Sang Kyai 12
Suasana sangat sepi, hanya satu dua orang lalu lalang, aku tak sadar telah tertidur pulas, aku terbangun dan kaget, ketika tangan hangat membelai pipiku, aku segera bangun dan melihat perempuan setengah baya, duduk di dekat kepalaku.
“Ada apa mbak?” tanyaku masih mencoba memperjelas mata yang perit,
“Tak butuh kehangatan mas?” kata perempuan itu yang berbau autan.
“Wah kalau butuh, aku lebih butuh autan mbak, autannya masih ada?” tanyaku tanpa buruk sangka. Dia mengeluarkan autan dari balik bajunya, dan menyodorkan padaku.
“Minta sedikit ya…” kataku, dia manggut, wajahnya tak cantik walau tak jelek, ku taksir umurnya empat puluh tahunan.
“Mas tak butuh kehangatan?” tanyanya lagi sambil memegang pahaku, sementara aku masih mengoles autan.
“Kehangatan apa? Apa aku mau dikasih kopi? Wah aku mending tidur daripada minum kopi, nanti tak bisa tidur,” kataku nyantai,
“Maksudku tidur denganku…” katanya tanpa malu,
Aku baru berpikir kalau dia pelacur.
“Ah enggak mbak…” kataku mencoba tenang. Walau ucapanku tetap saja rasanya terhenti di tenggorokan.
“Ayolah mas, tak usah bayar…!” katanya merajuk sambil mencoba meraih pahaku.
“Embak ini punya anak?” tanyaku mengalihkan pembicaraan dari pikirannya yang kotor,
“Punya.” jawabnya,
“Punya suami?”
“Punya.” jawabnya lagi.
“Lalu kenapa bekerja seperti ini?” tanyaku.
“Yah suami tak bekerja, aku dan anakku butuh makan,”
“Lalu kalau aku tak bayar, mbak tak dapat uang?”
“Gak papalah, kalau untuk mas yang ganteng, aku relakan, tak usah bayar, aku kan juga butuh kesenangan.” katanya enteng.
“Apa embak ini tau akibatnya kalau embak ini bekerja kayak gini?” tanyaku.
“Yah paling kalau ada razia, kita ketangkap, itu juga kalau Polisinya kita kasih, kita dilepas lagi.” katanya enteng.
“Wah bukan hanya itu mbak, mbak bisa terkena penyakit kelamin, nanti kalau embak tua juga tak ada yang mau, nanti mau kerja apa? Kalau tak dimulai dari sekarang merintis pekerjaan yang halal, dan mbak kalau meninggal akan disiksa di dalam kubur sampai hari kiamat, kiamat itu masih lama, dan semua orang sudah pasti mati, andai mbak menjual diri di zaman nabi Adam, sampai sekarang masih disiksa, bayangkan ribuan juta tahun, apa siksanya, kemaluan ditusuk besi yang membara tembus sampai ke mulut, mbak tentu bertanya, apa bener siksa itu ada? ya nyatanya semua orang akhirnya meninggal juga, itu berarti siksa di sana ada,” kataku panjang lebar, untuk menggugah hatinya yang membatu.
“Lebih baik mulai sekarang, menyadari diri, memutar arah ke jalan yang benar, sebelum terlambat, kalau orang mau ke jalan yang benar, pintu rizqi akan dibukakan oleh Alloh. Alloh memberi makan pada semua orang aja mampu, kalau ditambah embak dan keluarga, tentu tak berat bagi Alloh, asal embak bener-bener berniat menjadi orang baik-baik.”
“Apakah Alloh mau menerima taubatku,” katanya berlinangan air mata.
“Aku ini teramat kotor.”
“Mbak pintu taubat Alloh, itu lebih luas dari langit bumi seisinya, semua orang di dunia yang seperti embak mau bertobat semua, pintu taubat masih lebih luas lagi,” kataku, dan perempuan itu nangis mengguguk, lalu berdiri dan lari keluar dari peron.
Aku cuma menatap kepergiannya dan berdoa, agar Alloh membuka dan melapangkan hatinya, menuju ke taubatan nasukha. Malam itu aku tidur di kursi, dengan mensyukuri kesendirianku, kesepian, kemiskinan, dan melepas segala beban kepunyaan, kemilikan, betapa damai dunia, jika kita tak terbebani apa-apa, tak perlu memikirkan dan mengkawatirkan. Lepas seperti bayi yang tak tau apa-apa.
