part 6

1.2K 8 0
                                    

Sang Kyai 6
Sebenarnya untuk menikah, pemuda seumuranku dua puluh tiga tahun, menurutku juga belum matang, masih banyak yang harus digapai, sebenarnya alasan itu kubuat-buat sendiri, kalau tak mau membohongi jawaban yang pas, jawabannya adalah aku takut memberi nafkah, akan ku kasih makan apa nanti istriku? Kerjaan tetap tak ada, kalau membanggakan sebagai pelukis ah tak cukuplah, rokok aja aku kadang harus ngelinting dari puntung. Apa jadinya nanti istriku?
Pikiran seperti itu tentu timbul dan ada sebelum aku menjalani laku nggembel, jadi pengemis dan orang gila untuk melihat dengan ainul haq, bahwa segala rizqi segala mahluq yang bergerak merayap di atas bumi ini adalah di dalam kekuasaan Tuhan. Kalau aku sudah mengamalkan ilmu tawakal, tentu aku ditawari nikah he-eh aja.
Aku berjalan cepat karena sudah ngantuknya mataku, jam di tanganku sudah menunjukkan jam sepuluh siang, aku berhenti ketika mau menyeberang jalan raya, menunggu mobil yang lewat sepi, tiba-tiba suara kecil merdu terdengar di belakangku.
“Mas Ian, tunggu..!” suara Juwita berlari sambil membawa kresek hijau, menyusulku.
“Ini mas, nanti untuk berbuka puasa.”
“Makasih banyak.” seraya mengulurkan tangan untuk menerima.
Tapi gadis itu menariknya menjauhi tanganku, “Biar aku aja yang bawakan.” kata Juwita, seraya berlari mendahuluiku, menyeberang, aku pun mengikutinya dari belakang, kulihat Juwita dari belakang, tak terasa aku menelan ludah, ah dasar setan, sukanya menggoda manusia, tapi tak usah digoda setanpun, ini nyata benar-benar gadis yang sempurna, lincah, periang, ah glek uhuk, wah terlalu banyak ludah ku telan, jadi agak tersedak.
“Mas Ian, aku ingin melihat hasil karyanya, boleh kan?” aku ngangguk aja, gimana mau nolak, senyum yang merekah, gigi yang putih, lesung pipi, mata yang berpijaran, aduh runtuhlah pertahanan, dadaku benar-benar diaduk seperti bergolaknya lahar menggelegak, tapi tak punya jalan keluar dari tebing hatiku karena takut dengan jurang dan tebing bayangan buatanku sendiri, Juwita berjalan di sampingku.
Mungkin lima tahun yang lalu, aku ketemu Juwita, sebelum aku jadi murid Kyai, ah pasti udah ku pacari, tapi kini keadaannya lain, aku telah jadi murid Kyai, mungkin aku lebih senang kalau orang-orang seperti Juwita tak ada di dekatku, karena teramat susah melawan nafsu, teramat berat berperang dengan nafsu sendiri.
“Mas Ian maafkan Abah ya, memang Abah selalu begitu, kalau punya mau ceplas ceplos aja tanpa dipikir, maen jodoh-jodoh aja, emangnya ini jaman apa?” kata gadis itu mbesengut.
“Ah, tak papa kok.” mungkin Juwita sudah punya pacar di sekolahnya sehingga tak mau dijodohkan, aku maklum akan gadis sekarang, apalagi gadis secantik Juwita, aku cemburu? Ya enggak lah, “Tapi kalau memang benar mau milih,” suara gadis itu terdengar manja, “Mas Ian pilih Juwita ya?!” pletar..! Seperti petasan dinyalakan di telingaku, kaget nginggg, sebebas lepas benar gadis ini. Hampir aja jantungku copot, untung setelah tarik napas kurasakan masih ada.
Untung Juwita tak lama ada di tempat kerjaku dan berkali-kali dia berdecak mengagumi lukisanku, aku senyum nyengir aja, sampai saat mau pulang, gadis itu tiba-tiba memencet hidung mancungku, “Kamu memang hebaaat.” katanya gemes, perbuatannya yang mendadak itu sungguh mengagetkanku, tapi aku tak bisa menghindar. Ah sudahlah, kulihat ia berlari-lari kecil meninggalkanku, aku segera pergi tidur mengingat malam nanti aku harus kerja. Malamnya aku hanya kuat kerja sampai jam setengah dua dini hari, karena siang kurang istirahat, aku pun beranjak tidur, lampu ku matikan, tapi lampu penerangan di luar masih bisa menerobos masuk lewat lubang angin. Belum sampai lima menit aku tertidur, kurasakan tubuhku lengket di keramik tak bisa digerakkan dan dari pintu musholla nampak gadis-gadis berjalan, sekarang ini mereka ada lima orang. Aku mencoba menggerakkan tubuh, tapi sia-sia. Ah aku benar-benar tiada daya, tak mampu melawan apa-apa, mereka memperkosaku habis-habisan, mereka ini apa? Aku tak mengerti, jika aku menangis, kemudian mengatakan aku diperkosa, pasti jadi bahan tertawaan. Maka besoknya aku pun memutuskan pulang ke pesantren, mau meminta solusi kepada Kyai. Setelah pamit pada pak Kosasih aku pun pulang.
Sampai di pesantren Kyai hanya tersenyum melihat aku yang loyo, “Gak papa cuma jin-jin perempuan yang nakal.” kata Kyai,
“Tapi Kyai..”
“Udah nanti ajak aja si Jauhari, sama si Majid, untuk menemani.” kata Kyai menghiburku.
Besoknya aku berangkat lagi ke tempat pak Kosasih. Hari itu aku tak langsung kerja, jadi malamnya aku disuruh istirahat dulu, setelah ngobrol dengan pak Kosasih sampai jam dua belas malam, kami pun beranjak tidur berdampingan. Sekarang akan kulihat apa reaksi perempuan itu. Tentu kejadian yang menimpaku tak ku ceritakan pada ketiga temanku. Rupanya kami bertiga mengalami hal yang berbeda-beda. Majid kakinya diangkat dan diputar-putar, sementara Jauhari dijatuhi anak kecil kira-kira umur sembilan tahunan diduduki dadanya dan dipukul sampai wajahnya pada lebam, wajahnya yang hitam makin tambah hitam, sementara aku masih tetap diperkosa. Sebenarnya kedua temanku ini sudah takut, dan mengajak aku kembali ke pondok, tapi tanggung lukisanku tinggal sedikit, maka ku bujuk mereka untuk menemaniku semalam lagi, karena paginya saling bercerita jadi kami tahu kisah masing-masing. “Entar malem aku yang tidur di tempat kamu aja mas, biar aku ngerasain bagaimana rasanya diperkosa, masak aku dibikin lebam kayak gini.” Jauhari protes, dan ku iyakan aja. Maka setelah kerja, kami pun berangkat tidur, dengan perasaan tegang. Sesuai permintaan Jauhari aku pun menempati tempatnya Jauhari, dan Jauhari menempati tempatku tidur, jam setengah empat kami semua bangun, kulihat muka Jauhari makin jontor.
Wajahnya yang jelek makin jelek aja, dan aku lemas sekali karena melayani lima wanita, pinggangku benar-benar sakit, dengkul kayak tak ada olinya lagi, sementara Majid ngos-ngosan karena semalaman kakinya diangkat-angkat dan diputer-puter. Tapi aku mengajak mereka berdua untuk neruskan tidur aja karena waktu subuh masih lama, saat itulah aku melihat dari pintu musholla masuk lima belas wanita cantik, beraneka warna bajunya juga anak kecil bersisik ular, digiring seorang kakek bongkok membawa cambuk, nampak kelima belas wanita dan anak kecil itu takut, tunduk. Ctar..! Suara cambuk dilecutkan, para perempuan itu menjerit.
“Ayo minta maaf, kalian telah mengganggu para santri Kyai Lentik, cepat minta maaf.!” bentak kakek tua itu, dengan takut-takut para perempuan itu minta maaf, kemudian mereka digiring kakek itu, keluar musholla, aku segera terbangun. Besoknya mencari tempat mandi. Di sumur dekat musholla, lalu ikut sholat shubuh di musholla, dan ketika Kyai Mashuri mengajakku main kerumahnya aku menolak dengan halus. Karena pekerjaan telah selesai maka aku dan teman-temanku pun pamit pulang kepada pak Kosasih.
Aku dipesan kalau membutuhkan pekerjaan harap sudi datang, karena masih banyak yang harus ku lukis. Saat berpamitan inilah pak Kosasih bercerita tentang riwayat masa lalunya rumah makan ini. Menurut kisahnya dulu sebelum menjadi rumah makan tempat ini adalah jurang yang lumayan dalam, dan sering kali terjadi kecelakaan, kadang rombongan pengantin satu mobil masuk jurang, semuanya meninggal dalam kecelakaan, ada satu keluarga dalam mobil semua meninggal dalam kecelakaan masuk jurang. Ada juga truk rombongan kampanye masuk jurang, walau tak semua mati, tapi akhirnya dari orang yang tak mati dalam kecelakaan inilah, diketahui, bahwa setiap mobil yang celaka sebetulnya jalannya tetap biasa saja, lurus, tapi entah kenapa tiba-tiba mobil ada di awang-awang dan meluncur ke jurang.
