part 31

319 8 0
                                    

Sang Kyai 31
Kakak iparku Abdullah menelpon.
“Ada kesibukan apa di rumah?” tanya Abdullah.
“Ya nganggur, ndak ada kesibukan apa-apa.” jawabku.
“Bagaimana kalau bekerja di Saudi Arabia? ya itung-itung bisa hajian,” kata dia.
“Ya ndak papa, karena kalau di rumah terus kok kayaknya gak banyak pengalaman, lalu bagaimana sistimnya?” tanyaku yang memang awam soal kerja di Saudi.
“Besok datang saja ke PT, karena besok ada manager dari sana yang langsung melakukan survei.” jelas Abdullah.
“Baik nanti malam aku berangkat dengan travel.”
Malamnya aku berangkat ke PJTKI untuk ikut wawancara. Sampai di PJTKI aku ketemu Macan, yang menjadi bapak asuh penjaga semua TKI.
“Ngapain ke sini?” tanya Macan.
“Bekerja di Saudi.” jawabku.
“Hahaha, kamu mau kerja di Saudi?”
“Apanya yang salah, kodok itu harus keluar dari tempurung Can, biar tak mengira kalau dunia itu hanya dalam tempurung.” kataku berdalih membela kepentinganku.
“Ya kau memang paling bisa membuat alasan.”
“Tapi kenyataannya kan kayak gitu…, kalau mau ikut jangan malu-malu..”
“Byuh aku ini kalau pisah sama istri seminggu saja nekak nekuk gak karuan, kalau setahun apa ndak nanti pulang dari Saudi ndak dalam keadaan setres?”
“Ya kalau gitu jangan ikut, daripada kamu setres, aku juga yang ngurus…”
Di PJTKI aku berkenalan dengan seorang TKI suami istri yang sudah lama bolak-balik kerja di Saudi, namanya Najib. Dia dan istrinya ketemunya juga di Saudi, dan pulang ke Indonesia kemudian menikah. Najib dari Ciamis dan istrinya orang Makasar.
“Mas ini ya yang katanya adiknya pak Abdullah..?” tanya Najib.
“Iya… ada apa mas?”
“Maaf, kenalkan dulu mas, namaku Najib,” kata Najib memperkenalkan diri, mengulurkan tangannya.
“Namaku Febrian,” ku jabat tangannya.
“Lagi main ke PJTKI ya mas?” tanya dia.
“Oo tidak, aku mau ikut wawancara kerja di Saudi.”
“Wah kerja di sana berat mas.” jelasnya, “Saya ini sudah 6 kali bolak-balik ke Saudi, jadi tiap dua tahun pulang, jadi di sana sudah 12 tahun mas.”
“Wah lama juga ya. Berarti sudah banyak dong uangnya.”
“Uangnya habis di jalan mas.”
“Lho kok bisa gitu?”
“Ya uang dari sana itu kayak ndak berkah mas, mudah habis, tak tau kenapa kok gitu, ya uang kayak menguap begitu aja.”
“Trus kamu sama istri kerja di sana ini kerjanya apa?”
“Saya jadi sopir, dan istriku jadi pembantu rumah tangga mas, ini menunggu dapat Visa yang butuh suami-istri dalam satu majikan, la mas sendiri kerja apa?”
“Aku juga belum tau kerjanya apa, dan di mana, katanya denger-denger kerja di pabrik semen, kurang tau pasnya.” jelasku yang memang kurang tau.
Tiba-tiba Najib mengeluarkan kertas dari tasnya, “Maaf mas, ini kertas perjanjian kerja saya, saya juga belum tau ini majikannya baik atau tidak, entah bagaimana orangnya, saya minta mas mau meniup kertas ini, biar saya mendapat majikan yang baik.” kata Najib menyerahkan kertas perjanjian kerja padaku.
“Maksudnya niup itu bagaimana?” tanyaku tak mengerti.
“Istriku tau dari banyak TKW, kalau mas sering dimintai do’a kalau ada TKW mau berangkat ke Saudi, supaya diberi keselamatan, mendapat majikan yang baik, dan pulang dengan selamat.”
“Ooo itu, iya sih memang banyak yang minta ke rumah, dan memang kebetulan juga kabarnya selalu mendapat majikan yang baik.”
“Makanya saya minta ini ditiup mas…, biar saya juga dapat majikan yang baik.” jelasnya.
Kertas ku ambil lalu ku tiup, dan sebentar kemudian aku telah berpisah dengan Najib, karena dia dipanggil, sebab pesawat keberangkatannya jamnya sudah sampai.
Malam pertama, setelah sholat isya’ aku memilih nongkrong di pos penjagaan, tidak kumpul dengan para TKL, tempat TKL ada di penampungan bagian depan, di samping ada penampungan lain, di daerah Cipinang, sementara penampungan belakang diisi para TKW, jadi ingat waktu di pondok ramai wanita, kalau ini ingin merubah jalan hidupnya, merubah ekonominya, sementara di pesantren para santri ingin mendapat ilmu. Tiba-tiba seorang pegawai kantor menemuiku dengan tergopoh-gopoh.
“Mas… mas Ian ada TKW yang yang kerasukan…!” kata petugas itu.
“Di mana?” tanyaku.
“Ya di penampungan putri.” jawab dia sambil tangannya menunjuk penampungan putri.
“La si Macan kemana?” tanyaku.
“Mas Macan keluar.., tolong mas kasihan.”
“Aku pun ke dalam penampungan putri, diiringi satpam dan petugas kantor yang jaga.”
Masuk ke dalam, di dalam ramai sekali perempuan dengan berbagai macam, ribut mengerungi yang kerasukan. Tapi baru sekitar jarakku dengan yang kerasukan masih lima meteran, yang kerasukan sudah tersadar.
“Permisi-permisi, tolong dikasih jalan, biar yang kerasukan ku lihat.” kataku meminta agar perempuan yang mengerubuti menyingkir, bau khas perempuan amat pekat.
Ku lihat yang kerasukan, ku dekati, sudah tak ku rasakan getaran jin, ku pagar tubuhnya.
“Sudah-sudah ndak papa, ayo dibawa ke kamar.” kataku, kepada yang mengerubuti, dan tubuh perempuan itupun dibawa masuk ke kamar.
Sementara aku kembali ke depan, ke pos satpam, ngobrol sama yang lain yang ikut nongkrong di pos.
“Apa sering terjadi kerasukan kayak gitu? ” tanyaku pada satpam.
“Sering juga mas…, ” jawab satpam.
“Harusnya Macan memagar tempat ini, jangan dibiarkan angker, soalnya ini kan tempat kumpul para orang yang punya latar belakang beda-beda, ada yang setres, ada yang punya kasus di rumah, jadi akan amat mudah kerasukan.” jelasku.
“Mas mau besok membersihkan tempat penampungan yang satunya, soalnya di sana juga banyak yang menampakkan diri hantunya.”
“Ndak papa, nanti dibersihkan, tentunya kalau aku ada waktu.”
Malam makin larut, sudah sekitar jam 12 malam, aku memilih sholat isya’ dan kemudian dzikir di dalam ruang tidur pos satpam, yang terletak di belakang pos penjagaan.
Hujan rintik-rintik, baru setengah jam duduk dzikir, pintu gerbang penampungan ada yang mengetuk, aku tetap dalam dzikirku, tak tau tamu mana yang masuk, baru seperempat jam tamu masuk, tiba-tiba petugas dari dalam mendatangiku.
“Mas-mas tolong mas, ada TKW ngamuk…” kata petugas itu.
“Lhoh apa yang kerasukan tadi?” tanyaku.
“Bukan mas, ini yang baru datang tadi…” kata satpam yang menyertai.
“Ngamuknya kenapa?” tanyaku. Wah kok malah aku yang ngurusi TKW…
“Dia di dalam mas, sedang dipegangi orang banyak, soalnya kepalanya dibentur-benturkan ke tembok, sampai berdarah-darah, katanya mau bunuh diri.” jelas satpam.
Aku segera beranjak berdiri, tapi tiba-tiba dari dalam ada perempuan yang berlari, dikejar sama TKW lain. Semua segera berusaha menangkap, seperti mau menangkap kambing kurban yang lepas, karena ogah disembelih, aku melihat saja, sampai TKW itu ditangkap.
“Coba bawa ke pos satpam.” kataku.
Lalu TKW itu pun dibawa ke pos satpam, dan tetap berusaha berontak. Ku tempelkan tanganku ke kepalanya, dan ku salurkan hawa penenang ke pikirannya. Perlahan perempuan muda itu mulai tenang. Lalu nangis sesenggukan.
“Ya Alloh berdosanya aku, aku perempuan kotor, bagaimana suamiku, bagaimana dia mau menerima aku, ya Alloh…!” kata perempuan itu meracau, nampak di jidatnya berdarah. Mungkin jidatnya itu yang dibentur-benturkan ke tembok.
“Aku mati saja…, mati saja.. huuu..huu..” kata perempuan itu berulang-ulang, di antara tangisnya sampai tubuhnya terguncang.
“Ada apa to mbak, ada masalah bisa diselesaikan, apa mati itu bisa menyelesaikan masalah? Apalagi kalau mati bunuh diri, bisa jadi di sana akan disiksa sampai hari kiamat, apapun masalah itu, maka ada jalan menyelesaikannya.” hiburku masih tetap menempelkan tanganku ke kepalanya, agar tenaga prana menenangkan pikirannya dan memang perlahan tapi pasti dia mulai berhenti menangis.
“Kau tak ikut merasakan yang aku alami di Saudi mas… jadi tak merasa sedih.” katanya yang mulai tenang, sementara beberapa lelaki di pos satpam tetap berjaga, takutnya perempuan itu kabur.
“Ya aku mungkin tak ikut mengalami, tapi kalau mbak mungkin punya pengalaman pahit dan tak tahan memendamnya sendiri, bisa diceritakan padaku, jika aku sanggup membantu mencarikan solusinya, maka akan ku bantu dengan sekuat tenagaku.” kataku, dengan nada datar takut mengejutkan kejiwaannya yang terguncang, pasti tak ringan yang dialaminya di sana.
“Aku ini baru berangkat ke Saudi sebulan kemaren mas, dan sampai di majikanku, dan mas tau aku di sana cuma dijadikan pelampiasan nafsu digilir tiap hari oleh, ayah, anak, paman dan keluarga mereka, yang aku tak tau, aku selalu disekap, dipegangi, diperkosa ramai-ramai, huuu… huuu… betapa malangnya nasibku… cabutlah nyawaku ya Alloh.. bagaimana dengan suamiku, dengan kekotoranku ini…”
Aku ikut menitikkan air mata, tak terbayangkan akan yang dialami oleh perempuan di depanku, wajar bila jiwanya terguncang.
“Ya tenangkan diri mbak, mbak mengalami itu bukan karena keinginan sendiri, jadi mbak orang yang didzolimi, bukan orang yang dengan sengaja melakukan perbuata keji, lalu bagaimana mbak bisa pulang?”
“Aku kabur mas, kabur melewati jendela, ini lihat tanganku bekas diikat.” katanya sambil menunjukkan tangannya, dan memang ada bekas luka ikatan.
“Lalu sampai di Indo?”
“Aku kabur ke kedutaan mas, dan dipulangkan.” jelasnya.
“Sudah sekarang tenangkan diri, yang menimpa nanti diurus.” kataku menenangkan.
“Aku ingin ganti baju mas.” katanya, memang tadi bajunya kotor karena lari-larian jatuh bangun. Seorang TKW segera menyerahkan tas berisi baju pada perempuan itu, dan perempuan itu diantar ke kamar mandi yang ada di belakang pos satpam.
Aku masuk lagi ke dalam kamar satpam.
Sepuluh menit berlalu, seperempat jam berlalu, di luar adem ayem saja. Aku keluar kamar, dan ku lihat satpam juga petugas PJTKI masih ngobrol.
“Lhoh mana perempuan tadi?” tanyaku.
“Ya masih di kamar mandi mas.” jawab satpam.
“Lhoh, gimana to, yaaa kabur pasti, ” kataku memperingatkan.
Kamar mandi segera digedor, tapi tak ada sahutan.
“Udah didobrak saja.” kataku.
Kamar mandi pun didobrak, dan dalam keadaan kosong, nampak jejak di dinding, pertanda perempuan itu telah kabur.
Aku hanya geleng-geleng kepala, tak taulah, apa yang terjadi, padahal sudah jam 2 dini hari.
Paginya wawancara dengan manager pabrik semen berjalan lancar, aku dites membuat aneka motif aliran kaligrafi dan aku dinyatakan lulus, aku tinggal ikut medical, BAP, dan menunggu terbang.
“Ayo ke penampungan lama mas.” kata seorang pegawai PJTKI.
“Jadi mau dipindah di penampungan baru ya?” tanyaku.
“Wah mas Ian lupa, kan mas mau bersihkan tempat itu dari gangguan jin?” kata pegawai yang bernama Arif Rahman.
“Di penampungan itu kosong kok mas, ndak ada penghuninya, cuma ada sopir suami istri, juga yang mau berangkat ke Saudi.” jelas Arif rahman.
“Oo kirain mau dipindah…”
“Mari mas, berangkatnya ku bonceng motor.” ajak Arif.
Akupun dibonceng Arif, meliak liuk di antara mobil yang terjebak kemacetan Jakarta, kadang harus masuk gang sempit, dan becek, juga menyerempet tong sampah, memang begitulah Jakarta, kebersihannya dan tak macetnya terlanjur menempel di lidah para gubernur dan walikotanya, sehingga mengurainya harus mengelupasnya dari lidah mereka.
Dua jam perjalanan akhirnya sampai, mungkin sebenarnya jika ditarik garis lurus, dari awal perjalanan yang ku tempuh dengan tujuan yang ku tuju, paling berjarak 1 km, tapi jadi jauh, karena kemacetan.
Sampai di penampungan sudah sore, memang di penampungan ada penghuni suami istri saja, selain penjaga penampungan, karena penampungan ini penampungan lama, yang sudah tidak dipakai lagi.
Sedang TKL yang bertemu denganku bernama Tejo, aku tak tau nama istrinya.
“Katanya mau membersihkan penampungan ini dari pengaruh jahat ya mas?” tanya Tejo yang duduk bicara denganku setelah magrib.
“Iya..”
“Wah kebetulan.” kata Tejo.
“Kebetulan kenapa?”
“Ya kebetulan ketemu orang pinter.”
“Wah orang pinter mana? Ketemu di mana?” tanyaku heran.
“La mas ini kan orang pinternya…” jelas dia sambil tertawa, Tejo orangnya kurus kekar, ku lihat dia biasa bekerja keras, dan bicaranya juga ceplas ceplos.
“Wah saya ndak punya kelebihan apa-apa, jika ada ilmu itu juga anugerah dari Alloh, saya cuma dititipi, jadi bisa kapan saja diambil.” jelasku.
“Maaf mas, mbok saya ini dilihat kenapa,”
“Kenapa apanya?”
“Begini mas… sejak saya remaja, saya ini sudah bekerja sebagai sopir truk kontainer, awalnya sih saya kenek, tapi lama-lama saya belajar dan bisa, kemudian saya jadi sopir, sudah sekian tahun, sampai saya punya istri, kok ndak ada sama sekali rizqi yang nyantol, saya malah miskin ndak punya apa-apa, padahal sekali kirim barang, uang 4 ratus ribuan pasti saya dapat, tapi kok ya seperti hilang gak tau kemana, trus kalau sama istri saya selalu bertengkar, kalau sudah bertengkar, apa-apa bisa saya banting, sepertinya saya merasa hilang kendali.” jelas Tejo panjang lebar.
Ku raba tubuhnya indraku…
“Sampean habis bacok orang ya di kampung?” tanyaku.
“Kok sampean tau?” tanya Tejo balik.
“Iya apa enggak?” tanyaku.
“Iya mas… ceritanya begini, di kampung ada maling yang dikejar-kejar orang kampung, waktu itu aku lagi di sawah, ee kok malingnya lari ke arahku, mau ku tangkap ngelawan, ya terpaksa ku bacok kakinya.” cerita Tejo.
“Kamu pernah Nyupang di Laut Selatan ya?” tanyaku lagi.
“Kok tau juga mas…”
“La iya apa ndak?”
“Iya mas…, tapi awalnya aku cuma nganter orang, yang mau nyupang ngambil pesugihan di pantai laut selatan, ceritanya begini.” kata Tejo mulai berccerita.
“Saat itu aku karena sopir travel, aku mendapat rombongan penumpang mengantar rombongan orang yang mau mengambil pesugihan ke laut selatan, ya aku awalnya ndak tau, ku kira orang yang mau rekreasi, aku mengantar mereka, sampai di pantai kok aku diminta mengantar ke juru kuncinya, dan aku antar, ya aku pengen tau juga apa sebenarnya yang mereka lakukan, maka sekalian aku ikuti, sampai kemudian semua pada melakukan sesaji di laut selatan, di Parangtritis, malam-malam, aku juga ikut, nah dalam melakukan sesaji dan persembahan itulah, dari laut muncul ular besar sekali.” cerita Tejo.
“Kamu melihat ularnya.?” tanyaku.
“Ya melihat mas., ular besar sekali dan anehnya wajahnya wajah nenek-nenek, dia menggigit sesuatu benda, lalu benda itu dilepas, ternyata berupa bambu yang diikat, banyaknya sesuai banyaknya kami yang hadir, lalu sama juru kunci bambunya diterima dan dibagikan pada kami, lalu kami disuruh berjanji untuk mempersembahkan bayi sebagai ganti permintaan kami jika sudah berhasil, ya aku ndak mau mas, tapi bambu tanda permintaan kami sudah diberikan, setelah ular besar berkepala nenek-nenek itu memberi pesan kepada kami, maka ular itu masuk lagi ke dalam air, dan kami semua pulang, dan bambu milikku ku buang, ya walaupun aku bukan orang yang beragama, tapi aku ndak mau masuk neraka, mempersembahkan bayi, lalu sampai rumah bambu sebesar jari itu ku buang, nah sejak saat itu hidupku amat susah, keluarga selalu cekcok, malah aku seperti sering hilang kendali, juga istriku hilang kendali, rizqiku juga sama sulit, sementara orang yang ku antar itu semuanya menjadi orang yang kaya raya.” Tejo mengakhiri kisahnya.
“Kamu pernah menjalankan amalan kejawen?” tanyaku lagi.
“Waduh mas kok tau semua to…”
“Ya dijawab, iya apa enggak.” kataku.
“Iya mas, ceritanya begini mas, aku ini kan sopir, sopir kontainer, mas tau sendiri, kontainer itu membawa barang kadang berharga, la tak jarang kami itu dihadang bajing loncat, belum lagi kami sering dimintai polisi-polisi nakal di jalan, sehingga pendapatanku sering tinggal seratus ribu, karena diminta polisi-polisi itu, kami kan juga punya keluarga, anak yang perlu dihidupi, pada suatu hari temanku bilang biar tidak dihadang bajing loncat, atau polisi nakal, maka aku disarankan meminta keselamatan pada seorang yang linuweh di daerah dekat Alas Roban, maka aku diantar ke sana, dan aku diberi isi dan amalan, lalu ku amalkan, memang dalam perjalanan kami selalu aman, teman-teman yang lain dihadang bajing loncat, tapi aku tak pernah dihadang, juga tak pernah dimintai polisi-polisi nakal, sehingga uangku utuh.”
“Hm gitu…”
“Iya mas itu kisahnya.”
“Kalau ilmu kejawen, jin yang dari pantai selatan itu semua ku ambil dari tubuhmu, dan nanti kamu tobat, terus menjalankan hidup yang islami mau?” tanyaku.
“Mau-mau mas, asal hidupku tentram… Alhamdulillah aku dipertemukan dengan mas, Alloh telah mengirimkan mas padaku.”

Kisah Sang KyaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang