Qur’an itu dibaca, maka cahaya hidayahnya Qur’an itu akan menyinari hati, memperjelas yang samar, mengurai arti dan makna yang lembut-lembut, seperti orang yang terseret merasa takut ketika membaca novel horor, dan tertawa ketika membaca novel humor, dan seakan menjadi pendekar ketika membaca cerita silat.
Ketika dalam qur’an itu ada cerita tentang neraka, maka diri itu merasa telah jatuh kedalam lautan apinya, ketika Alqur’an itu menceritakan surga, maka diri merasa rindu akan kedamaian dan keindahan di dalamnya.
Orang yang telah tergetar hatinya oleh qur’an, maka ketika mengimami jam’ah sholat, akan menggedor juga hatinya makmum, seperti orang yang menggoyang meja teman duduk dalam satu mejanya.
Semakin mendekati pusat getaran yaitu Alloh, maka getaran itu akan makin terasa, jadi getaran antara satu orang dengan orang lain itu beda, sebab bedanya kedekatan antara satu orang dengan orang lain dengan Alloh, pusat segala getaran keimanan.
Sama seperti ketika membaca cersil, lalu seseorang tergeret oleh alur cerita, artinya orang yang membaca itu akan merasa sedih ketika nasib malang menimpa tokoh yang disukainya, begitu juga jika seseorang telah terseret getaran qur’an akan merasa iba dengan keadaannya karena telah tersesat, jika membaca Waladzoliin, dirinya itulah yang tersesat, dan ingin kembali memperoleh hidayah. Rasa takut itu akan muncul membayangkan andai saja diri tidak mendapat hidayah dari Alloh, lalu diri menjadi orang yang merugi selamanya, dan masuk neraka tidak ada masa habisnya.
Bersambung ..Wa; 085773500339
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sang Kyai
RomancePagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian diham...