Melihat banyaknya kecelakaan itu, pak Kosasih pun membeli jurang dan tanah di sekitarnya, lalu dibangunlah rumah makan yang besar, dengan harapan termanfaatkannya tanah yang kosong dan yang lebih penting tak ada lagi kecelakaan. Tapi harapan pak Kosasih, hanya harapan saja, buktinya sampai sekarang kecelakaan di daerah itu tetap saja terjadi. Entah berapa kali tembok pagar rumah makan itu diganti, karena ambrol disruduk mobil yang mengalami kecelakaan. Juga para pelayan rumah makan itu tak ada yang kuat bertahan lebih dari tiga bulan, ada saja masalahnya, karena takut, karena kesurupan. Tapi rumah makan itu tetap berjalan dan ramai pengunjungnya.
Setelah pulang ke pesantren Pacung, aku menyelesaikan puasa empatpuluh satu hari, dan setelah selesai, aku minta ijin pada Kyai untuk pulang sebentar ke Tuban menengok kampung halaman, Kyai pun mengijiniku, tanpa menunggu lama aku berangkat pulang, walau telah hampir setahun aku mesantren di tempat Kyai, tapi aku masih tak tau aku ini mendapatkan apa di pesantren. Sebab Kyai tak pernah mengajarku apa-apa. Puasa juga baru dua puluh satu hari, dan empat puluh satu hari.
Sampai di desaku sendang rumahku adalah lingkungan pesantren, ada sekitar tujuh pesantren di sekitar rumahku, kalau dihitung dalam satu desaku ada sepuluh pesantren. Semua pengasuhnya masih ada hubungan saudara denganku, ada yang pamanku, ada yang saudara sepupu ayahku. Maka desaku terkenal dengan desa santri. Dan kehidupan masyarakatnya kebanyakan bertani. Ketika teman-temanku tau, aku datang ke rumah semua pada datang berkunjung, ada yang dari teman pesantren dekat rumah, tapi ada juga para gank kampung, maklum aku dulu anak yang paling nakal di desaku, bagiku sebenarnya kenakalan remaja, tapi bagi orang lain kenakalanku melampaui batas.
Aku ingat bersama teman-temanku mencuri semangka berkarung-karung, dan penjaganya ku ikat dengan tambang. Ku ingat menguras empang ikan orang yang ada di depan rumah orang sementara yang punya rumah ku pantek semua pintunya hingga tak bisa keluar. Dulu orang mending ngasih upeti kepadaku, daripada dihabiskan anak buahku. Siapa sih cewek cantik di desaku dan desa-desa tetanggaku yang tak pernah ku pacari?, yah itulah masa lalu, tapi apa yang telah terjadi di masa lalu memang tak bisa hilang dan akan tetap bagian dari lembaran hidup kita.
Habis sholat magrib teman-temanku sudah pada pulang, ibuku memanggil aku pun segera memenuhi panggilannya,
“Ada apa bu?” ketika sampai di dekat ibuku yang memasukkan buah-buahan ke tas plastik.
“Ayo antarkan ibu ke rumah paman Mursid.”
“Kenapa dengan paman Mursid Bu?”
“Paman Mursid sakit, sudah tiga bulan makannya lewat jarum infus, dokter udah tak sanggup, makanya dua hari yang lalu dibawa pulang.” aku cuma manggut-manggut dan mengerutkan kening. Aku segera menuju motor Jupiter, sebelumnya mengambil kunci kontak yang tergantung di balik pintu kamarku.
Setelah menyalakan motor untuk memanaskan mesinnya aku kembali ke tempat ibuku duduk. “Sakitnya sebenarnya sakit apa to bu?”
“Awalnya ya tak tau lah nang.” panggilan nang adalah panggilan orang Tuban kepada anak lelakinya, kalau masih kecil dipanggil cong, kalau sudah gede dipanggil nang.
“Paman Mursidmu itu ditemukan pingsan di pematang sawah dekat dam ratan. Sejak itu ditemukan ya sampai sekarang ini tak pernah sadar, kasihan pamanmu juga istrinya bibi Asiah, dia sudah kemana aja untuk mencarikan obat suaminya tapi tak mendapatkan hasil apa-apa.”
“Apa dulu waktu ditemukan tak ada tanda gigitan ular, bekne digigit ular.” tanyaku heran.
“Tak ada, tak ada tanda sakit apa-apa itulah yang aneh.”
“Trus menurut pemeriksaan dokter sakit apa bu?”
“Ah banyak kalau menurut dokter, ada komplikasi, ah pokoknya banyak gitu sisi gak mudeng aku, mungkin juga karangan dokter, nyatanya pamanmu tak sembuh.”
“Kalau dukun gimana?”
“Udah banyak dukun didatangkan, saratnya aneh-aneh, tapi semua percuma tak ada faedahnya, malah membuang buang uang saja.”
“Trus paman Muhsin udah nyoba? Kyai Kyai udah dimintai sareat?”
“Udah semua, paman Muhsin juga tak sanggup,”
“Wah kalau gitu ya berat” kataku mengakhiri pertanyaan.
Ku bonceng ibuku menuju rumah paman Mursid, pelan-pelan aku jalankan motor, melewati jalanan paping blok, di dunia ini yang paling ku sayangi dan ku hormati adalah ibuku, bukan hanya karena hadis Nabi mengatakan derajat ibu lebih mulia daripada ayah. Tapi karena ibu adalah orang yang sayang dan paling pengertian kepadaku, dulu saat aku masih nakal-nakalnya ibuku tak pernah menyalahkanku, tak pernah melarangku, malah kalau aku mau pergi nonton konser musik, ibukulah yang memasangkan anting di telingaku, yang menyisirkan rambut panjangku, soal cewek ibu selalu memesanku, punya cewek banyak tak masalah, karena memang aku dulu punya pacar tak pernah kurang dari sepuluh, tapi kata ibuku, jangan mencemarkan nama orang tua, jangan sampai kau menghamili wanita, yang bukan istrimu, ibumu juga wanita.
Ah ibu memang bijaksana.
Sampailah motorku di depan rumah paman Mursid.
Setelah mengucap salam, kami segera masuk, nampak di dalam juga banyak orang, dengan para lelaki aku segera bersalaman, ternyata juga banyak tukang suwuk (mungkin di tempat lain disebut dukun, tapi di daerahku disebut tukang suwuk, red.) ada kang Nur. Aku sebenarnya lebih mengenal orang ini adalah pelatih pencak silat, aku ingat waktu kecil orang ini suka menunjukkan ketrampilannya, berjalan di atas pedang, bergulingan di atas duri salak, makan pecahan kaca dan melengkungkan besi menggunakan lehernya, di saat keramaian tujubelasan Agustus.
Lalu yang ku salami yang kedua adalah kang Widji, orang ini sering dimintai oleh pemuda desa ilmu-ilmu pukulan, seperti lebur sekti, lembu sekilan dan lain-lain. Yang ku salami ketiga adalah pamanku, adik sepupu dari ayahku, namanya Muhsin, dia terkenal di daerahku sebagai orang yang menyembuhkan penyakit karena kerasukan jin, kesurupan, serta suka memagar rumah, mengambil wesi aji, yang lain adalah orang biasa. Aku juga menyalami Muhamad anak terbesar dari pamanku Mursid. Setelah menyalami aku pun mencari tempat duduk yang nyaman. Memang setelah melihat keadaan paman Mursid, sungguh orang siapa saja melihat pasti akan kasihan karena memang keadaannya sangat memprihatinkan.
Wajahnya kelihatan tua, padahal umurnya tak lebih dari limapuluh tahun tapi wajah paman Mursid seperti ketarik ke dalam, pipinya seperti masuk ke dalam, rongga matanya juga menjorok ke dalam, sampai seperti kubangan hitam, lehernya mengecil, seakan-akan mengkeret. Semua tulang iganya menonjok keluar, kulihat wajah paman Mursid seperti menahan penderitaan yang tak tertahan. Karena tubuh paman Mursid tak berbaju mungkin syarat dari dukun, karena banyak kembang aneka warna di sekitar tubuhnya, jadi aku bisa melihat perutnya. Oh ada gumpalan dalam perut sebesar kepalan tangan, aku tak berani bertanya, apa itu?
Tiba-tiba tubuh paman Mursid mengejang-ngejang, semua orang ribut, bibi Asiah menangis karena melihat suaminya seperti merasa sakit yang amat dasyat, para tukang suwuk pun berupaya menolong dengan segala daya, ada yang mengeluarkan jurus, ada yang meniup-niup, ada yang menyiprat-nyipratkan air, suasana tegang sekali, dan aku tetap duduk di kursi, melihat dari jauh, oh nampak olehku gumpalan di perut paman Mursid hidup dan bergerak kesana kemari, paman Mursid melenguh-lenguh kakinya menjejak-jejak tapi tubuhnya tetap di tempat. Ah ngeri aku. Namun usaha para tukang suwuk ini sama sekali tak ada manfaatnya.
Bibi Asiah menangis menggerung-nggerung melihat keadaan suaminya, juga Muhamad anak tertua paman Mursid juga menangis di sebelah kiri paman Mursid. Tiba -tiba bibi Asiah menghampiriku, dan mencengkeram lenganku,
“Dek Ian, ayolah bantu dek Ian huhuu… jangan melihat saja… siapa tau kesembuhannya dititipkan kepada dek Ian…, huhu… dek Ian kan dari Banten pasti bisa mengobati…” aku kaget.
“Aku?” seperti orang bego menunjuk hidung dengan jari telunjukku sendiri.