Pagi setelah sholat subuh aku melanjutkan perjalanan, ke arah Ngawi, melangkah satu-satu, tenggelam dalam wiridku. Tenggelam teramat dalam, sampai waktu maghrib aku tak tau telah nyampai di mana? Ku hampiri masjid, untuk mengikuti sholat berjamaah, lalu wirid menunggu shola isyak, aku telah lupa, seharian perutku tak terisi apa-apa. Setelah sholat isyak, aku masih tenggelam dalam dzikir, tiba-tiba seseorang menghampiriku, seorang lelaki yang tadi jadi imam di masjid.
“Assalamualikum..” salamnya sembari mengulurkan tangan.
“Waalaikum salam warokhmatulloh.” jawabku menerima uluran tangannya untuk berjabat tangan.
“Anak ini dari mana?” tanyanya setelah duduk di dekatku.
“Saya dari daerah Senori Tuban pak..” jawabku, sambil memperhatikan perawakan orang ini, tinggi sedang, tubuhnya kelihatan kuat, wajahnya biasa, tapi jenggotnya memanjang sampai ke dada, dan rambutnya panjang diikat tapi dimasukkan ke dalam baju.
“Jauh dengan daerang Sendang?” tanyanya lagi.
“Wah itu malah desaku.” jawabku yakin.
“Wah kok kebetulan begitu, aku punya kenalan di daerah itu, namanya pak Mustofa, apa kamu tau dik?”
“Pak mustofa yang mana ya?”
“Rumahnya belakang pesantren Daruttaukhid.” kata orang itu.
“Wah itu ayahku…” kataku juga terkejud dan heran, kenapa jadi kebetulan seperti ini.
“Lhoh kamu Ian? Febrian? Anak pak Mustofa, cucu KH. Khusain.?”
“Benar pak…” seketika orang itu memelukku, dan mengucek-ucek rambutku.
“Walah sudah besar kamu nak, dulu aku terakhir melihatmu masih umur 4 tahun, masih suka nangis.”
“Bapak siapa?” tanyaku karena sejak tadi tak tau namanya.
“Namaku Fadhol, aku teman sekolah ayahmu.., sudah-sudah, ayo ke rumah, bicara dan ceritanya nanti saja.” kata pak Fadhol, mengajakku kerumahnya, yang tak jauh dari masjid, hanya melewati jalan raya dan masuk gang 25 meteran.
“Nah ini rumahku nak Ian.” kata pak Fadhol, rumah yang sederhana, dari kayu tanpa dicat, di depan rumah juga ada dudukan dari kayu sebesar lengan orang dewasa, terjejer, hingga membentuk dudukan yang rapi, dan halus bukan karena diplitur tapi karena sering diduduki, di dalam rumah tak ada perabot yang mewah, cuma meja besar dari kayu tebal, yang kuno sekali juga kursi kayu kasar. Pak Fadhol segera mempersilahkan aku untuk duduk, sementara dia masuk ke dalam memanggil istrinya, bernama ibu Zulaikhah. Tak lama kedua orang itu keluar.
“Oh ini anaknya pak Mus? Wah bener-bener sudah besar.” kata bu Zulaikhah.
“Udah bu, sana siapkan makan…” kata pak Fadhol, dan sambil nunggu makan disiapkan aku pun ngobrol dengan pak Fadhol,
“Kok kamu sampai di sini, sebenarnya mau ke mana nak Ian?” tanya pak Fadhol.
“Yah beginilah pak, saya cuma mengikuti langkah kaki, kemana mau membawa.” jawabku.
“Ee alah wong turunan orang yang suka tirakat, ya jadi suka tirakat…., jadi tak punya tujuan pasti to? We kalau begitu mau kan nginep di sini barang 3, 4 hari.?”
“Wah jadi merepotkan bapak..”
“Endak, nggak merepotkan kok, mau ya?”
“Baiklah pak.”
“Nah gitu dong.”
Bu Zulaikhah pun memanggil kami untuk makan. Nasi, sayur kangkung, tempe goreng kering tanpa tepung, sambel jeruk, pindang, wah nikmat sekali untuk perut yang lapar. Semalaman aku dan pak Fadhol ngobrol.
“Ngger, sebenernya apa yang kamu cari dalam lelakumu ini?” tanya pak Fadhol, sambil mengebulkan asap rokok Sukun Kretek.
