Sang Kyai 14
Dua hari perjalanan, akhirnya aku sampai di kota Bojonegoro, selama dua hari ini aku tidur di alam bebas, juga hanya makan jambu hutan dan pisang yang tumbuh di hutan, jadi perut kempes, tapi aku berusaha untuk tawakal berserah pada yang memberi hidup, sore hari ketiga setelah keluar dari tempat pak Fadhol aku sampai ke Bojonegoro, aku berjalan terus arah selatan terminal lama, aku berjalan sampai di satu mushola daerah Pacul, aku berbelok mengambil wudhu kemudian sholat ashar, setelah sholat aku duduk tenggelam dalam wirid, tiba-tiba di belakangku terdengar piring dan gelas diletakkan di lantai mushola.
Setelah wirid selesai aku menengok seorang pemuda berambut panjang dan berpeci putih tengah duduk, di depannya ada nasi lengkap dengan lauk pauk, umur pemuda itu sekitar 30 tahun, dia tersenyum padaku.
“Mari mas makan dulu,” katanya ramah.
“Wah saya sudah menunggu dari tadi, takutnya mengganggu wirid.”
Aku mengulurkan tangan, mengajak kenalan, “Febrian.” kataku menjabat tangannya.
“Mashur.” ucapnya memperkenalkan diri,
“Sudah ayo makan dulu, ngobrolnya dilanjutkan nanti, sambil makan.” katanya sambil mengangsurkan piring ke hadapanku, kulihat sayur terong, ikan bandeng, sambal trasi sebagai lauk, terasa nikmat.
“Mas Ian ini musafir ya?” tanyanya.
“Iya.” jawabku sambil menikmati makan yang nikmat.
“Kok tau aku musafir?” tanyaku.
“Ada seorang pemuda yang dari kemarin telah menunggu mas di rumahku,” katanya.
“Seorang pemuda?”
“Iya mas, katanya dia mendapat bisikan dari gaib disuruh menunggu mas, pokoknya orang yang ciri-cirinya seperti mas ini, yang akan singgah di mushola ini, itu orangnya masih di rumahku,” kata Mashur menjelaskan.
“Wah ada apa ya?” tanyaku heran.
“Nanti aja tanya sendiri mas ke orangnya, wah ayo mas, nasinya nambah lagi.”
Kami makan dengan lahap, hampir satu bakul kami habiskan berdua, seakan kami ini kenalan lama, di sela-sela makan kami bercanda.
Mashur orangnya supel dan ramah, dia hidup dengan istri dan dua anaknya, punya pesantren kecil di belakang rumah, yang isinya santri-santri yang ada sambil sekolah, juga ada yang sambil kerja. Muridnya cuma 10 orang.
Setelah makan aku diajak menemui seorang pemuda yang katanya telah menunggu kedatanganku sejak kemarin di rumah Mashur. Pemuda itu bernama Ilham, ketika masuk ke rumah Mashur pandang mataku segera menangkap sosok pemuda kurus, ceking, matanya menjorok ke dalam, pertanda telah mengalami berbagai keprihatinan, tapi setelah sebentar mengamati, aku seperti pernah melihat pemuda ini, tapi aku mengingat-ingat sebentar….. yah pemuda ini pernah ada dalam satu mimpiku, entah 3 bulan atau berapa bulan yang lalu, aku telah melihat masa lalunya tanpa aku tau bagaimana caranya, kami bersalaman, dia mencium tanganku, ku biarkan saja.
“Ilham.” katanya menyebutkan nama. Aku juga memperkenalkan namaku. Aku manggut-manggut kulihat aura hitam menggumpal-gumpal melingkupi tubuhnya, dan aku benar-benar ingat pada semua mimpiku.
Dalam mimpi itu aku melihat pemuda ini mempelajari ilmu tanpa guru, jadi dari membaca-baca buku, tanpa pembimbing, dia mengikuti petunjuk buku itu, dia menyepi di salah satu makam yang dikeramatkan, berhari-hari dia menyepi, berpuasa dan menekuni amalan dari buku tersebut, entah di hari yang ke berapa, di suatu malam di makam itu, sendiri dia membaca wirid dari buku, dan datanglah orang tua berjenggot panjang,
“Ngger, aku akan memberikan ilmu padamu, tapi kau harus menghentikan salat 5 waktu, bersediakah kau ngger?” tanya orang tua itu. Ilham pun manggut. Maka orang tua berjenggot itu memasukkan cahaya dari tapak tangannya ke kepala Ilham.
Persis setelah kejadian itu Ilham tak pernah sholat, tapi aneh dia bisa mengobati berbagai penyakit. Waktu berlalu Ilham masih aktif duduk di makam keramat itu, sambil membaca amalan dari buku.