“Aku tak bisa apa-apa, wong di Banten itu tak diajari apa-apa…” kataku jujur, tapi mana mau orang panik mendengar. Aku main tarik-tarikan dengan bibi Asiah. Tiba-tiba kudengar suara ibuku di dekatku, “Cobalah nang… Tak ada salahnya dicoba…” aku tak pernah membantah ibuku maka aku pun maju ke tempat paman Mursid ditidurkan, tubuhnya masih mengejang-ngejang.
Sungguh aku tak tau, harus berbuat apa? Pura-pura mencak-mencak, ah kayaknya kurang bijak, di tempat orang sakit.
Ku ingat-ingat aku sering melihat Kyai mengobati orang, ah salah satu cara aja yang kupakai, setidaknya ada yang kulakukan.
Andai tak berhasilpun, aku tak akan disalahkan, wong orang yang telah punya nama sebagai tukang suwuk aja, tak berhasil apalagi aku yang bekas bocah ndugal.
Tanpa ragu aku melangkah maju, duduk di samping kanan paman Mursid, sementara di sebelah kirinya paman Mursid adalah anaknya yang bernama Muhamad.
Aku segera duduk bersila, wirid yang selama ini kubaca, satu per satu kubaca tiga kali dengan menahan napas, segala cipta rasa kukerahkan, akal kukonsentrasikan, rasa getaran halus berpendaran mengalir dari pusarku ke arah tapak tanganku, kupikirkan keluar dari tapak tanganku masuk ke tubuh paman Mursid membelitnya, mengikatnya kemudian menarik keluar, kugenggam dalam tanganku, lalu kubuang. Buk…! Suara gedebukan dari tubuh Muhamad yang tadi ada di samping kiri paman Mursid, tempat aku membuang apa yang kuambil, aku tak menyangka akan berakibat seperti itu. sekarang pemuda itu terjengkang ke belakang, kemudian berdiri dan tertawa-tawa, suaranya berat menyeramkan,
“Hua haha..keluarga ini akan ku habiskan, huahaha.”
Aku tak memperdulikan Muhamad yang kerasukan dan diurusi oleh para tukang suwuk, termasuk pamanku Muhsin, ku salurkan energi lagi, menyalurkan energi? Ah lebih tepatnya aku menghayal seakan-akan menyalurkan energi, hayalan tingkat tinggi. Tubuh paman Mursid sudah tidak kejang-kejang, gumpalan di perutnya juga sudah tak ada, jangan dikira walau cuma ngayal menyalurkan energi, tapi huh keringatku sebesar kacang polong, luber sampai bajuku basah, tanganku yang kanan, ku arahkan ke atas dada berjarak sepuluh senti, tanpa menyentuh kulit, yang kiri kuarahkan ke kepala juga tanpa menyentuh kepala, terasa energi bergulung-gulung kearah kedua tanganku, perlahan tapi pasti, kedua mata paman Mursid terbuka, lalu melihatqu. “Oh dek Ian, terimakasih..” suaranya pelan tapi, efeknya semua orang yang ada di situ menangis, bibi Asiah memelukku erat sekali, menangis nggugak guguk, dia tumpahkan syukurnya yang tiada terkira, betapa selama ini ia pontang-panting mencari obat untuk menyembuhkan paman Mursid yang tak pernah sadar selama tiga bulan, bahkan dokter juga telah tak sanggup, eh tanpa kusentuh bisa begitu saja sembuh.
“Kenapa tak dari kemaren-kemaren dek Ian, dek Ian, sudah habis air mataku…” kata bik Asiah, masih menangis, dia melepaskan pelukannya, kemudian mencium pipi kiri kananku, lalu bersimpuh di tepi ranjang suaminya, memegang erat tangan suaminya yang lemah. Baru sekarang aku tau sebenarnya dalam tubuhku telah mengalir ilmu pengobatan yang aku tak tau bagaimana dan dari mana ilmu itu ada dalam diriku. Aku masih berfikir ketika tiba-tiba paman Muhsin menepuk pundakku,
“Itu bagaimana si Muhamad, semua orang kuwalahan!” ku lihat wajah pamanku itu kawatir.
Memang Muhamad yang sedang kerasukan benar-benar mengamuk, kursi meja pada patah, kang Wiji dan kang Nur yang ahli beladiri, serta dua pemuda dimentalkan begitu saja, kang Nur coba menerjang dengan menotok bagian-bagian tertentu dari tubuh Muhamad, tapi segala serangannya seperti mengenai batu, hingga jari-jarinya terasa nyeri. Bahkan kakinya ketika menendang kena ditangkap Muhamad, dan dia diputar bagaikan gasing, lalu tubuhnya dilempar, untung kang Nur orangnya jago sehingga ketika menghantam tembok ia dahulukan punggungnya, dan ketika mental kembali dia berputar miring dan jatuh di tanah tangan dan kakinya menahan hempasan badannya. “Hua haha ilmu kroco macam itu dibanggakan di depanku.” kata Muhamad dengan suara dalam dan berat.
Kang Wiji pun tak mau kalah, dia maju menyerang dengan bogem yang telah dilambari aji lebur sekti, tangannya yang besar berotot menderu, tapi plep! Pergelangan tangannya dapat ditangkap Muhamad. Dan oleh Muhamad kepalan kang Wiji diadu dengan bogemnya . Dugh! Kang Wiji menjerit, jari-jarinya seperti patah semua, lalu tangan kang Wiji yang masih digenggaman Muhamad itu diangsurkan ke mulutnya yang terbuka menganga, “Sudah mateng huahaha..” tangan kang Wiji digigit, aku sudah sampai disitu “Hentikan!!” bentakku tak sadar. Muhamad kaget, tangan kang Wiji dilepaskan, yang segera dipeganginya dan wajahnya meringis-ringis, sementara Muhamad melihatku, dia mundur-mundur. Takut, aku beranjak maju, dan Muhammad mundur-mundur. Untung saja aku mempunyai daya hayal yang tinggi karena setelah ku pelajari, ilmu dalam tubuhku ini perlu dibangkitkan dengan memerlukan daya hayal yang tinggi, melihat Muhamad yang kerasukan mundur-mundur takut padaku, bertambahlah keberanianku, tanganku terangkat dengan jari telunjuk membuat coretan-coretan di udara kearah tubuh Muhamad, setelah itu tapak tanganku terbuka, kubayangkan aku menyedot jin yang ada di dalam tubuh Muhamad, dengan menggunakan telapak tanganku, hasilnya, tubuh Muhamad lemas menggelosor ke bawah, pertanda jin telah keluar.
Saat yang menegangkan telah berlalu, Bibi Asiah tak menangis lagi, dan Muhamad juga telah sadar, sementara tak hentinya orang-orang memberikan ucapan selamat atas keberhasilanku mengobati. Para tukang suwuk memuji-muji ilmu yang ku miliki.
“Mas Ian, benar-benar luar biasa, belum pernah saya melihat ilmu sehebat itu, mengeluarkan jin dari seseorang tanpa jurus-jurus.” kata kang Nur.
“Ah jangan dilebih-lebihkan, biasa saja.” jawabku yang memang belum tau pasti akan ilmu dalam tubuhku.
“Benar sampean kang Nur.” tandas paman Muhsin, “Aku saja kalau mengeluarkan jin harus pakai sarat atau jurus tertentu, setidaknya harus pakai bacaan Ayat tertentu dari Alquran.” kang Nur dan kang Wiji manggut-manggut. Kang wiji nampak memegangi tangannya yang biru lebam.
“Kenapa kang tangannya?”
“Ini mas tadi, beradu jotos dengan Muhamad yang kerasukan.” jawab kang Wiji meringis menahan sakit.
“Coba lihat.” tangan kang Wiji yang lebam segera diangsurkan kepadaku.
“Saya akan coba obati, kalau sembuh ya syukur, kalau tak sembuh ya sabar.” kataku, karena sekalian mau mencoba ilmu yang ada di dalam tubuhku.
Kusuruh kang Wiji meletakkan tangannya yang lebam membiru di atas tapak tangan kiriku yang terbuka, lalu tapak tangan kananku ku taruh di atas tangan kang Wiji, berjarak sepuluh sentian, kubayangkan tenaga mengalir dari pusarku hangat bergulung berkumpul di tapak tanganku, menyerbu masuk ke tangan kang Wiji mengangkut segala sakit derita, nyeri terangkat seperti udara hitam berkumpul terangkat dan ku tangkap di tapak tanganku, kemudian kubuang.
“Sudah..!” kataku, sambil melepaskan penahanan napasku, semua mata yang memandang pun ikut bernapas lega, yang saat aku mengobati kang Wiji semua menatap tegang.
“Bagaimana kang rasanya?” tanyaku yang tak yakin akan ilmuku sendiri.
Kang wiji menggenggam lalu membentangkan jarinya, dilakukan berulang-ulang, “Sudah enak, tak sakit lagi.” katanya girang.
“Ah yang benar kang?” kata kang Nur tak percaya.
“Tadi apa yang kau rasakan, saat diobati?”
“Seperti banyak semut yang masuk ke dalam tubuhku, lalu seperti ada yang terbetot keluar dari tanganku, wah, makasih banyak mas Febri…!” kata kang Wiji haru.
Malam itu aku benar-benar tak habis-habisnya dipuji.