“Ah saya juga tak tau pak…, sebenarnya saya ingin lepas dari belenggu keinginan, tapi kok ya malah tercebur pada keinginan yang lain.” jawabku, sembari mengambil rokok Sukun Kretek, karena melihat betapa nikmatnya pak Fadhol ngerokok jadi aku juga kepingin.
“Maksudmu apa to ngger?”
“Maksudku, aku ingin menghilangkan rasa ingin dimulyakan, punya kedudukan, punya kekayaan, punya derajat dihormati masyarakat, punya istri yang cantik, dan sholeh, juga ingin lepas dari tindihan nafsu kenikmatan panca indra, tapi aku kok malah terperosok pada keinginan baru, yaitu keinginan ingin lepas dari ingin, bukannya aku malah lepas, tapi malah tambah saja keinginanku, yang membuatku makin terkhijab dengan Alloh.
“We ladalah, aku kok malah mumet to mendengar penuturanmu?” kata pak Fadhol, mengerutkan kening, dan tangannya memegangi kepala.
“Saya aja yang mengucapkan mumet, apalagi sampean..” kataku, dan kami tertawa berdua. Kira-kira saat itu jam 1 dini hari, tiba-tiba pak Fadhol mengajakku ke kebun jagung belakang rumah, ku kira mau membakar jagung. Sementara bulan di langit terang mengapung di angkasa. Ini tanggal 19, sehingga bulan masih penuh. Sampai di kebun, tiba-tiba pak Fadhol menghentakkan kaki dan tubuhnya meloncat seperti belalang, melenting ke pucuk pohon jagung, ringan seperti kapas, kemudian berlarian di pucuk-pucuk pohon jagung, lalu kembali ke depanku.
“Apa ilmu begini ini yang kamu cari ngger?” kata pak Fadhol masih berdiri di pucuk pohon jagung, dan daun itu cuma bergoyang sedikit.
Aliran di pusarku mengalir deras, mengalir cepat ke seluruh urat di tubuhku, sehingga seketika tubuhku terasa enteng. Tapi aku cepat-cepat minta perlindungan pada Alloh, dan minta disembunyikan siapa aku, dijauhkan dari pamer dan takabur.
“Ah ndak butuh ilmu seperti itu aku pak Fadhol.” jawabku.
“Lho memangnya kenapa? Semua pemuda menginginkan ilmu seperti ini.., kok kamu enggak?” kata pak Fadhol sambil melayang ringan ke sampingku.
“Punya ilmu kayak gitu juga buat apa kalau hidup susah, hati nggrengseng, yang ku inginkan ketenangan batin, sehingga saat aku beribadah pada Alloh pikiran dan batinku tak kemana-mana.”
“Weh kamu ini cita-citanya sebenarnya sepele, tapi setelah ku pikir kok teramat tinggi, dan di atas kewajaran.” kata pak Fadhol sambil melangkah memetiki jagung muda.
“Sebenernya itu keinginan wajar, seperti keinginan orang pada umumnya, tapi…”
“Tapi apa ngger?” tanya pak Fadhol, tangannya tak henti mengupas jagung, dan membersihkan, lalu menyalakan api pada tempat pembakaran, yang sepertinya sudah biasa dipakai, aku pun dengan cekatan membantu meletakkan jagung di api yang mulai membesar.
“Ya tapi mewujudkannya dalam nyata yang susah, apa itu cuma ada di batin?”
“Aku sendiri tak tau ngger, dulu aku juga sering lelaku sepertimu, tapi yang ku cari ilmu kanuragan, aji kesentikan. Eh, besok ayo ke tempatnya H. Ibrahim.”
“Mau apa pak? Apa dia juga kenalan ayahku?”
“Weh bukan kenalan lagi, sudah seperti saudara malah, dia pernah ngomong mau menjodohkan putri satu-satunya denganmu…”
Ah kenapa lagi-lagi soal jodoh… apa memang aku sudah saatnya menikah?
“Kenapa?” kata pak Fadhol melihatku melamun.
“Ah tak papa kok pak…”
“Kamu ragu ama anaknya pak Ibrahim? Ee.. kalau nanti sudah melihat orangnya kamu pasti bilang he-eh, orangnya cantik, pinter, jebolan Nggontor, mau apa lagi, kekayaan ada.”
“Ya nantilah pak.” kataku supaya Pak Fadhol tak cerita terlalu banyak. Malam itu, setelah sholat magrib, aku diajak pak Fadhol ke tempatnya pak Ibrahim, naik motor Honda cdi, rumahnya tak terlampau jauh cuma 2 km. Sampai di rumah pak Ibrahim, hampir isyak, pekarangan rumahnya luas, berpagar besi, dan bertutup viber, halamannya luas, aneka pohon dan bunga tertata rapi, sebagian halaman tertutup batako, dan sebagian tertutup rumput Jepang di antara beraneka tanaman bunga. Bangunan rumah mewah dan berkelas, dengan tiang besar-besar dan bundar. Rumah bercat kuning gading, dan lantai dari marmer. Dari situ aja udah membuatku grogi, bukan karena aku yang miskin, aku hanya berpikir jika anak pak Ibrahim jadi istriku, tentu mahal biayanya merawat anak orang kaya.
Tapi ya udahlah, tapi aku benar-benar berdoa, moga-moga, dia bukan jodohku. Kami mengucap salam, dan pak Ibrohim keluar, menyambut, orangnya perawakannya tinggi besar dan gagah, umurnya mungkin 50 tahun, tak kelihatan tua, juga ibu Aminah, istri Pak Ibrohim keluar menyambut, orangnya cantik, berkerudung lapis dua, aku jadi berpikir, ah kalau ibunya aja secantik itu apalagi anaknya. Kami dipersilahkan duduk.
“Wah ada angin apa ini, kok kang Fadhol dolan kemari, padahal sudah lama kami sekeluarga ingin ketemu.” kata pak Ibrohim dengan suara berat.
“Pertama, ya biasa pengen silaturrahmi, dan kedua… Ini, ngajak putranya pak Mustofa main ke mari.” kata pak Fadhol tanpa banyak basa basi.
“Anaknya pak Mustofa Tuban maksudmu kang?”
“La iya, pak Mus yang mana lagi?”
“Ini…” tangan pak Ibrohim menunjukku.
“Iya pak…” kataku agak grogi.
“Weh sudah sebesar ini..?” kata pak Ibrohim, entah untuk basa basi atau apa, aku tak tau.
Aku pun ditanya sama pak Ibrohim, seperti Polisi mengintrograsi penjahat, tak satupun pertanyaan terlewat, seakan aku ini benar akan jadi menantunya, sampai ibu Aminah keluar dengan seorang pembantu membawakan makanan dan minuman,
“Ini lo bu, anaknya pak Mus…” kata pak Ibrohim ditujukan pada istrinya.
“Weh kok bisa kebetulan… Apa sudah dikasih tau?” kata bu Aminah.
“Ya sudah to bu…” kata pak Ibrahim.
“La kalau sudah, tunggu apa lagi? Mbok yang tua pada ke dalam biar yang muda berkenalan.” tambah bu Aminah, membuatku makin kikuk aja.
“Laya…!, Kesini…” bu Aminah memanggil. Dari dalam terdengar sahutan, dan keluarlah gadis jangkung, berjilbab hitam dengan motif bunga, pakaiannya berwarna ping juga dengan motif bunga, di pergelangan tangannya berhias hitam putih renda.
“Ayo-ayo yang tua ke dalam, mari pak Fadhol, nak Iyan, di sini aja ya, Laya sana nak Iyan ditemani ngobrol.” kata bu Aminah. Laya panggilan dari nama lengkap Ulfa Nurul Layali.
Gadis itu duduk di kursi depanku, banyu minyak wangi lembut segera menerobos hidungku, ku pandang sekilas wajahnya rupanya dia juga melirikku, mata yang bening seperti embun, alis mata yang tebal, pipi kemerahan, hidung yang mancung kecil, bibir nan merah dengan lipstik tipis, dagu yang lancip. Dia duduk menunduk, kulihat tangannya putih, terkulai di pangkuan, jari jemari lentik saling bertautan, ah denganku teramat jauh, tentu saat itu aku betapa hitam, karena berhari-hari berjalan di terik matahari, sempat mandi juga waktu di rumah pak Fadhol, tentu wajahku berminyak, sepeti wajan dan penggorengan. Ah sudahlah dia tak mau denganku juga Alkhamdulillah apa yang musti dikawatirkan. Aku juga tak ingin kelihatan gagah di muka dia. Perduli amat, batinku, memompa rasa percaya diri. Lama juga kami terdiam, seperti radio yang menunggu dinyalakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sang Kyai
RomancePagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian diham...