Entah yang ke berapa malam, dia didatangi bung Karno, presiden RI yang pertama, ”Ngger Ilham, aku akan memberi ilmu padamu, tapi kau harus mau membakar warung tempat menjual minuman keras di ujung desa.” pesan bung Karno.
Setelah pulang dari makam, Ilham linglung, betapa tidak, bagaimana harus membakar sebuah warung minuman? Bagaimana kalau nanti seluruh desa terbakar? Tapi ini perintah presiden RI, yang akan memberikan ilmu padanya, tiap malam Ilham merenung, tiap hari dia bengong karena suara bisikan yang berkecamuk tumpang tindih dalam hatinya.
Malam itu jam 2 dini hari, Ilham telah bertekat, berangkat dengan motornya dan berbekal bensin 5 liter, dia mendatangi warung bensin di ujung desa, motor dia setandarkan, dia menghampiri warung dan menyiram pinggir dan dinding warung dengan bensin, korek api dinyalakan dan wus, warung pun terbakar, Ilham kabur dan mengawasi dari jauh hasil karyanya, dengan seringai puas, sementara api menjilat habis warung dan segala isinya, rumah di sebelah warung pun mulai terjilat api, untung yang punya rumah segera terbangun dan berteriak kebakaran, jadi satu keluarga masih bisa menyelamatkan diri, orang desa mendengar teriakan kebakaran segera berdatangan bahu membahu memadamkan api, walau tak urung rumah di sebelah warung ludes terbakar, tapi api telah dapat dipadamkan.
Pemilik warung, suami istri dan anaknya yang masih bayi hangus terbakar, tak bisa tertolong lagi. Orang-orang bertanya-tanya apa sebenarnya penyebab kebakaran, tapi tak ada yang tau, Sementara Ilham besok malamnya menunggu di pemakaman keramat, dan bung Karno pun datang menyerahkan sebuah keris. Setelah mendapat keris itu, Ilham makin sakti, kebal senjata, dan dia makin serius di pemakaman keramat, hari-hari berlalu.
Malam itu, Ilham masih tekun membaca amalan, hio telah beberapa kali padam dan dia nyalakan hio yang baru, tiba-tiba tercium bau wewangian teramat harum menyeruak memenuhi seantero pemakaman keramat, baunya amat harum, sehingga membangkitkan birahi, dan perlahan tapi pasti, nampak bentuk perempuan cantik di depan Ilham, cantik tiada terkira, tak pernah Ilham melihat wanita cantik sesempurna perempuan muda yang ada di depannya, biar kata semua artis Indonesia disatukan lalu dikareti, masih tak mampu menandingi perempuan ini, cantiknya sulit digambarkan, sampai biasanya Ilham yang tak begitu doyan cewek, kali ini jakunnya naik turun kayak gergaji, seperti kehausan yang teramat sangat di tenggorokannya, kayak jakun itu kurang oli.
“Apakah kau tak ingin jadi suamiku? Dan tak ingin kaya?” tanya perempuan itu, suaranya merdu, seperti alat musik petik yang dipetik dengan hati-hati takut putus senarnya, atau suling yang ditiup dengan nafas yang telah berlatih menemukan nada terhalus dari suara,
“Ho-oh mau… mau.. mau..” kata Ilham air liurnya sampai membanjir tak karuan, apalagi melihat baju biru tipis yang membungkus tubuh si perempuan, sehingga memperlihatkan samar pemandangan yang membangkitkan birahi.
“Tapi kau harus memenuhi syaratku.” kata perempuan itu, sambil melenggak lenggok di depan Ilham, yang membuat pemuda itu makin empot-empotan.
“Apa…. apa syaratnya..?” tanya Ilham dadanya sesek, ampek nahan nafsu yang membuncah.
“Syaratnya kau harus membakar pasar kecamatan.” kata perempuan itu dan Ilham terlongong-longong sampai perempuan itu sirna dari hadapannya.
Setelah pulang dari makam keramat, Ilham pun linglung, membakar pasar kecamatan Bangilan? Bagaimana mungkin? Tempat orang-orang menggantungkan nafkah keluarga, bahkan ibunya Ilham berjualan pakaian di pasar itu. Tapi ketika terdengar bisikan merdu merayu, dan tercium harum memabukkan, tanpa sadar Ilham pun memacu motornya ke pasar yang berjarak dua kiloan dari rumahnya dengan membawa jurigen bensin, tapi begitu sampai di pasar, kesadaran dan nuraninya menolak, maka dia pun linglung, menggelosor begitu saja di tengah pasar, dan kalau sudah begitu orang-orang di pasar pun ramai, yang susah juga ibunya Ilham harus membawanya pulang dengan becak. Dan hal itu terjadi berulang-ulang, orang pasar pun menganggap Ilham gila, karena terjadi terus menerus. Ilham pun dikunci dalam kamar, kalau bisikan datang dia menggedor-gedor pintu, ingin membakar pasar, tapi kalau kesadarannya muncul maka Ilham cuma merenung bengong,
Telah bermacam dukun dan paranormal didatangkan untuk mengobati, tapi malah ada yang dibanting dan ada juga yang sampai digotong pingsan, itulah yang ku lihat dalam mimpiku.
