Sang Kyai 19
“Tadi aku melihat, tapi sekarang aku tak melihat,” jawab Ikrom.
“Ya udah, ntar bilangin ya kalau aku nyari dia.”
“Kenapa ndak bilang sendiri aja.” jelas Ikrom.
“Iya deh…” kata Lina sambil berlalu.
“Sst… sst..! orangnya dah pergi..” kata Ikrom setelah Lina berlalu.
Pas kebetulan Edy pun datang membawa celana, dan akupun lekas memakainya, lalu cepat-cepat kembali ke tempat kerja.
Ternyata Lina sudah nunggu di tempat kerjaku toko sepatu bata.
“Kemana aja? ku cari-cari kemana-mana ndak ketemu.” sapanya dengan nada manja.
Aaah perempuan, bener-bener bisa membuat hati bercabang-cabang, herannya juga kenapa selalu lelaki normal suka sama perempuan, dan aku termasuk lelaki normal, tapi di dasar hatiku yang tengah bergulat selalu ada perang batin, perang antara menyenangkan nafsu, dan berusaha tak dikendalikan nafsu, dan terus terang kelemahan terbesarku adalah tak bisa tidak suka pada perempuan, karena aku lelaki, dan perempuan lawan jenisku, jika aku dicoba keimanan, maka aku akan memilih jangan dicoba dengan perempuan, sebab kebanyakan aku pasti yang kalah, tak bisa menolak cinta mereka, tak bisa menyakiti mereka.
Benar kalau Nabi sendiri menekankan, seakan ada unsur ancaman di dalamnya: MENIKAHLAH, MENIKAH ADALAH SUNNAHKU, SIAPA YANG TIDAK MENIKAH BUKAN TERMASUK GOLONGANKU.
Aku merasakan seakan Nabi mencintai Ummatnya dalam penekanan itu, agar umatnya tidak tergoda dengan lawan jenisnya, sebab beratnya godaan itu, sehingga Nabi menekankan ancaman yang tidak menikah bukan golongannya.
“Ada apa mbak nyari aku? Mau ngajak nikah ya..” aku mengucapkan dengan kata enteng.
“Eh kamu ngigau ya…?” kata Lina dan matanya menatapku dengan jeli, dan bening matanya seperti kilatan-kilatan listrik yang menggetarkan nadiku.
“Kenapa memandang aku seperti itu? Apa di wajahku telah tumbuh bunga?” kataku asal.
“Hm… kamu cakep.” katanya seperti dengan ketidaksadaran, karena pandangan matanya tak lepas dari wajahku seperti mata pisau yang mau mengoperasi kulit wajahku lalu menguraikan dagingku untuk mencari di dalam ada apanya.
“Kamu serius?” katanya kemudian dengan juga seperti seorang penantang, dadanya dibusungkan.
“Serius apa?” tanyaku, kubuat bloon, sebab aku sendiri tak berani menerima kenyataan, misal sampai terjadi menikah sama Lina.
“Ya soal nikah.” jawabnya setengah menggantung.
“Aku kan cuma nanya, Mbak Lina nyari aku, ada apa?” jawabku sambil membetulkan sepatu di jejeran rak pemajangan.
“Udah sini lihat aku.” katanya menarik tanganku.
“Maas…! Mas Ian..! ” panggilnya memaksaku mengalihkan perhatian dari deretan sepatu.
“Iya ada apa? Kita kan bisa omong sambil menata sepatu, soalnya ini tanggung jawabku, kerja di sini,” jelasku.
“Pindah aja kerja di tempaku, bagaimana?” katanya lembut.
Wah setan itu kalau kita mau berbuat dosa, nyatanya peluang ke sana dibuat semulus mungkin, ya mungkin saja jika di depan ada pohon perdu, setan akan berusaha menebanginya, kalau jalan dosa itu belum teraspal, setan akan berusaha mengaspalnya.
“Gak ah, ntar malah terjadi yang enggak-enggak.” kataku membuat batasan.
Aku bukan orang suci, dan hatiku amat pekat dilapisi nafsu, pandanganku saja jika melihat perempuan masih selalu terfokus pada kesempurnaan bentuk tubuhnya, jelas aku orang yang masih mudah sekali tergoda, jika aku tak membuat kendali sendiri, apa aku harus menunggu orang lain membuat kendali di leherku?
“Mas…!”
“Iya… ada apa? Bicara aja.” jawabku sambil tetap menata sepatu, anehnya dia malah memiringkan sepatu yang tatanannya udah ku benarkan, dia buat miring sehingga kami berdua muter-muter di situ-situ saja, padahal toko sepatu bata ini luas sekali.
“Terus terang, aku sayang, cinta, tak bisa melupakan mas…, siang malam selalu ku ingat, sehari tak bertemu, serasa kangeeen minta ampun, aku tak tau, tak sebelumnya aku dengan cowok lain seperti ini, aku merasa mas inilah yang terbaik untuk hidup dan masa depanku, yang pantas menjadi imamku, yang pantas membimbingku.” Lina mengutarakan semua unek-unek di hatinya, dan jongkok di depanku, karena aku juga sedang jongkok menata sepatu yang di bawah.
Aku menatap wajahnya, dan kulihat matanya menatapku dengan penuh cinta menggelora, tatapan yang seakan ada ribuan bintang di setiap inci matanya, dan aku amat tahu, jika aku menatap lama-lama, pasti akan membuatku hanyut oleh keindahan, wajah yang dibalur aura cinta memang adalah lain daripada yang lain.
Tapi aku menatapnya, malah ingin aku bisa tidak, sanggup tidak melawan tarikan kumparan magned gaib yang disebut kasih sayang.
Dadaku berdentuman, ada rasa sesak, ketika tarikan itu mencoba menarik dan meremas-remas jantungku, aku berusaha bertahan dalam logika totalitas kesadaran, dan perlahan gelombang magnet yang ada di wajah Lina terlihat biasa di mataku. Ku lihat masih ada getaran kecil di bibirnya karena luapan perasaannya.
“Kau kan belum tau siapa aku, terlalu jauh penilaian yang kau berikan, aku tak mau kau akan menyesal nanti, sebaiknya pikirkan dengan pikiran jernih.” kataku meredakan gejolaknya.
Orang yang mudah terseret pada satu keadaan, maka sulit bila menjadi pengayom dan pelindung orang lain, dan aku harus berlatih mengendalikan perasaanku sendiri.
“Mbak Lina ini kan belum tau secara keseluruhan, jadi dipikirkan dulu, sebab banyak sifat burukku, nanti jangan sampai penyesalan akan terjadi, dan itu sudah terlambat.” jelasku.
“Ya kita kan bisa pacaran dulu.” jelasnya juga tak mau kalah.
“Hm pacaran? Walau aku sendiri suka pacaran, tapi aku sekarang jika menyukai perempuan, maka akan ku nikahi saja, tak pakai pacaran.”
“Nah tu kan.!”
“Tuh kan kenapa?” tanyaku.
“Ya kelihatan, mas bukan lelaki yang jelek budinya.”
“Haha… bilang begitu, kamu anggap sudah baik budinya, wah dangkal dong nilai suatu budi pekerti yang baik, semua lelaki juga bisa mengucapkan seperti yang aku ucapkan, suatu budi pekerti yang baik itu perlu menjalani perjalanan panjang, untuk tau jelek atau baik budi pekerti seseorang, seseorang yang budi selalu memberimu barang berharga saja belum tentu dia budi pekertinya baik, sebab bisa saja dia ada maksud di balik pemberian-pemberiannya, orang yang selalu menemanimu, kesana kesini, membantumu, selalu kelihatan di depanmu murah senyum, bisa jadi di belakang dia menikammu, jadi budi pekerti seseorang itu tidak bisa di tentukan dengan sekali dua kali pertemuan, seseorang itu bisa di ketahui baik atau tidaknya, jika kau telah mengumpulinya dalam bersama mengecap keprihatinan, dan bersama memetik kebahagiaan, bisa saja seseorang itu jika dalam keprihatinan bisa seiya sekata, tapi jika ada emas di tanganmu, maka dia tak segan-segan menghunjamkan belati di jantungmu, jika kau maju, bisa saja dia iri dan berusaha menjatuhkanmu, aku jadinya kok banyak omong ya..!” kataku.
“Gak, aku suka, setahun sekalipun jika mas Ian bicara di depanku, aku akan rela duduk selalu mendengarkan.”
“Ah kau ngaco aja…, udah ah, tuh pemilik sepatu bata liatin kita, kamu balik ke butikmu sana gi…” kataku,
“Ntar istirahat siang, ke tempatku ya mas…, aku dah sediain makan siang spesial.”
“Iya entar aku kesana, sama Edy, juga Ikrom ya..?” tanyaku.
“Nggak mas sendiri.”
“Iya…, ntar habis sholat dzuhur aku kesana.” biasanya setiap siang ada istirahat 1 jam, dan penjaga toko bergiliran.
Rasanya dunia seperti ini benar-benar bukan duniaku, kalau aku tidak segera pergi meninggalkannya, sepertinya aku akan terseret pada pusarannya, aku harus mengambil keputusan final.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sang Kyai
RomancePagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian diham...