Sang Kyai 21
“Aku kembali dulu ke tempat kerjaku ya… dan terimakasih atas makan siangnya.” kataku sambil bangkit dari kursi.
Lina mencium tanganku, ku biarkan saja dan menempelkan tanganku ke pipinya. Aku segera beranjak kembali ke tempatku bekerja.
—————————————–
Pulang kerja, aku dan kedua temanku mampir di warung bubur kacang hijau,
“Aku besok jadi pulang.” kataku.
“Pulang? La trus kerjaanmu di toko sepatu bata bagaimana?” tanya Edy.
“Aku sudah keluar, tadi waktu tutup toko.” jelasku.
“Wah jadi besok pulang betul? Sudah pasti?” yakin Ikrom.
“Ya sudah pasti.” jelasku.
“Trus Mbak Lina bagaimana?” tanya Edy.
“Bagaimana apanya?” tanyaku balik.
“Apa kamu sudah pamit dengannya?” tanya Edy lagi.
“Ya nanti kan kamu yang pamitkan kan bisa, ya itu juga kalau dia nanya, kalau tidak nanya ya ndak usah, kan aku ndak ada hubungan apa-apa sama dia.” kataku menjelaskan.
“Ya udah nanti aku yang omong.” sela Ikrom.
“Aku minta maaf, jika aku menyulitkan kalian selama ini, juga terima kasih atas kebaikan kalian berdua padaku, aku amat berhutang budi pada kalian berdua.” kataku ketika kami sudah masuk gang menuju tempat kami berdua tinggal.
Tiba-tiba kedua temanku itu memelukku dan menangis,
“Tidak Yan.. kami yang merasa berhutang budi amat banyak, selama ini kami telah kamu bimbing tanpa kamu pernah memerintahkan kami melakukan suatu ibadah apapun, tapi kamu mencontohkan, bagaimana berbudi pekerti, sehingga kami melihat hasil, bukan sekedar bicara omong kosong, kami selama hidup belum pernah menemui teman sebaik dirimu, aku yang biasanya males sholat, sekarang sudah tak pernah ku tinggalkan, kami berterima kasih sekali Ian.” kata Edy.
“Iya bener, kamu telah memberi contoh, bagaimana kami harus berbuat, sehingga manusia disayangi manusia lain.” tambah Ikrom sambil sekali-kali menyedot ingusnya yang mbeler.
“Sudah-sudah, pemuda gagah macam kalian masak nangis, tuh gak enak dilihat orang yang lewat.” kataku segera berjalan duluan melepas pelukan mereka berdua.
Esoknya setelah sholat subuh, aku naik bus jurusan Surabaya-Gresik, turun di Terminal Osowilangun, dadi terminal Osowilangun ganti bus jurusan Bojonegoro, sampai rumah sudah hampir magrib.
Pagi esoknya, Karim mencariku, Karim adalah pegawainya pak Abdullah.
“Sudah seminggu aku mencarimu yan…, semalem tau kabar kamu pulang, jadi aku langsung ke sini.” jelas Karim.
“Wah sampai seminggu, memangnya ada apa, kayak penting banget?” tanyaku heran.
“Aku disuruh pak Abdullah, ini ku bel kan,” kata Karim menyerahkan Hp nya kepadaku.
“Assalamualaikum, bagaimana kabarnya nih?” suara Pak Abdullah di Hp.
“Waalaikum salam Pak, Alhamdulillah baik.” jawabku.
“Ku dengar baru pulang dari Surabaya? Sedang apa di sana?” tanya Pak Abdullah.
“Ah biasa nyari-nyari yang belum dapat.” jawabku sekenanya.
“Kenapa masih nyari-nyari juga, itu adikku mbok dinikah.”
“Hm gimana ya…”
“Kok gimana- gimana, wah jangan-jangan tak bisa bangun.” kata pak Abdullah, memang kalau bercanda suka omong apa adanya.
“Weh kata siapa gak bisa bangun?” celetukku.
“Ya siapa tahu, nyatanya gak berani nikahi adikku.”
“Siapa yang bilang gak berani?”
“La buktinya..” wah kayaknya aku mau dipojokkan.
“Jangan-jangan sudah jadi ikan asin, mengering, hahaha…”
“Udah-udah… mana adikknya biar ku nikahin.” kataku terpancing dengan pancingannya.
“Ya datang aja ke Jakarta.”
“Ya kapan?”
“Besok biar diantar Karim.”
“Baik, siapa takut?”
“Udah kasihkan Hp nya ke Karim biar aku omongi dia.”
Hp ku kasihkan Karim, dan sebentar dia bicara.
“Besok disuruh mengantermu ke tempat Pak Abdullah.”
“Iya.. aku siap.” jawabku.
Esoknya aku berangkat dengan Karim ke Jakarta, naik mobilnya Karim, sampai di Jakarta menginap di kontrakannya Karim, di daerah Cipinang Indah, malamnya Pak Abdullah menjemputku untuk sowan dan minta ijin ke Kyai, sampai di pesantren jam 3 dini hari, hanya sebentar ketemu kyai, meminta do’a kelancaran pernikahan, dan setelah sholat subuh, aku dan pak Abdullah, yang saat itu disopiri Macan, kembali ke Jakarta. Sampai di Jakarta rasanya penat sekali, aku tidur, sampai waktu asar ada kakak perempuannya Karim main ke kontrakan.
“Denger-denger kamu mau nikah sama adiknya Pak Abdullah ya Yan?” tanya Mbak Ainun, nama kakaknya Karim.
“Belum pasti mbak, aku juga belum pernah lihat orangnya.” jawabku santai.
Kakaknya Karim mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya, lalu meletakkan di meja depanku.
“Apa ini mbak?” tanyaku heran melihat bungkusan kecil.
“Itu dua cincin emas, ku hadiahkan padamu..” kata mbak Ainun menjelaskan.
“Wah apa ndak salah mbak?” tanyaku heran.
“Salah bagaimana? La kamu kan mau nikah? Kan bisa kamu jadikan mas kawin.”
“Nikahnya belum pasti kok mbak, la ketemu dan melihat orang yang mau ku nikahi saja belum.”
“Ya ndak papa, ini udah ku berikan padamu, siapa tau nanti ada gunanya.” paksa mbak Ainun.
“Aku yang seharusnya berterimakasih, adikku Karim sejak berteman denganmu, sholatnya jadi rajin.”
“Itu kan hidayah dari Alloh mbak, tak ada hubungannya denganku,” elakku.
“Tapi kan semua ada sababiahnya to, sudah, itu cincin diterima.”
“Terimakasih sekali mbak, semoga Alloh membalasnya, dengan balasan beribu kali lipat.”
“Amiin.., udah aku pamit dulu, moga pernikahannya lancar.” kata mbak Ainun beranjak dari tempat duduk.
Malamnya, malam rabu, kami berlima, aku, Pak Abdullah, Macan sebagai sopirnya, dan Karim, berangkat ke Pekalongan, dalam mobilnya pak Abdullah sudah ada perempuan, katanya dia kakak dari perempuan yang akan ku nikahi, ku lirik perempuan yang ada di sampingku, mencari gambaran gadis yang akan kunikahi, tapi mobil lampunya tak dinyalakan sehingga gambaran tak ku dapat.
Ah sudahlah pasrah saja, dari pada mencari gambaran yang tak jelas, aku sudah dari awal pasrah, bahkan uang 1 perak pun tak ada di sakuku, segala kebendaan malah menakutkanku, membuat hatiku bercabang dari ketawakalanku pada Alloh, tapi yang jelas aku memang tak gableg duwit.
Jika dibilang nekad, maka aku lebih pantas dibilang nekad.
Tapi dalam hatiku, aku hanya ingin membuktikan gerak gerik kehendak dan perbuatan Alloh mengarahkan dan menempatkanku, jika harus gagal, maka biarlah gagal, berarti aku harus belajar bertawakal lagi, tawakalku, kepasrahanku berarti hanya omong kosong belaka.Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sang Kyai
RomancePagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian diham...