“Bagaimana kabarnya?” tanyaku setelah duduk di kursi kayu rumah Mashur.
“Ah ndak baik mas.” katanya, dengan pandangan cowong matanya menjorok ke dalam, dan ada kantung mata di sekitar mata Ilham, menunjukkan dia tak pernah nyenyak tidur.
“Hehe…. Kamu kan yang membakar warung minuman keras?” tanyaku sambil tertawa.
“Iya mas.., tentu mas sudah tau keadaanku.” kata Ilham menunduk.
“Kata siapa aku sudah tau keadaanmu? Tapi udahlah yang penting 3 jin dalam tubuhmu musti dihilangkan.”
“Saya pasrah saja, apa yang terbaik menurut mas Ian.” katanya mengiba.
“Tapi aku ingin tau dulu, kenapa kok kamu bisa tau aku akan singgah di mushola sini?”
“Ceritanya begini mas, saat aku dikunci terus dalam kamar oleh orang tuaku, waktu antara sadar dan tidak, maksudku tidur dan terjaga, aku didatangi orang tua, yang mengaku kakek buyutku.” katanya bercerita, dia menarik nafas dalam. Biar ceritanya tambah lama.
“Kakek itu berpesan, tunggu pemuda di mushola Annur daerah Pacul, minta tolong untuk membantu masalahmu, apa yang dia katakan turuti saja. Begitu pesan kakek itu, yang mengaku sebagai kakek buyutku,” kata Ilham mengakhiri ceritanya,
“Lalu bagaimana kamu tau pemuda yang kau tunggu itu aku?” tanyaku.
“Kakek itu juga menyebutkan ciri mas lengkap, dan saya cerita sama mas Mashur juga, jadi ketika mas muncul di mushola, baru saya yakin mimpi saya bukan mimpi bohong.”
“Begitu rupanya,” kataku, padahal pakaianku uapek banget, juga bauku kulit yang terbakar matahari.
“Terus sekarang bagaimana mas..?” tanya Mashur yang dari tadi diam menyimak.
“Ya jinnya harus dikeluarkan,” kataku menjawab.
“Wah apa perlu kembang setaman, dan menyan mas? Kalau iya, biar saya yang ke pasar, apa aja syaratnya mas?” tanya Mashur.
“Ya tak perlu syarat apa-apa.” kataku. “Cuma perlu persetujuan Ilham aja.”
“Persetujuan apa lagi mas?” tanya Ilham setengah bengong.
“Ya kamu benar-benar sudah ikhlas, jin yang ada dalam tubuhmu ku cabut?” tanyaku menunggu jawaban mantep dari raut wajahnya.
“Kan sudah saya bilang, saya pasrah pada mas Ian, apa yang terbaik, jadi saya rela serela-relanya.” katanya mantep.
“Walau semua ilmumu hilang?” tanyaku.
Ilham sebentar merenung, tapi kemudian berucap, “Sudah saya siap, walau tak punya ilmu, tak apa-apa, yang penting saya bisa hidup wajar seperti orang lain.
“Baiklah. Sekarang duduk membelakangiku.” kataku, sementara aku berpikir, ah aku ini belum pernah mencabut ilmu seseorang, juga jin yang menyatu karena seseorang mengamalkan ilmu, apakah aku bisa dan mampu?
Ku ingat Kyai waktu mencabut ilmu seseorang, cuma seperti mengambil buah dari punggung orang itu, digenggam lalu dibuang, kalau aku, ah tentu belum bisa setarapan itu, lalu bagaimana? Pikiranku mencari jalan keluar, tapi tanganku perlahan menempel ke punggung Ilham, wirid ku baca tiga kali-tiga kali, aliran hawa panas dan dingin segera menggebu dalam pusarku naik mengalir ke tanganku. Tiba-tiba, tanganku seperti tersedot kekuatan kasat mata di punggung Ilham, karuan tanganku menempel pada punggung Ilham, ku pejam mata, kurasakan tenang dari tubuhku menggulung-gulung masuk tubuh Ilham, aku segera membaca doa khijab dan minta pada Alloh, supaya mukzijatnya Nabi dan karomahnya para wali masuk ke tubuhku, ku rasakan udara dingin, mendekat sejuk mengalir ke setiap pori tubuhku, tangan ku renggangkan ku sedot apa yang ada di dalam tubuh Ilham ku genggam dalam satu tangan, dan tangan kiriku membuat gerakan mengikat, lalu ku lempar jauh-jauh, sementara Ilham menggelosor di kursi, entah pingsan, entah tidur, tapi wajahnya menyiratkan kedamaian.