Besoknya jadi pembicaraan di setiap mulut, sekaligus menambah keyakinanku akan ilmu pengobatan dari Kyai. Dan di malam aku mengobati itu, dalam tidurku tiba-tiba aku mendengar ledakan teramat keras membahana. Aku kaget dan terbangun. Betapa terkejutku, karena kamarku penuh asap. Dan ternit kamarku jebol. Yang lebih menakutkanku apa yang ku lihat. Ku lihat tubuh yang teramat besar dalam kamarku, aku beringsut mundur, melihat penampakan yang memiriskan hati, tubuh yang tinggi besar sampai kepalanya tembus ke internitku, padahal ternit dalam kamarku tingginya empat meter dari tanah.
“Kau siapa?” tanyaku gemetar.
“Ampun tuan, mohon saya dilepaskan dari belenggu ini tuan..!” kata suara mahluk besar itu memelas, mengiba-iba. Baru kuperhatikan tubuh mahluk besar itu terbelit-belit rantai yang hampir membungkus tubuhnya.
“Hei, siapa yang membelenggumu?” tanyaku keheranan.
“Oh kenapa tuan lupa? Bukankah tuan yang membelengguku? Huhu…, tolong tuan lepaskan saya, ampuni saya tuan, huhu…” kata mahluk itu menangis.
“Hus..,cengeng, masak begitu saja nangis…” aku mulai berani.
“Tapi tuan, kalau belenggu ini tak dilepas, saya akan sengsara seumur-umur, huhu…, bagaimana kalau saya makan, bagaimana saya buang air besar, huhu…, bagaimana aku pipis? Tak ada yang memegangi, pasti kencingnya kemana-mana, huhu…”
“Nanti dulu, nanti dulu.., aku mau melepaskanmu, tapi kau tunjukkan dulu asalmu dan kenapa sampai di tubuh paman Mursid, awas jangan bohong!!, udah jangan nangis…! Jadi jin cengeng amat sih…” kataku agak jengkel juga karena jin itu nangis hahahuhu.
“Tuan, aku ini adalah jin penghuni Telogo Wungu, daerah Pati, aku sampai di tubuh Mursid karena aku dikirim orang.”
“Dikirim lewat pos? atau paket kilat?”
“Ya enggak lah, masak jin dikirim lewat pos hu..hu..hu..” lalu jin itu menceritakan tentang siapa yang mengirimkan dan karena masalah apa. Aku pun melepaskan rantai yang membelit tubuh jin, dengan menjulurkan tanganku, dan bilang “lepas!”, maka rantai yang membelenggu jin itu pun hilang, entah kemana.
Setelah belenggunya tak ada, tiba-tiba jin itu menggelosor bersimpuh di depanku, aku kaget tapi ingin ketawa juga, karena melihat ukuran jin itu duduk aku masih sepinggangnya kalau berdiri, yang membuat aku pengen ketawa karena wajahnya yang tak menyeramkan dan lucu. Mata jin itu bulat besar, mengerjap-erjap, kepalanya gundul, tapi bekas cukurannya kurang bersih, hidungnya mbengol, dan bibirnya tebal sekali, seperti bibir keledai.
“Hei kenapa kau belum pergi?” tanyaku heran.
“Apakah tuan tak ingin menjadikanku pelayan?”
“Ah pelayan apa? Aku tak biasa dilayani, aku biasa nyuci baju sendiri,”
“Bukan itu maksudku tuan, tapi kalau tuan mau aku bisa mengambilkan nasi gandul dari Pati, enak lo tuan.”
“Ah apa enaknya nasi gandul tak usah promosi, lagian aku tak punya kerjaan tetap, tak kan sanggup membayarmu, udah sana pergi!”
“Baiklah tuan, kalau begitu aku mohon diri.”
“Eh tunggu dulu, betulkan dulu ternitku yang kau jebolkan.”
“Baik tuan.” lalu jin itu menjentikkan tangan dan ternitku kembali seperti semula.
Begitulah, setelah kejadian aku menyembuhkan paman Mursid, aku makin dikenal dan tiap hari ada saja yang datang dari anak yang rewel, orang sakit gigi, sakit kepala, penyakit dalam, penyakit luar, semua datang minta diobati, juga aku sering diajak lek Muhsin untuk menolong orang yang kerasukan jin. Namun aku sudah janji kepada Kyai bahwa aku hanya di rumah dua bulan, aku sudah kangen pada Kyai dan kedamaian pondok lereng gunung Putri. Apalagi setelah mengalami suatu kejadian yang membuatku amat merasa betapa masih dangkalnya ilmu yang kumiliki.
“Yan…!” suara lek Muhsin memanggilku, ketika ku utak atik internet, melihat pesan di emailku.
“Ada apa lek?”
“Nanti sore temani aku ke Kalitidu Bojonegoro ya?”
“Mau apa lek ? Mau nyambangi saudara apa?”
“Ah, biasa ada orang minta tolong, keluarganya ada yang kesurupan.” aku mantuk aja. Dan selepas Ashar, aku dan lek Muhsin pun pergi ke Bojonegoro.
Perjalanan ke Kalitidu dari rumahku hanya memakan waktu dua jam setengah, yaitu dari rumahku, naik angkot, kemudian ganti bus jurusan ke Bojonegoro, trus naik mobil ke Kalitidu, ini kalau lewat utara, sebenarnya melewati selatan lebih dekat, yaitu dari rumahku ke Cepu, Bato’an lalu nyebrang, sampai deh, cuma akan makan waktu lebih lama, karena dari rumahku ke Cepu jarang ada kendaraan, mungkin seharian menunggu belum tentu ada kendaraan.
Jadi untuk lebih gampangnya harus lewat Bojonegoro, walau jalannya muter, tapi kendaraan selalu ada. Sampai di rumah yang kami tuju, hari sudah sore tapi matahari masih enggan ke peraduan, suasana amat sepi, kami mengucap salam, berulang kali, baru muncul seorang lelaki setengah tua. Peci kain bundar bermotif kotak-kotak kain sarung ada bertengger di kepalanya. Wajah lelaki itu sedikit murung. Namun ketika berhadapan dengan lek Muhsin dia langsung tersenyum.
“Oh lek Muhsin, mari-mari, silahkan dienak-enakkan dulu.” setelah menerima kami berdua dengan ramah maka lelaki itu pergi ke dalam, menyuruh istrinya mengambilkan minuman dan makanan ala kadarnya.
Setelah itu kedua suami istri itu pun mengobrol dengan kami, saat berkenalan denganku lelaki itu bernama pak Soleh. Dan istrinya bernama Hamidah, karena istrinya adalah orang sedesaku maka mengenal lek Muhsin, kemudian tau lek Muhsin biasa menyembuhkan orang yang kerasukan jin, jadi lek Muhsin dipanggil.
“Awal-awalnya gimana to di, kok si Marjuki itu bisa berpenyakit seperti itu?” pak Soleh pun bercerita:
“Benar Ki kamu mau mesantren?” tanya pak Soleh suatu malam kepada Marjuki yang sedang makan.
“Bener pak’e, aku sudah jenuh di rumah terus, tak ada perkembangan.” jawab Marjuki sambil mengunyah nasi di mulutnya.
“Mondok itu berat lho, kalau kamu mbangkong di rumah bapakmu ini tak ngapa-ngapain kamu, tapi kalau kamu mbangkong tak mau subuhan, bisa dipecuti sama Kyainya, kalau kamu melanggar peraturan pondok kamu akan diberi hukuman, apa kamu siap? Tirakat di pondok?”
“Pokoknya aku siap pak’e.”
“Lalu kamu mau mesantren di mana?”
“Bagaimana kalau di Tegalrejo, Magelang, pak’e?”
“Di mana saja tak masalah kalau memang kamu siap.”
Marjuki adalah anak tunggalnya pak Soleh, sifatnya ceria dan rajin bekerja, kadang membantu orang tuanya di sawah, kadang juga bekerja di tempat orang lain, pekerjaan apa saja, Marjuki siap melakukan asalkan halal, umur Marjuki telah menginjak sembilan belas tahun. Akhir-akhir ini Marjuki merasa kesepian, sebab teman-temannya yang selama ini menemaninya nyangkruk telah pergi semua, mencari pengalaman hidup, ada yang mesantren ada juga yang pergi merantau ke Jakarta, ada yang ke Malaysia, bahkan ada yang ke Saudi Arabia, Marjuki bingung mau kemana. Tapi setelah berpikir, maka Marjuki memutuskan mesantren saja, maka dia pun bercerita pada ibunya supaya keinginannya disampaikan pada ayahnya. Dan terjadilah dialog malam itu, sekarang dia telah pergi ke Magelang.
Setahun di pesantren, Marjuki pulang keadaannya telah berubah, dulu dia periang dan giat bekerja, kini sering kelihatan diam dan amat malas, bahkan dia suka pergi menyepi di kuburan-kuburan, dan melakukan puasa yang aneh-aneh, bahkan kamarnya dicat warna hitam. Pak soleh melihat hal yang seperti itu, mau menegur, tapi takut Marjuki marah, tak jarang karena kesalahan sedikit saja, Marjuki marah membanting piring.
Ternyata Marjuki telah terseret mempelajari ilmu sesat, yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul.
Telah beberapa hari, Marjuki tak keluar kamar, tidak makan, tidak melakukan aktifitas apa-apa, dari dalam kamarnya bau menyan jawa. Tiap malam menyengat hidung, ibunya sangat kawatir, maka setelah ada lima harian di kamar ibunya mengetuk pintu, memintanya untuk makan karena takut terjadi apa-apa yang menimpa anak semata wayangnya. Setelah lama mengetuk, terdengarlah lenguhan dari kamar, dan pintu terbuka. Terkejutlah perempuan itu, melihat Marjuki yang tak seperti anaknya.
Mata Marjuki semerah darah, di lingkar matanya warna hitam angker, hidungnya mendengus-ndengus, dari mulutnya keluar air liur yang membanjir.
“Hmmm, siapa kau perempuan tua? Mengganggu saja.” suara Marjuki, berat mendirikan bulu roma. Sangar!
“Nak ayo makan, nanti kamu sakit…” suara ibu Marjuki, di antara rasa takut melihat keadaan anaknya.
“Jebleng, jebleng… apa sudah kau sediakan darah ayam dan darah kambing?”
“Udah ibu masakkan sambal terong kesukaanmu.”
“Sialan, memang aku apa? Di masakkan suambel terong mati saja kau…” tiba-tiba tangan Marjuki bergerak cepat menyambar leher ibunya dan mencekiknya. Untung ibunya masih sempat teriak, sehingga teriakan itu didengar pak Soleh yang sedang membersihkan rumput di depan rumah, yang segera berhambur ke dalam rumah, melihat istrinya dicekik anaknya, sampai kelihatan matanya mau keluar, maka pak Soleh segera memukul tangan anaknya itu sehingga cekikan lepas. Melihat ada yang memukul tangannya Marjuki pun mengalihkan serangan ke leher pak Soleh, dengan mudahnya dia menangkap leher pak Soleh dan mencekiknya, tubuh pak Soleh sampai terangkat dari tanah. Dia mencoba melepaskan dengan segala daya, tapi tangan Marjuki yang kerasukan itu teramat kuat sehingga pak Soleh hanya menendang-nendangkan kakinya, nyawanya benar-benar telah di ujung tanduk, sementara istrinya yang tadi dilepas oleh Marjuki, ngos-ngosan di tanah, melihat suaminya dalam keadaan sekarat, segera mengambil kursi kayu, dan mengemplangkan ke kepala Marjuki sekuatnya. Sampai kursi kayu patah-patah. Dan untung cekikannya dilepaskan, sehingga pak Soleh pun menggelosor jatuh di tanah. Aneh, Marjuki sama sekali tidak berdarah, malah tertawa bergelak-gelak, lalu mengamuk menghantam meja kursi sampai semuanya hancur. Lalu dia berlari keluar rumah mengamuk di jalan, segera gemparlah semua tetangga, orang yang lewat segera lari ketakutan, lalu Marjuki meloncat ke atas genteng. Melempar-lemparkan genteng pada orang yang lewat di jalan. Ibu Marjuki menangis melihat keadaan anaknya seperti itu.
Para orang pintar telah didatangkan untuk membujuk Marjuki turun dari genteng, tapi malah disambitin pake genteng, dia hanya mau turun kalau diberi minum darah ayam dan kambing. Sudah dua hari Marjuki ada di atas genteng, dia mau turun kalau ada darah ayam dan kambing disediakan, dan setelah minum darah itu maka dia meloncat lagi ke atas rumah, dan menyambitin orang yang lewat. Kelakuan Marjuki yang menyambiti orang yang lewat dengan genteng rumahnya ini benar-benar membuat panas hati, maka para pemuda kampung pun bermusyawarah untuk menangkap Marjuki, dan nantinya akan dipasung, setelah dipancing dengan darah, Marjuki pun turun, ketika sedang menikmati darah yang dikasih obat bius itu, para pemuda pun bergerak meringkusnya, yang mau meringkusnya dari belakang ada tiga orang itu kecele, walau Marjuki tak melihat kebelakang, tapi dengan mudahnya dia menjatuhkan diri dan berguling sehingga yang menubruknya dari belakang hanya menangkap angin.
Pemuda dan orang desa pun melakukan pengepungan, dari kiri kanan, depan belakang, dengan susah payah tujuh orang dapat memegang tangan kaki, namun semua dapat disentak lepas, dan banyak yang terpental dilemparkan oleh Marjuki yang kerasukan, yang memang tenaganya berlipat-lipat, kembali tujuh orang berusaha mendekap memiting kaki tangan Marjuki, namun kali ini para penduduk tak mau usaha mereka sia-sia, maka segera berbagai macam tambang dijeratkan ke tubuh Marjuki. Rupanya saat itu obat bius yang dicampurkan darah pun mulai bekerja. Kelihatan sebentar-sebentar, Marjuki melengut ngantuk siut, lalu meronta lagi, begitu berulang kali, dan orang-orang tak mau kecolongan tetap mendekapnya erat, sampai akhirnya Marjuki terbius. Perjuangan yang melelahkan, Marjuki kelihatan tergolek di pelataran rumah pak Soleh, semua orang yang meringkusnya semua mandi keringat, bahkan ada yang luka berdarah dan salah urat. Orang-orang yang tidak ikut meringkus Marjuki, telah membuatkan pasung dari kayu sebesar sedekapan manusia, Marjuki pun dipasung. Tangannya masih dirantai, para dukun paranormal didatangkan, para Kyai dimintai tolong, untuk membantu penyembuhan, sawah lima petak pun telah terjual sebagai biaya pengobatan, tapi kesembuhan tak kunjung datang. Sampai hampir setahun Marjuki dipasung. Tapi penyakit gilanya makin parah saja.
Kami berdua diajak melihat keadaan Marjuki, ternyata pemuda itu diletakkan di ruangan terpisah di belakang rumah dalam satu ruangan.
Berdinding gedek, pintu dibuka dan bau busuk segera menampar hidung, bangunan berukuran lima meter persegi itu gelap, karena tak ada jendela juga tak ada penerangan, penerangan hanya dari lampu ublik yang dibawa pak Soleh, nampak lapat lapat seorang pemuda dewasa tengah duduk terpasung, wajahnya mengerikan, matanya yang hitam ke atas, tapi yang putih mencorong merah menatap kami, wajah pemuda itu tak bisa dibilang bersih lagi, wajahnya menghitam penuh daki, rambutnya awut-awutan kribo panjang, bagian atas tubuh tak berpakaian dan nampak bekas darah ayam dan kambing yang mengering menempel di tubuhnya. Orang yang melihat keadaan Marjuki, pasti akan ngeri sekaligus iba, siapakah orangnya yang mempunyai cita-cita menjadi orang gila. Karena penerangan yang tak memadai, maka oleh pak Soleh kami diminta mengobatinya besok hari saja, malam ini kami menginap, beristirahat.
“Yan bagaimana menurutmu, gila kerasukannya Marjuki?” tanya paman Muhsin, ketika kami berdua telah rebahan dalam kamar.
“Ya gilanya karena mempelajari ilmu, tanpa dasar yang kuat, tarekat misalkan, juga karena mempelajari ilmu tanpa guru pembimbing, sungguh berbahaya sekali, karena belajar ilmu tanpa guru, maka gurunya adalah syaitan, bagaimana menurut lek Muh sendiri?” tanyaku balik.
“Apa yang kamu katakan, tepat sekali, tapi terus terang aku ragu akan bisa menyembuhkannya…” nampak lek Muhsin mengerutkan keningnya.
“Yah sebelum kita mencoba, kenapa harus ragu lek? Itu sama saja dengan kita kalah satu langkah, kita hanya berusaha, kesembuhan hanyalah di tangan Tuhan semata, jangan sampai kita tertindih oleh keharusan, seakan akan sembuh dan sakit itu kuasa kita, hidup dan mati kuasa kita, kita hanya berusaha saja…” dan kami pun tidur tanpa beban.
Esoknya, kami berdua diantar pak Soleh ke tempat Marjuki dipasung, jam di tanganku baru menunjukkan jam tujuh seperempat, matahari yang kuning keemasan memantulkan sinarnya yang hangat, terasa hangat di tubuh yang baru mandi, membayangkan hal yang seperti itu, betapa damai dunia, seakan di dunia ini tak ada kejadian yang seperti dialami Marjuki.
Setelah masuk ke tempat Marjuki, uh jijik sekali, rupanya bau yang menyengat di malam itu, adalah baunya kotoran dan kencingnya Marjuki, juga bau bangkai tikus dan binatang-binatang lain yang dimakan mentah-mentah oleh Marjuki. Oh, sungguh menggidikkan bulu roma. Rupanya di tempat pemasungan, telah berjejal-jejal orang desa yang ingin menonton, tua muda, prawan, janda, remaja, jejaka, duda, semua pada datang menonton, sampai kebun belakang rumah pak Soleh bener-bener lebek, ah kyak ada tontonan dangdutan aja, atau bioskop misbar, gerimis bubar, orang-orang itu ada yang mengintip dari gedek, ada yang berdesakan di pintu masuk, dan ada yang dari luar pagar saja, rupanya pengobatan Marjuki, tanpa disiarkan dengan mikropon keliling kampung, telah terdengar dari telinga ke telinga.
Lek Muhsin mulai mengobati, sementara aku mempersiapkan yang diperlukannya. Lek Muhsin memang sudah profesional, segala macam cara mengobati orang kesurupan dia kuasai. Dari yang model kejawen, ilmu tao, ilmu tenaga dalam, dan ilmu rukyah. Lek Muhsin mulai mengobati dengan ilmu tao, bajunya diganti jubah kuning, dan ada simbol tao di punggungnya, semua mata menatap tegang ketika dia beraksi, dengan uang logam Cina kuno yang dengan cepat dibentuk pedang, dan tangan kirinya memegang pedang dari kayu setigi, tubuh lek Muhsin mulai berloncatan kesana kemari, membuat jurus mengelilingi Marjuki, tiba-tiba Marjuki yang sedari tadi diam, menatap kosong, serentak ramai, “Ayo… ayo menari…, bang Roma menarinya kurang seru, kenapa tak pakai gitar…?” semua yang ada di situ kontan ketawa, karena memang lek Muhsin adalah penggemar Roma Irama, jadi biasalah kalau dari potongan rambut, jenggot, dia upayakan mirip dengan Roma.