Ku ambil teh yang terhidang di meja, untuk membasahi tenggorokanku yang lumayan kering, lalu ku nyalakan rokok Djarum yang disuguhkan di meja.
“Bagaimana kang?” tanya Mashur.
“Syukur mas, udah beres, udah biarkan dia tidur.” kataku sambil mengusap keringat yang mengalir di jidat.
“Wah mau minta doanya mas, biar pondok saya ramai.” kata Mashur, ketika kami berdua duduk di emperan mushola, meninggalkan Ilham yang tengah tidur di kursi.
“Ah kita ini sama kang Hur, kang Hur diberi tangan dan kaki dua, saya juga, jadi pada kenyataannya kita ini sama,” kataku,
“Kenapa kang Hur tidak berdoa sendiri, minta pada Sang Kholik agar apa yang kang Hur harap bisa terwujud.”
“Kalau begitu, saya mbok dikasih amalan, biar santri saya tambah banyak.” kata Mashur sambil menyedot dalam-dalam rokok mlinjo.
Aku pun minta pena dan kertas, dan menulis amalan untuk mendapatkan santri banyak.
“Aku sebenarnya nyari tempat untuk nyepi, mengheningkan diri, apa di sini ada?” kataku setelah menyerahkan catatan amalan.
Kulihat Mashur menerawang, lama tak menjawab pertanyaanku.
“Mas Ian mau, ada tempat di pasar Pacul, tempatku yang tak terpakai,” katanya kemudian.
“Yah kita lihat aja dulu…” jelasku.
Dengan naik motor GL aku diantar Mashur ke pasar Pacul, yang telah terlantar tak terurus, dan menunjukkan toko yang telah jebol dinding papannya, yah cukuplah untuk tempatku menyepi, maka malam itu aku mulai membersihkan bekas toko itu, dan ditinggal sendirian di pasar. Ku ambil air di sumur pompa belakang pasar, sedang waktu magrib telah tiba, ku ambil air wudhu dan menjalankan sholat di dalam toko, tapi waktu aku selesai wudhu, seorang jin menghadangku, perawakannya hitam, pakaian sobek-sobek, dan tubuh hitam legam, seperti mandi oli,
“Ada apa kau menghadangku?” tanyaku, sambil mengusap air wudhu yang mengalir di jenggot kecilku.
Wajah tirusnya mengguratkan rasa takut, bibir merahnya dan taring yang mencuat, meneteskan air liur, yang membuatku tak bisa untuk tak meludah, dia mundur, “Ada apa?” tanyaku lagi.
Terdengar suaranya mendengung, seperti suara lebah, tapi dengan nada berat, aku pun membuka batin.
“Aku mewakili, para penghuni pasar ini, kami minta tuan tidak bertempat di pasar ini….” katanya.
“Memangnya kenapa?”
“Kami merasa panas.”
“Kalau aku tetap bertempat di sini bagaimana?”
“Sungguh kami sangat memohon tuan….” katanya dan perlahan menghilang. Aku pun melangkah ke dalam dan melakukan sholat magrib, setelah wirid, aku pun beranjak, keluar, ah mungkin aku tak usah mengganggu keberadaan para jin, aku pun memutuskan pergi, menelusuri jalan sampai ke setasiun kereta api. Setelah sholat isyak di musola setasiun, aku selonjorkan tubuh di kursi setasiun.
Seminggu telah berlalu, aku hidup di stasiun Bojonegoro, tak pernah mandi, tidur seadanya, kadang menggelosor di lantai setasiun aja, jadi tubuh dan lengan panjang, celana jean belel sudah tak karuan warnanya, karena tertempel debu dan oli kereta, juga rambut panjangku lengket dan gimbal, hingga tak jarang orang menyebutku gila.
Aku tak perduli, terlalu terlena dengan robul izati, tenggelam dalam wirid-wiridku, tenggelam teramat dalam, bahkan aku pun tak memikirkan makan, karena memang tak ada sejumputpun rupiah di saku, aku kadang makan sepotong nasi yang jatuh ke tanah,
Kadang juga cuma minum air wudhu, walau seminggu tubuhku telah teramat kurus.
Hari itu hari minggu, setasiun teramat ramai, aku menggelosor aja di lantai, tenggelam dalam wiridku, tiba-tiba tangan halus menepukku dari belakang, “Iyan…? Iyan khan?”
Ku buka mataku yang terpejam, dan menengok ke belakang, seraut wajah gadis cantik nan anggun dengan balutan jilbab coklat tua, membungkuk di belakangku, “Ya Alloh, Ian, kenapa sampai jadi gini….” kata gadis bernama Eka Damayanti, dia langsung memelukku dari belakang.
Eka Damayanti, nama gadis itu, ku kenal waktu aku kelas 2 SMA dan masih aktif menulis di majalah remaja, pertama perkenalanku, dia waktu itu mencari rumahku, dan dia salah satu dari penggemar karya tulisku, aku pulang sekolah ketika Eka berdiri di pinggir jalan menuju lorong rumahku, dia menghentikanku, “Mas… Mas… berhenti…” tegurnya. Aku baru turun dari Angkot.
Aku pun berhenti, dan menunggunya datang menghampiri, saat itu Eka masih belum memakai jilbab, rambutnya diikat dengan pita merah, dan wajahnya anggun, menyiratkan kedewasaan.
“Ada apa mbak?” tanyaku.
“Maaf ngeganggu sebentar, mau tanya nih mas…?” katanya dengan nada datar tapi merdu dan terdengar centil di telingaku.
“Tau alamat ini gak mas?” tanyanya, sambil menyodorkan secarik kertas bertuliskan alamat. Di situ tertulis, Febrian, kulon pon pes Al-alawi Sendang,
“Wah itu aku mbak.” kataku setelah membaca sebaris alamat di kertas yang ditunjukkan padaku.
“Ih yang bener?” katanya tersenyum ceria, dan ada binar bintang di matanya.
“Ya benerlah, masak bohong, tau dari mana tentang alamatku? Perasaan aku tak punya kerabat kayak embak.” kataku menyelidik.
“Aku ini bukan kerabatmu, tapi penggemarmu, kamu penulis khan? Nah aku ini salah satu penggemar beratmu.” katanya menjelaskan dengan mimik yang lucu, kayak guru TK menerangkan pada muridnya.
“Wah jadi malu nih, aku cuma penulis kacangan, karyaku juga cuma ngawur aja, gak bermutu.” kataku salah tingkah.
“Tapi aku benar-benar kagum, sungguh, kamu calon penulis besar.” katanya memuji.
“Wah ini mau ke rumah atau ngobrol di sini aja.” kataku, karena kami dari tadi cuma berdiri di pinggir jalan.
“Eh iya, kayaknya aku juga belum kenal namamu?” kataku setengah bertanya, saat kami berdua menyusuri tanggul paping blok jalan di depan rumah,
“Eka Damayanti….” katanya, sembari menyodorkan tangan mungilnya. Aku pun menjabat erat, penuh persahabatan.
“Febrian, dah tau namaku khan?” candaku.
Dan tak terlalu lama kami pun nyampai depan rumahku. Itulah perkenalanku dengan Eka, dan sejak saat itu kami menjadi akrab, karena Eka hampir tiap minggu main ke rumahku, rumah dia di daerah Rengel, jadi masih satu kabupaten denganku.
Setahun telah berlalu, dan aku telah kelas tiga SMA, dan Eka menjadi salah satu sahabat, yang mengagumiku, dia selalu mensuportku untuk menghasilkan karya-karya tulisku.
Aku teramat terbuka dengan Eka, sampai soal pacar-pacarku Eka juga tau, suatu hari aku dan Eka jalan-jalan ke Tanjung Kodok, “Yan…” kata Eka, ketika kami duduk di bawah tenda dan menikmati es kelapa muda, sambil merasakan semilir udara pantai yang membawa bau air laut yang khas,
“Ada apa?” tanyaku sembari mengeluarkan rokok Djarum merah.
“Umpama kita jadian gimana?” katanya dengan tatapan kepadaku, serius.
“Maksudmu mahluk jadi-jadian?” kataku mencandainya, memang aku paling suka kalau dia mbesengut.
“Ah kamu, aku ini serius.!!” benar juga dia mbesengut, dan dari situ terlihat jelas kecantikannya yang khas.
“Iya… iya, aku ngerti kamu serius.” kataku buru-buru mencegah kemarahannya.
“Trus gimana? Kamu setuju enggak?” tanyanya.
“Kamu tau sendiri lah Ka…, aku kan ceweknya banyak, aku tak tega kalau kamu jadi kemakan hati.”
“Kenapa semua cewekmu tak kamu putusin aja.!?”
“Wah, aku juga tak setega itu untuk memutusin mereka.” memang waktu itu cewekku ada 18 an, ah bisa dibilang raja pelet,
“Wah kamu ini tak tega atau kemaruk, tamak, aku heran juga kenapa mereka, cewek-cewek itu mau-maunya kamu renteng-renteng kayak tasbih.”
“Itu kan urusan mereka Ka,”
“Aku jadi heran Yan…”
“Heran kenapa?”
“Ya, apa mereka semua akan kamu jadikan istri semua…,?”
“Wah la ya enggak lah, mana mampu aku melayani mereka semua, bisa habis darah dihisap dan aku tinggal tulang.”
“Emangnya cewek lintah? Ngaco kamu.”
“Ya mending ngomong ngaco, daripada diam kayak batu, bisa-bisa dianggap arca, trus digotong orang ditaruh di Klenteng, ckakakak…”
“Ah jangan ngomong ngaco ah, trus kalau semua tak kamu jadikan istri kan pasti yang tak jadi istrimu akan sakit hati?”
“Kan aku terbuka, mereka mau jadi cewekku, kan udah aku ceritain semua tentang aku, lagian aku udah ngenalin antara satu dengan yang lain.”
“Bener-bener tak habis pikir aku Yan.., wah jangan-jangan kamu pakai ilmu pelet? Wah jangan-jangan juga aku kamu pelet?”
“Pelet semar ngakak? Ya kamu ngerasa dipelet enggak?”
“Bener aku ingat kamu terus.” katanya serius.
“Kalau malam ingat sampai kebawa mimpi?” tanyaku.
“He-eh.” jawabnya manggut.
“Wah kamu dah kena penyakit cinta, ckakakak…” kataku dan Eka pun mencubit lenganku.
Itulah aku dengan Eka selalu terbuka lepas, tapi betapapun Eka sayang padaku, tapi kami tak pernah menjalin asmara, karena aku tak pernah mau memutuskan sepihak pada pacarku, dan hubungan kami sebatas sahabat, sahabat yang saling mengerti, sampai aku bertaubat, dan meninggalkan masa lalu kelam, bayangan Eka pun ikut hilang menjadi masa lalu, masa lalu yang ingin ku hapus dari ingatanku, masa lalu yang hanya ku ingat ketika aku menangis pada satu kekasih yaitu Alloh. Menghaturkan hina dan dosaku yang minta diampuni,
“Yan…! Kenapa kamu menjadi begini…” suara Eka memelukku dari belakang, tak perduli pakaianku yang kotor, tak perduli pandangan aneh semua orang yang ada di setasiun. Aku ingin menjelaskan pada Eka, aku bukanlah Ian yang dikenalnya dulu, tapi aku ragu apa ia akan mengerti.
“Ka… Kamu tak malu dilihat semua orang?”
“Aku tak rela kamu begini Yan…” katanya, tangannya mencengkeram pergelangan tanganku, dan mengajakku berdiri, air matanya meleleh membasahi jilbab coklat mudanya. Dulu Eka bukan gadis yang suka memakai jilbab. Sampai pada pertemuan yang terakhir kami, aku mengantarnya mendaftar di perguruan tinggi. Kami dalam satu bus menuju Surabaya.
“Yan…! Andai kau menghayal punya istri, kamu mengharap punya istri yang bagaimana?” tanyanya dengan tatapan serius ke wajahku.
“Aku?” aku menerawang, “Aku membayangkan punya istri yang sholikhah…, ya setidaknya yang memakai jilbab,” kataku pasti.
“Berarti aku bukan termasuk kategori yang kau harapkan ya?” tanyanya seperti pertanyaan adikku minta permen.
“Ah sudahlah Ka, jodoh kan di tangan yang kuasa, andai kamu jodohku, aku juga tak kan menolak.” kataku tandas.
Tapi sampai di Surabaya, Eka mengajakku ke Butik busana muslim dan dia memborong jilbab.
“Wah untuk apa Ka, jilbab sebanyak ini?” tanyaku heran.
“Untuk persediaan aja Yan, siapa tau, aku jadi jodohmu, hehe…” katanya sambil tersenyum manis, karena salah satu jilbab langsung dia kenakan.
“Hm… Kamu makin cantik aja Ka, kalau makai jilbab.” pujiku tulus.
“Ah yang bener…” katanya dengan pipi bersemu merah.
Dan sekarang, hatiku teriris, Eka menangis di depanku, karena menangisi keadaanku.
“Ya Alloh, ampunkan aku, kenapa kau jadikan hatiku selalu runtuh oleh tangis wanita… Kenapa tak kau uji aku dengan yang lain saja.” keluh hatiku, dan aku seperti kerbau yang dicocok hidungnya, mengikuti saja, kemana Eka menarik tanganku.
Aku diseretnya masuk depot makan, lalu dia memesan nasi dan sepotong ayam panggang, juga dua gelas es jeruk. “Nih makan… Pasti kamu beberapa hari tak makan….” katanya menyodorkan ke depanku, seperti seorang ibu menyodorkan nasi pada anaknya,
Ku pandangi nasi di depanku, betapa nikmatnya ayam bakar, sambel kecap, air liur begitu saja terkuras dari sela-sela gigi membasahi tenggorokan yang tak sabar ingin menikmati kelezatan.
Tapi aku terpaku, hatiku seperti terbang entah ke mana, ke dunia yang penuh asma Alloh.
“Heh makan..!” kata Eka suaranya seakan jauh, walau tepukannya di pundakku.
“Apa kamu sudah lupa cara makan, nih biar ku suapi…” kata Eka yang segera mengambil piring di depanku, dan mulai menyuapiku, pandangan mataku kosong, aku telah berjalan jauh, jauh, dan teramat jauh, sampai di kedalaman dunia, dunia yang hanya kedamaian, danau menghijau, suara airnya melantunkan ayat-ayat suci, pohon-pohon menghijau, tertiup angin singkronisasi, mengalunkan dzikir dengan suara berirama, embun yang setiap waktu turun dan seakan enggan sampai ke tanah, karena terlena oleh puja puji pada sang khaliq.
Matahari yang bersinar lembut, dengan kehangatan yang seakan diukur oleh dokter paling ahli, sehingga seperti selimut yang membuatku teramat mengantuk dan terlena, dan aku tak sadar lagi.
“Yan…!” suara itu mengagetkanku, suara Eka yang menangis dan memelukku, air matanya membasahi pipi dan bajuku. Aku kaget, segera melepas pelukannya. Ku lihat piring di depanku telah ludes, juga wedang jeruk telah tinggal gelasnya saja.
“Yan., sadar Yan…!” Eka menepuk-nepuk pipiku.
“Aku sadar…” kataku.
“Udahlah Ka… mending kamu tinggalin aku…” kataku.
“Tak bisa, kalau perlu aku akan ikut denganmu…” katanya tegang.
“Kamu ini aneh-aneh aja, ya tak bisalah, kamu lihat sendiri keadaanku, bagaimana kamu mau ikut denganku?”
“Kamu mau lari dari kenyataan Yan? Kamu tak menerima keadaanmu, hingga mau pura-pura gila?” tanya Eka mencari kesepakatan.
“Siapa yang lari dari kenyataan? Bahkan aku sangat menerima kenyataan, sudahlah Ka, jangan ngajak berdebat, untuk saat ini biarlah aku sendiri.” kataku memelas,
“Tapi Yan, aku tak rela kamu begini….” Eka menangis lagi, tanganku diraihnya dan ditempel ke pipinya, ada air mata mengaliri punggung tanganku.
“Kadang sesuatu, harus direlakan, aku juga bukan mau mati, kenapa musti kau tangisi.”
Eka melepas tanganku, dan mencopot gelang, cincin, kalung yang dipakainya dan menggenggamkannya ke tanganku.
“Ini buatlah bekal, jangan lupakan aku.” katanya dan beranjak pergi.
Sekejap aku bengong, tapi segera mengejar ke arah mana Eka pergi, ku lihat dia berdiri di tepi jalan, mencegat bus jurusan Tuban.
“Ka ini apa-apaan,” kataku mengangsurkan segenggam emas ke tangannya.
“Udah pakai untuk bekalmu.” katanya menampik tanganku.
“Gak bisa Ka, kamu mau aku ditangkap Polisi, dengan tuduhan merampokmu?”
“Siapa? Polisi mana yang mau menangkap, kan itu ku berikan ikhlas padamu.”
“Ka… tak bisa Ka…,” ku angsurkan lagi emas ke tangannya tapi dia tolak.
“Maumu apa sih Yan? Aku ikut denganmu tak boleh, aku tak tega kau begini, aku tak bawa uang, biar perhiasanku untuk kau jadikan bekal…, tolong Yan… Jangan kau biarkan aku menangis tiap malam karena mengkawatirkanmu…” Eka menangis lagi.
“Mengapa tak juga kau mengerti, betapa aku menyayangimu, dan teramat menyayangimu…” katanya sambil berjongkok dan menangis sampai tubuhnya terguncang.
“Baik Ka, sekarang apa yang kau mau? Tapi jangan kau suruh aku membawa perhiasanmu…” kataku ikut berjongkok.
Dia membuka tapak tangannya yang ditutupkan ke wajahnya.
“Sekarang ikut pulang ke rumahku.” katanya sambil mengusap air mata yang membasahi pipi.
“Baik, ini terima perhiasanmu dan simpan.” kataku mengangsurkan perhiasan ke tangannya, pas ada bus jurusan Tuban berhenti, dan kami pun segera naik.
Sampai di rumah Eka, aku pun turun dari bus, masih digandeng Eka, dengan tatapan aneh para penumpang bus, sampai di dalam rumah, aku langsung digeret ke sumur, ah biarlah, Eka juga tak akan membunuhku, tatapan bu Asih, dan pak Junaidi, yang ada di kamar tamu, tak digubris, kedua orang itu cuma sempat ngomong, “Lho Ka, kok sama mas Ian….” tapi kata mereka tak dijawab, juga tak sempat aku jawab, aku telah digeret ke sumur, dan air satu timba diguyurkan padaku,
“Udah Ka, aku bisa mandi sendiri,” kataku repot, gelagapan.
“Udah biar aku yang mandiin….” katanya sambil mengambil sampo dan mencuci rambut panjangku yang gimbal.
“Udah Ka… Biar aku mandi sendiri…! Udah ambilin handuk aja.” kataku, ketika Eka mau mencopot kaos lengan panjangku.
Eka tanpa berkata, pergi meninggalkanku, aku telah selesai mandi ketika Eka datang membawa handuk dan pakaian ganti, dan tanpa babibu, dia langsung mengelap rambut dan tubuhku.
“Udah aku ke kamar mandi dulu, mau ganti baju.” kataku mengambil baju ganti dari tangan.
“Ku tunggu di kamar tamu ya, tuh ayah nanyain…” kata Eka dari luar kamar mandi.
“Heeh, udah nanti aku ke sana.” jawabku.
Setelah ganti baju, aku segera ke ruang tamu, pak Junaidi, pegawai pemda, orangnya ramah dan suka bercanda, bu Asih ibunya Eka, seorang guru SMP, mereka berdua pun menyambutku dengan ramah, aku bersalaman dan duduk di kursi.
“Ketemu di mana, dengan Eka dik Iyan?” tanya bu Asih.
“Wah tadi ku temukan di setasiun, lagi jadi gelandangan,” kata Eka, yang baru keluar dari dalam dan membawa sisir, lalu begitu saja menyisir rambutku, ku tolak tapi tetep aja Eka menyisir sambil berdiri di kursi yang ku duduki.
“Udah makan nak Ian? Mbok sana Ka disiapkan makan…” kata pak Junaidi.
“Em… Ku buatkan pecel lele kesukaanmu ya?” tawar Eka masih menyisir rambutku.
“Udah Ka, jangan repot-repot.” jengahku.
“Iya Ka… sana beli lele…” kata bu Asih.
“Dan Eka segera beranjak….”
Tinggal aku dan pak Junaidi, sementara bu Asih masuk.
Sebentar kami terdiam, sampai pak Junaidi membuka pembicaraan.
“Nak Ian, gimana khabar orang tuanya, baik?” tanya pak Junaidi.
“Alhamdulillah baik pak.”
“Ini sebenarnya saya mau tanya ke nak Ian, jangan tersinggung lo ya?” kata pak Junaidi dengan nada hati-hati.
“Tanya aja pak, tak usah rikuh.” kataku tak enak dengan nada kehati-hatian pak Junaidi.
“Begini nak Ian, apakah sebenarnya hubungan nak Ian dengan Eka?” tanya pak Junaidi, sebentar terdiam, “Sekedar teman, atau…. pacaran… Maksudku kekasih.”
“Ya selama ini kami cuma berteman akrab kok pak, tak lebih, juga bukan sepasang kekasih.” jawabku tenang.
“Tapi Eka itu sayang banget sama nak Ian, yang diceritakan tiap hari ke ibunya, hanya nak Ian aja….” tambah pak Junaidi.
“Saya juga sayang sama Eka kok pak, tapi sayang antara sahabat, tak terkotori nafsu birahi, saya menghargai dan menghormati Eka, jika ada yang mengganggu Eka, saya akan membelanya dengan sekuat saya.” kataku masih tanpa emosi.
“Ya kalau begitu bapak mengerti… Silahkan diminum tehnya nak, bapak tinggal dulu…” kata pak Junaidi meninggalkanku.
Sebentar kemudian Eka telah datang membawa ikan lele segar, dan langsung memasaknya jadi pecel lele, kami makan bareng.
Sore itu aku pamitan, Eka dan ayah ibunya memintaku tinggal lebih lama, tapi aku memaksa pergi,
Eka mengantarku sampai jalan raya, dan sampai aku mau naik bus, dia memasukkan amplop ke sakuku.
“Ini untuk bayar bus..” katanya melepasku.
Aku segera naik bus, ketika kondektur minta ongkos bus, aku ingat uang yang dimasukkan Eka ke dalam sakuku, ku ambil satu dan tanpa melihat ku serahkan pada kondektur.
“Wah mas, apa tak ada yang kecil?” katanya.
Aku kaget ternyata yang ku serahkan uang seratusan ribu.
Aku terima uang dari kondektur itu, lalu kembali merogoh ke dalam amplop, tapi tiap ku keluarkan ternyata semua seratusan ribu, wah jadi Eka memberikan uang padaku 1 juta,
“Tak ada yang kecil mas, cuma ini.,” kataku menyerahkan uang seratusan.
Di Bojonegoro kembali aku turun di stasiun kereta api.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sang Kyai
RomancePagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian diham...