Tapi lek Muhsin ini tak terlalu, malah ada tetanggaku yang mirip sekali, namanya Joni, sangking ngidolain banget sama Roma, bukan hanya rambut dan jenggotnya yang dibuat mirip Roma tapi juga suaranya, pernah kulihat Joni lagi naik sepeda, ee ada lagunya Roma diputar kenceng-kenceng, maka si Joni turun dari sepeda, lalu sepedanya disandarkan di pohon, ia nyamperin ke rumah yang lagi muter lagu, “bang, numpang joged ya?” kata si Joni, tanpa nunggu jawaban si Joni langsung joged, sampai lagu selesai, dan setelah lagu selesai, dia pun permisi, tak lupa mengucapkan terima kasih, dengan dialek Roma.
Karena dengan jurus tao tidak ada perubahan apa-apa, lek Muhsin pun segera mengubah pengobatan dengan tenaga dalam dan ilmu kejawen, tapi juga tak menghasilkan apa-apa, malah Marjuki bilang katanya permainan sandiwara lek Muhsin untuk menghiburnya teramat membosankan, Marjuki minta diganti lakon yang lain saja, dan disambut ketawa oleh penonton yang menyaksikan, karuan saja membuat lek Muhsin malu bukan kepalang. Dan keringatnya mengalir deras sampai lehernya basah, dan pakaiannya juga basah. Seperti orang yang habis nyangkul di sawah, aku memahami perasaan lek Muhsin.
Kali ini lek Muhsin mengobati dengan rukyah, membaca ayat-ayat Alqur’an, ayat satu digabungkan dengan ayat yang lain, tapi pengobatan rukyah ini rupanya juga tak begitu ada hasilnya, Marjuki malah siat-siut mengantuk, ayat-ayat Alqur’an itu seperti menina bobokannya, melihat gelagat yang tak baik ini, aku segera ikut membantu, seluruh wirid yang biasa ku baca, ku baca dalam hati tiga kali, sambil menahan napas. Serasa hawa aneh mengalir bergeletaran dari pusarku, ku salurkan ke tanganku ku arahkan ke tubuh Marjuki, ku bayangkan tubuh jin yang ada di tubuh Marjuki terlingkupi dan berusaha ku sedot ke tanganku, tiba-tiba tubuh Marjuki yang siat-siut ngantuk itu membuka matanya, liar dan “krimpying..!!, kretekkriet..!!,” Marjuki berdiri tegak, kayu yang dipakai memasungnya sebesar dekapan manusia itu berderak membalik. “Hah, siapa yang mencoba menarikku keluar dari tubuh ini, hrrr..brr…bedebah, belum tau siapa aku?!”
“Aku iki panglimane Nyai Roro kidul, ayo sopo pengen adu ilmu…huahaha…” aku grogi juga mendengar yang masuk ke tubuh Marjuki adalah anak buah ratu pantai selatan, keringatku pun mulai keluar, aku segera meminta tikar kepada pak Soleh, sementara keadaan semakin menegangkan. Sementara lek Muhsin rupanya juga takut, dia mencengkeram lenganku.
“Bagaimana ini yan?’
“Tenang lek, aku akan berusaha… nanti bantu wirid Basmalah sebanyak-banyaknya…” kataku, sambil melihat wajah lek Muhsin yang ketakutan. Setelah pak Soleh datang membawa tikar. Akupun menggelar tikar di tempat yang bersih, mengingat lawan yang berat, aku pun berinisiatif membaca fatihah kepada Nabi dan silsilah tarekat kodiriah nahsabandiah, sampai ke Kyaiku, Kyai Lentik.
Sementara Marjuki masih ketawa sesumbar. Tiba-tiba salah seorang penonton, seorang setengah baya kesurupan, dan maju ke depan ke arah Marjuki yang masih tertawa bergelak.
Mendadak saja tertawa Marjuki berhenti, aku masih membaca wirid, dengan khusuk, tak urung suara orang yang kesurupan itu terdengar di telingaku. Suara itu suara Kyai.
Aku pun membuka mata, nampak orang yang kesurupan itu petentang petenteng, di depan Marjuki yang tertunduk, takut-takut.
“Kau tau siapa aku?” suara Kyai berwibawa.
“Ampunkan saya, saya tau tuan Kyai Lentik…” suara Marjuki dengan nada takut.
“Lalu kalau kau tau siapa aku kenapa tak cepat keluar, apa aku sendiri yang akan mencabutmu, dan menjadikanmu debu..!!” suara Kyai membentak. Tiba-tiba tubuh Marjuki lemas. Dan menggelosor ke tanah. Kyai yang ada di tubuh orang lain itu segera mengusap tubuh Marjuki yang segera sadar. Dan memanggil ayah ibunya. Sementara Kyai mendekatiku dan membisiki telingaku.
“Kalau mau kembali ke pondok, kalau sakit biar sembuh dulu.” lalu orang desa yang kerasukan itu sadar. Lelaki yang sebelumnya dipinjam wadagnya oleh Kyai itu tak mengerti dengan apa yang terjadi.
Hari itu Marjuki benar-benar telah sembuh, dan segera dimandikan, aku dan lek Muhsin pun mohon diri.
Setelah mengalami pengalaman di Bojonegoro, aku pun memutuskan untuk kembali ke pesantren, setelah selang dua hari di rumah aku pun memutuskan kembali kepesantren. Maka aku mempersiapkan segala sesuatunya, karena besok siang aku pergi dengan bus malam jurusan Kampung Rambutan.
Tapi malam harinya tiba-tiba tubuhku terserang demam teramat tinggi, batuk, kepala pening, dada ampeg, perut seneb. Dan nafasku sesak sekali, sampai kalau aku menarik napas akan terdengar suara ngiik, ngiik, suaranya seperti sempritan atau sumur pompa.
Yang jelas aku merasa tersiksa dan seakan aku telah dekat kepada mati.
Bahkan ketika aku bangun dan mau keluar kamar, tubuhku begitu saja terbanting ke belakang, dan tanganku yang mencoba menahani tertindih punggungku sendiri, dan salah urat, makin lengkaplah penderitaanku.
Aku ingat kata-kata Kyai waktu di Bojonegoro, kalau aku sakit, keberangkatan ke pondok ditunda dulu. Rupanya Kyai memperingatkanku. Dan kini, aku tergeletak begitu saja. Tiada daya, Dokter dipanggil untuk mengobatiku, aku disuntik dan diberi obat yang banyak sekali macamnya, tapi tak membuatku sembuh. Tanganku juga dibawa ke dukun pijat tapi, sama saja masih salah urat.
Aku belum pernah mengalami penyakit separah ini, paling-paling biasanya pusing, atau sesak napas, karena terlalu banyak cat yang kuhirup, karena melukis air brush, yah cat yang partikelnya teramat kecil tetap saja masuk ke hidungku, dan melekat di rongga hidung dan rongga mulutku, sehingga kalau meludah akan serwarna dengan cat yang ku semprotkan, dan hidungku kaku karena terlalu banyak cat yang menempel.
Tapi sekarang penyakit ini lain, kalau mau wudhu aja kakiku gemetaran, dan tangan harus berpegangan.
Ketika ibuku menangis di sampingku, ”Bu, jangan menangis….” kataku yang lemah tidur tak berdaya, “Kalau Tuhan memang telah memanggilku, nanti tolong pada Hanni, pintakan maaf, aku tak bisa menikahinya…, katakan pada Diyah, supaya mencari lelaki yang lebih baik dariku….” aku nyerocos tak karuan menyebut semua bekas pacarku, yang telah ku kecewakan, seakan aku ini terlampau banyak dosa, telah menyia-nyiakan banyak wanita, tak mensyukuri atas ketampananku, tak mensyukuri kelebihan-kelebihan yang telah Tuhan berikan padaku.
Kalau Dokter dipanggil berkali-kali tapi tak ada perubahan pada penyakitku, semua makanan yang ku telan, ku muntahkan kembali, lalu siapa lagi yang ku harapkan mengobatiku.
Kalau orang lain sakit, begitu mudahnya aku memberi solusi, tapi ketika aku sendiri yang sakit, ah memang berat kalau kita mengalami sendiri, seperti teman yang sakit gigi, lalu kita melihat, ah sakit gigi gitu saja merengek-rengek, e, setelah kita yang sakit gigi, maka kita mengaduh lebih dari teman kita.
Keadaanku makin kritis, aku sudah sering mengigau, mataku membalik, tinggal kelihatan putihnya saja, ibuku tiap hari menungguiku dengan sabar, mengompresku, tidur di sampingku, ku dengar ayahku marah-marah,
“Ini karena sering bermain dengan jin, jadi dapat balasannya, mungkin anaknya jin yang ia tawan atau bunuh, telah membalasnya.” Yah begitulah ayahku, selalu menyalahkanku, seakan aku berdiri salah, duduk juga salah, bahkan aku mungkin setahun ngomong dengan ayahku bisa dihitung dengan jari, tapi memang harus begitu satu sisi ada yang selalu menyayangiku yaitu ibuku, juga ada yang selalu ada yang menyalahkanku yaitu ayahku, jadi aku ada kendali kadang melaju, kadang juga berhenti, jadi tak manja. Walau ayahku selalu bersikap seperti itu, aku tetap mencintainya, karena tak ada ayah yang ingin anaknya sengsara, jadi maksud ayahku itu demi kebaikanku juga.
Malam telah larut, mungkin saat itu jam dua dini hari, aku mendengar ada suara memanggilku, menyuruhku bangun, dan kubuka mata, kulirik ibuku masih tidur miring di sebelahku. Ah, lalu siapa yang tadi membangunkanku? Aku mau memejamkan mata lagi, terdengar jelas di sampingku.
“Iyan… bangun ngger…!” karena suara itu kudengar di samping kiriku, aku pun membuka mata, dan mencoba menengok orang itu dengan leher yang sakit, ngilu.
Aku heran ada lelaki teramat tua duduk di sampingku, tersenyum, dan senyumnya terasa mendamaikanku. Wajah lelaki itu lembut seperti bayi, dan ada cahaya kuning tipis menyelimuti, sejuk dipandang seperti matahari mau tenggelam. Juga memancarkan wibawa yang menyilaukan, alis orang tua itu tebal melengkung indah, kedua matanya bening lembut memandangku, seakan-akan menembus sampai dasar hatiku.
Hidungnya mancung, seperti hidung orang-orang Arab, kumis dan jenggotnya tebal memutih, namun terawat rapi, ikat kepalanya seperti gambar di wali-wali songo. Berwarna putih juga bajunya berwarna putih.
“Siapakah tuan?” tanyaku.
“Apakah tuan yang akan mencabut nyawaku? Baiklah aku sudah siap.” lalu ku pejamkan mata dan melafadkan dua kalimat sahadah.
“Anak baik…, aku bukan malaikat yang akan mencabut nyawamu…, Alloh mencintai orang-orang yang bertaubat.” kata lelaki itu lemah lembut.
“Lalu siapakah tuan ini?” tanyaku, kembali membuka mata.
“Ngger, aku Abdul kadir…”
Gemuruh rasa dadaku, takdim, takut, cinta, rindu, semua teraduk dalam dadaku, bagaimana tidak, manusia yang ku cintai ku kagumi akan amaliahnya, kuyakini akan karomahnya, selalu kukirimi fatihah, karena bersyukur atas ilmunya, sekarang ada di depanku, aku mencoba bangun tapi tak kuasa, tubuhku terlampau lemah.
“Sudah ngger…, tak usah bangun, kau sedang sakit, biar aku mencoba menyembuhkanmu,” tangan Syaih diulurkan ke atas tubuhku, aku seperti merasakan hawa damai tiada tara, ku dengar letupan kecil halus, dari dalam tubuhku, dan semua sakitku serasa hilang tak tau entah kemana, tubuhku nikmat, ringan, dan seketika aku bersujud mencium tangannya, menumpahkan cintaku, rinduku…,
“Sudah ngger, sebaiknya engkau jangan memberikan pertolongan di atas kemampuanmu, sempurnakanlah ilmumu, nanti nabi Isa alaihi salam akan mengajarkan ilmu pengobatan padamu, sebagaimana dia mengajarkan kepada Kyaimu.., aku pergi ngger.” terdengar suara salam, dan tangan yang ku pegang telah hilang, meninggalkan bau harum yang tiada tara.
Aku segera menuju kamar mandi mengambil air wudhu dan menjalankan sholat dua rakaat, kemudian melakukan sujud syukur.
Ibuku terbangun, melihatku sedang sholat, setelah aku selesai, ia bertanya.
“Lho udah sembuh to nang?”
“Alhamdulillah sudah bu.”
“Wah bau apa ini nang kok wangi sekali..? Kamu makai minyak apa nang, kok baunya harum?” kata ibu sambil hidungnya kembang kempis lucu.
“Jangan-jangan, ah tak mungkin, dulu aku juga mencium bau harum seperti ini waktu kakekmu meninggal, tapi kau kulihat sehat, seperti tak sakit lagi?” wajahnya kawatir.
“Ah, ibu jangan berfikir yang aneh-aneh.” Besoknya aku pun kembali ke pesantren, naik bus malam PAHALA KENCANA. Ibuku sebenarnya tak mengijinkanku kembali dulu ke pesantren, tapi aku memaksa, karena rinduku kepada Kyai. Sekarang aku telah berada dalam bus yang melaju tak terlalu cepat, karena hujan mengguyur deras di setiap perjalanan. Penumpang dalam bus tak terlalu banyak mungkin sekitar dua belasan orang, karena bus ini nantinya mengambil penumpang di agen-agen penjualan tiket di setiap perjalanan, aku duduk di tengah sebelah kiri bus. Dan daripada melamun, aku selalu membaca wirid di setiap perjalananku. Bus melaju kadang oleng kanan kiri, ketika rodanya masuk ke jalan yang berlubang dan penuh genangan air hujan, sehingga air di kubangan muncrat menyiram para pejalan kaki atau pengendara motor, pasti terdengar jiancok!, atau jiamput!, sumpahan khas, ah mengapa tak subhanallah. Entahlah…
Di daerah Lasem bus berhenti di agen penjualan tiket, para penjual makanan segera masuk menyerbu, takut pembelinya kedahuluan penjual lain, kulihat pembeli tua melangkah pelan, menawarkan dagangan, ku lihat makanan kesukaanku, yaitu jagung muda yang diparut kemudian diuleg dengan bumbu dikasih telur lalu digoreng, dimakan dengan cabe, huh enak sekali, di daerahku makanan itu namanya pelas.
“Berapa nek?”
“Tiga ribu nak.” ku keluarkan uang tiga ribuan, nenek itu menerimanya dengan jari gemetar.
“Nenek sakit?” tanyaku. Perempuan itu mengangguk. Ku keluarkan uang dua ratusan ribu, lalu ku jejalkan di telapak tangannya, mungkin uangku ini lebih berguna di tangan nenek ini daripada di tanganku, ini adalah uang gajiku melukis di rumah makan. Lumayanlah dua minggu aku mendapat tiga jutaan. Nenek itu terkejut.
Tapi aku segera berkata, ”Sudahlah nek, tak usah terima kasih, sekarang nenek tak usah kerja, nenek pulang, dan uang itu untuk membeli obat, sana nenek turun, terus pulang.” nenek itu menuruti kata-kataku kemudian dia turun, sampai di bawah kulihat dia melihat uang yang kuberikan. Lalu menatapku dari bawah dan air matanya berkaca-kaca. Kulihat dia mengangkat kedua tangannya berdoa. Sementara aku mulai menikmati apa yang kubeli.
Beberapa penumpang naik, dan juga dua penumpang pasangan setengah tua, ku perkirakan umurnya lima puluh tahunan, setelah mencari-cari nomer kursi ternyata yang lelaki duduknya di sebelahku, sementara yang perempuan di kursi dua kursi deretan sebelah kanan arah depan kursiku.
Bus pun melaju, jam butut di tanganku telah menunjukkan pukul setengah lima sore.
Tiba-tiba perempuan istri lelaki di sampingku, bangkit dari kursi dan berjalan ketempat aku duduk. “Nak, bisa enggak kita gantian tempat duduk, biar saya duduk di sebelah suami saya, dan anak duduk di kursi saya.”
“Oh nggak papa bu, silahkan… silahkan.” kataku segera memberesi tas dan barangku. Untuk pindah tempat duduk.
Aku segera pindah tempat duduk yang ditempati perempuan tua itu. Oh rupanya disitu ada penumpangnya, seorang gadis berjilbab, cantik? Entah aku belum melihat wajahnya, aku mengucap permisi lalu duduk, menempatkan tasku, di tempat yang aman.
Nah, saat mengucap permisi itulah gadis itu menengokku dan mempersilahkanku, kulihat wajahnya terkejut melihatku, tapi aku duduk saja.
Terus terang aku orangnya tertutup, walau ada gadis di sampingku cantiknya sundul langit, aku tak akan bertanya, juga tak akan mengganggu. Kecuali ditanya. Walau dalam hati dag-dig-dug, tak karuan, yah namanya tetap juga manusia, ketertarikan lelaki pada wanita, wajar saja, tapi aku bukan tipe lelaki yang petentang-petenteng membawa pedang asmara, lalu kalau ketemu gadis ayu, menusukkan pedang ke dadanya, dan memberikan serangan rayuan yang berbunga-bunga, ah aku hanya pemuda dingin, kadang aku sendiri merasa kedinginan, tapi mungkin karena rambutku panjang anting ada di telinga, jadi orang lebih mengira aku ini anak nakal. Untuk beberapa saat kami terdiam, sampai gadis itu bertanya padaku.
“Mau ke mana mas?” pertanyaan yang wajar, tak wajar kalau dia bertanya mau makan apa mas? Sebab ini dalam bus bukan dalam warung.
“Mau ke Jakarta.” jawabku juga wajar, kalau ku jawab ke Surabaya, tentu aku makin jauh, sebab bis ini menuju ke barat. Kulihat gadis itu, ah pasti waktu mau bertanya padaku tadi dia berusaha mati-matian membasahi bibirnya. Sebab kulihat bibirnya basah sekali, seperti dikasih madu. Rasanya pasti…. ah setan, menggoda saja.
“Mbak sendiri mau kemana?” tanyaku sambil melihat hidung mungilnya yang seperti cabe merah besar.
“Sama mau ke Jakarta…”
“Oo, kalau begitu bisa sama-sama dong….!” kataku, ah kenapa dialognya tak bermutu begini, tapi diteruskan juga.
“Boleh kenalan mas? Nama saya Rosalia…” cewek itu mengulurkan jemarinya yang lentik halus. Oh Tuhan maafkan aku, sebenarnya aku tak boleh menyentuh tangannya, tapi kalau aku tak menyentuhnya, aku rugi nantinya.
“Iyan.., Febrian.”
“Ah, tak salah dugaanku, pasti mas… orangnya, bener-bener tak nyangka.” tiba-tiba gadis ini girang bukan main, dan tanganku, ditariknya ditempel ke pipinya yang putih kemerahan, aku buru-buru menarik tanganku, takutnya digigit.
“Ah, mbak pasti salah orang.” kataku takut, jangan-jangan maniak sex, wah kalau diperkosa, aku bisa tak perjaka lagi.
“Tak mungkin salah, aku begitu lama menyanjungmu, begitu merindumu, memujamu, tak akan pernah salah mengenali dirimu…” dia mengatakan bersemangat sampai air liurnya muncrat kemana-mana, apa mungkin dia ngiler ya ngelihat aku?
“Dulu aku berpikir apakah engkau itu benar-benar nyata? Ternyata engkau benar-benar nyata.” tangannya yang halus membelai pundakku. Ah sial aku jadi merinding, mengapa jadi serumit ini.
“Bener mbak ini salah orang, nanti mbak menyesal..!”
“Bagaimana aku akan salah orang, fotomu aja selalu ku bawa.” katanya sambil membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah majalah, dan kliping tulisan dan fotoku.
Aduh… aduh… rupanya ini penggemarku, yang begitu memujaku, memang dulu aku aktif menulis di berbagai majalah. Tapi itu sudah lama aku fakum, kenapa penggemarnya masih ada? Kulihat foto yang ditunjukkanku, dari pertama aku menulis di majalah Jawa penyebar semangat, sampai majalah Anita, dan majalah Alkisah. Ah benar-benar deh aku tak nyangka akan ada yang mengidolakan aku.
“Benar kan ini mas Ian…?” tanyanya, matanya yang seperti artis Jeklin itu menyelidik. Dan aku mengangguk. Aku tak kuasa ketika lenganku tiba-tiba direngkuh dalam pelukannya.
“Mas, aku telah mencoba menjadi gadis idamanmu, aku yang sebelumnya tak berjilbab, sekarang telah berjilbab, lihatlah mas. Apakah aku kelihatan cantik, aku siap menjadi pacarmu bahkan istrimu.” wah aku bertemu dengan penggemar yang tak bisa membedakan dunia fiksi dan dunia nyata, ah aku harus bisa lepas dan melepaskan dia dari dunia hayalnya. Ah semakin sulit aja.
“Mas, em… aku boleh ya minta ciumnya…” wah semakin ngawur aja, kalau aku tinggalkan gadis ini, ah betapa tak bertanggung jawabnya aku atas cerita fiktif yang ku buat. Aku berusaha menenangkan diri.
“Eh, gini ya dek Rosa, soal cium itu nanti mudah dech. Waktu kita kan masih panjang, jadi baiknya kita ngobrol dulu, jadi pasangan kan harus mengenal lebih jauh calon pasangannya?” kataku mencoba setenang mungkin.
“Dek Ros, asli orang Jakarta ya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, sambil mencari akal untuk keluar dari krisis multidimensi, ah dibesar-besarkan aja.
“Iya mas, aku dari Cipinang Muara.” katanya kemudian menggelayut, merebahkan kepalanya di pundakku, ah bisa gawat nih, suara dadaku makin bergeladukan saja.
“Trus tadinya dek Ros ini dari mana?” tanyaku mencoba mengusir keinginan mengambil kesempatan dalam kesempitan.
“Ih, mas Ian ini, kayak tak tau saja, kan dalam novel itu wanita pujaan mas, mondok di pesantren, jadi saya ya jelas dari pondok pesantren, dari nama pondok, desanya, kotanya dah aku cocokin semua, aku akan menjadi gadis yang mas Ian inginkan.” wah sudah sejauh itu? Waduh makin kacau aja. Ruwet…., ruwet…., walau bus ini ber-AC keringat tak urung membasahi punggungku. AC dalam bus hanya mengeringkan keringat yang ada di wajahku. Tapi tak mengeringkan keringat di dalam bajuku.
Sementara gadis di sampingku yang masih memeluk tangan kananku dan kepalanya rebah di pundakku, tertidur. Ah aku mungkin tak bisa menyelesaikan masalah ini, biarlah aku berserah, pada penyelesaian Tuhan. Maka akupun membaca wirid dan mencoba tidur.
Aku berharap setelah tidur gadis ini tak ada, atau masalah ini hanya mimpi saja, bagiku terlampau sulit untuk mencari jalan keluarnya. Aku benar-benar tak menyangka hanya karena cerita fiktif, bisa menimbulkan masalah sebegini peliknya.
Setelah wirid dan hatiku tenang maka akupun tertidur.
Malam mulai merambat, dan gadis di sampingku masih lelap dalam tidurnya, lagu Setasiun Balapan mengalun dari speaker mendayu-mendayu, disusul lagu Sri Minggat, lagu Jawa itu kadang membuatku sedikit tertawa, tapi aku segera memejamkan mata lagi. Ingin sedapat mungkin berlari dari kenyataan ini, sampai besok saja sampai aku terlepas dari gadis di sampingku ini.
Ah kenapa begitu susahnya, dadaku terasa sesak akan himpitan, aku segera memenuhi illalloh…, ku ulang-ulang untuk mencari pegangan atas kegelapan yang mulai membutakan mata hati, ya Alloh lindungi aku dari kenistaan nafsu, dan segala macam tipu dayanya.
Aku telah tertidur lagi dengan lelap. Sampai kurasakan ada tangan menepuk pundak kiriku.
Tepukan itu kurasakan keras, jadi tak mungkin aku bermimpi.
Aku tengak tengok, semua penumpang tertidur, lalu siapa yang menepuk pundakku? Ku menengok ke kanan kiri ingin tau bus ini sampai di mana, dan betapa terkejutnya aku ketika kulihat ke sebelah kiri bus.
Bus ini sedang membelok ke kiri, dan di sebelah kiri ada warung tepi jalan yang kayu gentengnya menjorok ke jalan, sehingga kalau bus terus membelok tak diragukan lagi kaca kirinya akan menghantam kayu warung itu.
“Stooop..!” aku menjerit sekencangnya. Sampai gadis di sampingku melonjak kaget bukan alang kepalang. Tapi rupanya supir bus tak memperdulikanku, mungkin mengira aku sedang mengigau. Dan tak bisa dielakkan lagi.
“Duar…, kratakkkreek… tar.. tar..!” suara kaca bus sebelah kiri pecah berhamburan. Jerit penumpang ramai, juga jerit mengaduh dari penumpang yang terkena pecahan kaca.
“Stoop!!!” suara ku keraskan untuk mengalahkan ribut suara panik penumpang, karena aku takut sopir bus akan memundurkan busnya, tapi kekawatiranku langsung terjawab, mungkin karena paniknya sopir, bus pun dimundurkan ke belakang, “Dar.., tarrk… kkrrk…!!” kembali terdengar, kaca bus yang tadi menghantam kayu pojok warung dan kayu yang masuk ke dalam bus begitu saja menyapu kaca yang tersisa dan masih menempel karena scotlet bening melapisi kaca.
Terdengar lagi jerit penumpang. Sekarang semua orang meminta bus berhenti.
Para penumpang berebut turun, kulihat tiga kotak kaca bobol pecah tak karuan, banyak orang terluka wajahnya karena terkena pecahan kaca, termasuk suami istri yang sekarang menempati kursi yang tadinya kududuki, dan mereka berdua lukanya paling parah, sehingga harus dibawa ke rumah sakit.
Seandainya aku yang masih duduk disitu, apa jadinya aku? Tuhan mempunyai rencana tuk menyelamatkanku, aku tak membayangkan bagaimana seandainya aku ngotot tak mau pindah tempat duduk, walau aku mendapatkan cobaan gadis yang duduk di sampingku. Ah, mana gadis tadi? Aku tak melihatnya, ah kenapa aku harus mencarinya? Bukankah dari rumah awalnya juga berangkat sendiri-sendiri, aku membetulkan letak tas punggungku, ketika dua bus cadangan datang tuk menampung penumpang, aku segera masuk ke dalam satu bus, dan mencari kursi yang masih kosong, karena bus ini telah terisi penumpang.
Bus yang ku tumpangi pun melaju lagi, para penumpang ramai membicarakan kecelakaan yang terjadi. Jam tangan bututku ku lirik, menunjukkan jam sepuluh seperempat. Aku menyandarkan tubuh di kursi dan menempatkan badan senyaman mungkin lalu biasa memulai wiridku. Ah rupanya kecelakaan tadi jawaban atas doaku agar aku selamat dari gadis yang mati-matian mengidolakanku. Entahlah?
Aku pun tertidur, sampai bus berhenti di rumah makan. Aku segera turun menyusul penumpang yang lain.
Ku baca tulisan di rumah makan itu NIKKI Subang, kiranya telah sampai di Subang.

Kisah Sang KyaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang