part 12

268 10 0
                                    

Sang Kyai 13
“Kok diam aja?” kataku membuka pembicaraan, kalau saling menunggu, lama-lama bibir bisa kesemutan,
“Kamu juga diam.” katanya membalas. Wah kayak saling lempar kesalahan.
“Kamu tau, kenapa oleh ayah ibumu kita dipertemukan kayak gini?” tanyaku lagi.
“Ya tau, kan udah dikasih tau ama ayah ibu.” jawabnya.
“Berarti kamu setuju, dengan perjodohan ini?” wah kenapa aku yang jadi Polisinya.
“Aku ngikut ayah ibu aja,”
“Wah apakah itu tak membabi buta? Kamu kan baru kenal aku, lagian pasti kamu ndak cinta padaku, apa nanti tak nyesal seumur-umur.”
“Pokoknya ayah ibu menilai baik, maka aku akan menilai baik, aku hanya mencoba taat, kan surga ada di telapak kaki ibu, kalau Nabi sudah bilang begitu, kenapa harus ragu?”
“Wah kamu ilmunya lebih mendalam, kalau aku bodoh banget, kamu sekolahnya lebih tinggi… dan…”
“Kamu sebenarnya mau denganku apa enggak?” tiba-tiba ku rasakan dia menyerang balik aku.
“Ndak tau.” jawabku dengan tatapan kosong ke wajahnya yang berkerut alisnya.
“Ndak tau gimana? Aku kurang cantik menurutmu? Kamu ndak cinta, kan cinta bisa tumbuh karena kebiasaan? Apa aku kurang kaya? Ini semua nanti akan jadi milikku, aku cuma anak tunggal.” katanya seakan mengharuskanku untuk mau.
“Kamu cantik, malah terlalu cantik bagiku, hingga membuatku takut, tanganku yang kasar akan melukaimu kalau menyentuhmu, kamu pinter, malah terlalu pinter bagiku, sehingga kalau aku di dekatmu kayak gini perasaan kayak ngikuti perlombaan cerdas cermat. Kaya? Wah itu tak disangsikan, kalau aku menikahimu, kayak memetik buah apel mateng di pohon.”
“Nah tunggu apa lagi…, soal cinta nanti kan bisa dibangun bersama… please bantu aku taat pada ayah ibuku.” bujuknya.
“Biarkan aku berfikir dulu Ul…” kataku,
“Apa? Kau panggil apa aku?” tanyanya.
“Iya kupanggil Ul, namamu Ulfa kan?”
“Ih masak dipanggil Ul, gak ada mesranya sama sekali, kayak dengkul kepentok kursi aja suaranya,” dia manyunkan bibirnya meruncing, kayak pensil habis diraut.
“Ya aku musti panggil apa?” aku jadi keki karena tak biasa bermanis manja ama perempuan.
“Ya panggil Laya kek.”
“Wah kok kesannya kamu sudah tua, kalau pake kek segala.”
“Iiih maksudku Laya aja.” katanya gemes, dan pipinya memerah.
“Wah kalau Laya, kok kayak anak kecil meneriakin layangan putus.”
“Udah deh kamu panggil apa aja… Kamu suka ya kalau aku ngambek.” katanya mbesengut.
“Tapi makin cantik kok.” kataku menggoda, maksudku agar dia makin benci padaku, tapi seketika ku lihat raut wajahnya sumringah.
“Berarti kamu udah mau?” tanyanya.
“Mau apa?” kataku bego.
“Ah masah gak ngerti, kan yang tadi kita omongin.”
“Yang mana? Tentang aku memanggilmu kakek?”
“Iiih, ya udah…! Dia uring-uringan lalu beranjak dari kursi dan berlari ke dalam. Hatiku bersorak, kena kau ku kerjai. Dalam hati aku berbisik dalam doa, ya Alloh maafkan aku, Engkau tau bukan maksudku begitu.
Tak lama pak Fadhol keluar diiringi pak Ibrohim dan istrinya.
“Sudah bicara, dan perkenalannya?” tanya pak Fadhol.
“Jangan diambil hati nak Ian, kalau Laya rewel, maklum anak tunggal, jadi manja.” kata istri pak Ibrohim.
Sebentar kemudian kami pamit pulang. Di jalan sambil membonceng, pak Fadhol bertanya,
“Gimana ngger, cantik kan orangnya?”
“Iya pak, cantik.” kataku.
“Berarti sudah cocok dong?”
“Ndak tau pak.”
“Ndak tau bagaimana?”
“Cocok enggaknya kan tak bisa dinilai sekilas aja pak.”
“Iya bapak ngerti.”
Setelah sholat isyak dan wirid, aku segera tidur, tak mau masalah Ulfa jadi beban pikiranku, bahkan tak mau dia masuk dalam mimpiku, sampai pagi datang, suara adzan membangunkanku, aku segera ambil wudhu dan berangkat ke masjid dengan pak Fadhol. Setelah sholat subuh aku wirid agak lama, hingga pak Fadhol meninggalkanku. Matahari akan muncul, aku baru pulang ke tempat pak Fadhol.
Sampai di depan rumah pak Fadhol ku lihat motor Mio di depan rumah. Ah pasti ada tamu. Aku pun melangkah ke pintu dan betapa terkejut aku, si Ulfa lagi duduk di kursi ditemani istri pak Fadhol.
“Ini pagi-pagi udah main kesini nak Ian, pasti semalam Laya tak bisa tidur.” kata istri pak Fadhol,
“Sana ditemani, ibu tak ke dalam dulu.”
“Kok pagi-pagi udah maen?” tanyaku sambil duduk di kursi kayu, sehingga terdengar kriet karena tergenjet beban tubuhku.
“He-eh, mau ngajak kamu maen.” katanya.
“Main kemana?” tanyaku.
“Ya kemana aja, supaya kita masing-masing saling kenal.”
“Tadi sudah ijin sama ayah ibumu?”
“Sudah.”
“Diijinin?”
“Ya diijinin lah, masak bisa nyampek sini, kalau tak diijinin?”
“Ya siapa tau kamu kabur.”
“Enak aja, emangnya aku perempuan apaan? Aku itu teramat tunduk pada ayah ibuku.”
“Ih promosi…., “
“Ah jangan goda terus ah, mau enggak kamu ku ajak jalan?”
“Kamu tak takut, kalau ku apa-apakan?” tanyaku sambil ku tatap lekat-lekat ekpresi wajahnya, dan dia balas menatapku dengan titik embun di matanya, sehingga memaksaku memalingkan pandang dan berlindung pada Alloh atas godaan syaitan yang terkutuk, tapi juga aku mendesah dalam hati, mengapa begini berat cobaan yang Kau beri duhai kekasih, apakah aku akan berpaling dariMu.
“Kenapa harus takut? Aku tau kamu bukan tipe lelaki seperti itu.”
“Dari mana kamu tau?”
“Dari tatapan matamu padaku.”
“Emang kenapa tatapan mataku?”
“Kamu tak pernah menatapku dengan tatapan birahi.”
“Ah sok ngerti aja kamu, siapa tau di hatiku aku birahi padamu.”
“Ya bagus, kan nantinya kita jadi suami istri.” katanya sumringah.
“Siapa yang mengatakan begitu?” tanyaku.
“Ah tak usah muter-muter ah omongnya, mau enggak ku ajak jalan?”
“Entar dulu aku tak ijin ibu.”
Aku segera berjalan ke dalam dan ijin untuk pergi. Kami pun berboncengan di motor, aku risih juga ketika Ulfa menempelkan tubuhnya lekat di tubuhku, dan kedua tangannya melingkar di pinggangku, seperti memakai sabuk ular aja rasanya.
Sebenarnya pikiranku menerawang jauh, mengingat satu-satu tentang mimpi semalam, padahal aku tak melepas sukma, kurasa mimpiku itu nyata, tentang Ulfa dengan seorang pemuda bernama Imron. Ketika sampai di jalan sepi, jauh dari perumahan, nampak sebuah warung, kubelokkan motor ke warung dan berhenti di depan.
“Mau sarapan?” tanya Ulfa,
“He-eh.” jawabku dan segera turun dari motor melangkah ke dalam warung, kulihat perempuan setengah baya tengah menaruh gelas piring, aku segera memesan teh hangat, juga untuk Ulfa. Ku comot gorengan, sembari menunggu teh datang, perempuan pelayan warung itupun membawakan teh hangat, meletakkan di depan kami dan masuk lagi, tinggal aku dan Ulfa, ku sruput teh, rasa hangat mengaliri tenggorokanku, ku pandang Ulfa di depanku.
“Heh, kenapa menatapku seperti itu?” jengahnya.
“Kenapa kamu tak terus terang?” kataku.
“Terus terang apaan?” tanyanya jidatnya mengerut.
“Terus terang pada kedua orang tuamu, kalau kamu hamil.” kataku datar tanpa ekspresi.
“Ih ngaco kamu, kamu kesambet ya?” katanya wajahnya memerah, pias dia tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.
“Heh, ngaco? Aku tau semua, tentang Imron, tentang hubunganmu dengannya, perbuatanmu dengannya, dari a sampai z aku tau…”
“Tau? Tau dari mana? Kamu temannya Imron? Imron yang cerita padamu?” Ulfa panik.
“Aku tak pernah kenal dengan Imron, tapi aku tau semua… Walau aku tak kenal Imron, dan tak pernah ketemu dengannya, tapi aku tau siapa ayah ibunya, rumahnya bagaimana, bahkan kamu melakukan dengannya di mana aja, kalau tak percaya, kamu melakukan dengannya pertama kali di sebuah bugalow di pinggiran Telaga Sarangan, apa perlu ku ungkap semua?”
Wajah Ulfa memerah, menunduk dalam, aku harus tega, kebenaran harus diluruskan, walau dalam hati ada rasa iba menyeruak, untuk tak menyakiti perempuan secantik Ulfa, tapi kebenaran adalah kebenaran yang tak mengenal cantik atau jelek, diletakkan di manapun kebenaran tetap harus berjalan dalam relnya.
“Bagaimana mungkin kau tau?” tanyanya seperti anak kecil bego yang tak pernah kenal sekolah, atau orang tua yang buta huruf, diberitahu bunyi sebaris tulisan.
“Itu tak penting, yang penting aku tau, aku aja tau apalagi Alloh, Alloh Maha Tahu segala-galanya, kamu bisa mendustai orang tuamu, tapi tak bisa mendustai, dan menipu Alloh, dan jika Alloh menghendaki aku untuk tau apa susahnya?” kataku.
“Apakah kau seorang auliya’?” tanyanya dengan wajah takut.
“Auliya’? Aku hanya orang sepertimu, yang hampir kau tipu dan kau perdaya, yang akan kau buat menutupi aibmu.” kataku dengan senyum sinis.
Seketika tubuh Ulfa gemetar, dan luruh merosot dari kursi, dan bersimpuh di tanah, menangis….
“Maafkan aku, maaf… hu.. hu..” suara tangisnya makin keras, membuat ibu yang menjadi pemilik warung keluar, tapi kembali ke dalam lagi setelah ku beri isyarat dengan tangan.
“Bukan padaku kau minta maaf, kepada kedua orang tuamu, yang telah kau tipu selama ini, harusnya kau minta maaf, juga segeralah kau bertaubat pada Alloh,” kataku dengan nada lemes.
“Aku tak sanggup, ayah ibu, selama ini betapa menyanjungku, aku anak yang berbakti, aku tak bisa mengecewakan mereka.” katanya mengiba.
“Lucu…. lalu kamu mau menunggu apa lagi? Mau menunggu orok di dalam rahimmu lahir?” kataku lumayan ketus.
“Kenapa kamu tak malu dulu pada saat melakukan? Kamu nikmati tiap inci dosa-dosa, ini baru hamil, belum akibat lebih buruk, kamu masuk neraka, apa kamu sudah merasa kebal dibakar api? Atau jangan-jangan tak ada iman di hatimu? Jangan-jangan kamu tak percaya akan adanya keadilan Alloh?” Ulfa terdiam aku lanjutkan kata-kata.
“Apa kamu menunggu keadilan Alloh tiba? Aibmu dibuka di depan makhluq seluruh dunia, dari jaman nabi Adam sampai sekarang?” Ulfa masih diam.
Tiba-tiba matanya nanar menatapku, merah, dan ada lingkar hitam di sekitar mata.
“Biarkan aku mati! Biarkan..!” “bruak!” dia menggebrak meja, gelas minumannya sampai terlontar dan jatuh pecah di lantai warung. Lalu dia lari keluar, seperti orang kesetanan, menuju kebun belakang warung, ada kebun tebu dan gerumbul hutan kecil, aku segera memburu, ku ikuti arah jeritannya.
“Biarkan aku mati!” Ulfa lari tak terarah, menerobos semak perdu, ku percepat memburu di belakangnya, setelah dekat ku sergap dari belakang, aku dilempar, ternyata kuat sekali, ah ada yang tak beres, masak kekuatan wanita bisa melemparku dengan ganas begitu, menyadari hal itu, lalu ku baca wirid tiga kali, ku salurkan ke tapak tangan, tangan terbuka ku hantamkan ke punggungnya, Ulfa terpelanting, jatuh terjengkang. Matanya merah menatapku,
“Siapa kau!?” bentakku,
“Hahaha, aku penghuni pohon mahoni tua…” suaranya berat, suara lelaki.
“Kenapa kau memukulku?” tanyanya.
“Aku tak cuma akan memukulmu, tapi akan membakarmu jadi arang kalau kau tak segera keluar dari tubuhnya.” kataku sambil membaca wirid, menyalurkan tenaga ke tapak tangan, dan membayangkan tanganku telah berbentuk api, tapak tanganku mulai ku rasa hangat.
“Heh.! Hehehe…, mau kau bakar aku? Kau bakar dengan apa?” tanyanya.
Tanganku mulai memanas, “Lihat ini…” tangan ku acungkan.
“Ampun..!, Ampun…” katanya lagi.
“Cepat keluar!”
“Iya.., aku keluar.” katanya, dan Ulfa pun mengejang, dan lunglai, aku segera mendekati, ku tempel tangan ke kepala dan punggungnya, untuk mengambil pengaruh jahat yang masih tertinggal, dan perlahan dia sadar dan membuka mata.
“Hah… Kenapa aku di sini mas…?” tanyanya, tapi segera ku ajak kembali ke warung, diantar tatapan kawatir oleh suami istri pemilik warung.
“Tak apa-apa mas?” tanya lelaki paruh baya pemilik warung,
“Tak apa-apa kok pak.” jawabku rikuh, setelah sampai di dalam warung aku minta air putih untuk diminum Ulfa, tak lupa ku isi, supaya hati dan pikirannya tenang.
Setelah memutuskan, aku akhirnya mengantar Ulfa pulang ke rumahnya, sampai di depan rumah, bu Aminah ibunya Ulfa menyambutku,
“O… nak Ian, mari-mari, ibu kira Ulfa dengan siapa? Ternyata dengan nak Ian, tadi pagi Ulfa juga pamitan mau main ke tempat nak Ian.” kata bu Aminah, dengan senyum tak dibuat-buat.
“Maaf bu, bapak ada?” kataku tak bertele-tele.
“Oh ada, sebentar ibu panggilkan, ayo duduk dulu di kursi, ibu kedalam dulu..” kata bu Aminah ramah. Bu Aminah masuk ke dalam, bersama Ulfa.
Sebentar kemudian pak Ibrahim keluar, disertai bu Aminah, dan seorang pembantu yang membawakan makanan ringan dan minuman.
“Eh nak Iyan, habis jalan-jalan sama Ulfa ya?” tanya pak Ibrahim sambil menyalamiku.
“Iya pak, sambil sekalian ada perlu sedikit sama bapak dan ibu…” kataku tak menunggu masalah bertele-tele.
“Wah perlu apa kok kelihatannya sangat penting?” kata pak Ibrahim yang duduk di depanku berdampingan dengan bu Aminah.
“Begini pak…” wah agak rikuh juga menyampaikannya, tapi kalau tak dijelaskan sekarang malah akan makin panjang dan tak tau kapan berujung pangkal.
“Itu pak…” aku masih kikuk juga, padahal sudah tarik nafas berkali-kali supaya mantap dalam menyampaikan, tapi rasanya lidah kelu amat.
“Sudah tak usah ragu, disampaikan saja…” kata bu Aminah melihat keraguanku. Mungkin aku tak langsung ke pokok pembahasan, tapi cari lorong kecil untuk menuju ke muara,
“Sebenarnya, Ulfa sudah punya pacar.” kataku menunggu ekpresi wajah kedua orang di depanku.
“Wah ku rasa itu biasa nak Ian, siapa sih remaja sekarang yang tak berpacaran, melihat tayangan televisi zaman sekarang seperti ini, remaja juga pasti ikut terseret, jadi bapak kira wajar,” kata pak Ibrahim sambil ketawa.
“Iya ibu kira juga apa, kiranya cuma masalah itu, nanti juga kan suaminya cuma nak Ian seorang.” tambah ibu Aminah.
“Tapi bu, pak, masalahnya Ulfa telah hamil.” kataku dari pada muter-muter tak karuan.
“Apa, hamil?!” suara kedua orang di depanku hampir berbareng. Aku manggut.
“Bruak…!” meja digebrak pak Ibrahim, sampai aku kaget tanpa buatan, soalnya tak menyangka sama sekali kalau meja bakal digebrak.
“Jangan menuduh sembarangan tanpa bukti kau Ian!” bentak pak Ibrahim, dengan mata merah dan telunjuknya menuding ke arahku, keder juga aku.
“Kalau tak mau jadi jodoh Ulfa, bilang aja tak mau, jangan terus memfitnah tanpa bukti! Tak ku kira anak pak Mustofa, berpikiran sekeji itu.” muka pak Ibrahim memerah, urat lehernya menegang.
“Sareh pak..!, Ingat penyakit darah tinggimu.” kata bu Aminah. Walau ku lihat dia juga menatapku marah, keramahannya yang tadi barusan entah terbang kemana.
“Tapi pak, saya tidak menuduh, bapak kenapa tidak bertanya sendiri pada Ulfa, jadi persoalanannya akan jelas.” kataku, sudah terlanjur nyebur, basah sekalian.
“Panggil Ulfa bu!” bentak pak Ibrahim sambil menepis tangan istrinya yang memegang lengannya.
“Awas kalau ini cuma fitnah,” kata pak Ibrahim memelototiku.
Bu Aminah ke dalam, dan sebentar kemudian telah keluar lagi bersama Ulfa, belum lagi Ulfa duduk di kursi, pak Ibrahim telah membentaknya.
“Benar kamu hamil!?” Ulfa terdiam masih berdiri menunduk, air matanya mengalir, hingga jilbab hitam kembang-kembang yang dipakainya basah.
“Jawab! Jangan nangis aja, kamu hamil atau tidak?!” bentak pak Ibrahim dengan suara menggelegar.
Ulfah manggut.
“Iya….” suaranya lirih tertindih perasaannya yang berkecamuk.
“Dasar anak sial, tak tau diuntung!” pak Ibrohim berdiri, dan mau mengemplang Ulfa, tangan telah diangkat, aku segera melompat meja, dan memegang tangannya, dan ku tarik mundur.
“Sudah pak… sabar…” bujukku.
“Tak ada sabar, anak telah mencoreng nama orang tua, musti dihajar! Mau ditaruh di mana mukaku?!” kata pak Ibrohim berusaha lepas dari peganganku. Segera ku tempel tangan ke pundaknya untuk menyalurkan hawa mengendapkan amarahnya, tak berapa lama pak Ibrahim membalik ke arahku dan menangis memelukku.
“Sudahlah pak, sudah terlanjur terjadi, jadi dicari aja jalan keluar terbaik.” kataku sambil menepuk bahunya. Suasana pun kembali tenang. Tapi bu Aminah masih menangis sesenggukan,
“Laya… Laya… dosa apa ibumu ini, sampai dicoba sedemikian beratnya?” katanya.
“Sudahlah bu, semua orang pasti dicoba oleh Alloh, jadi tak usah dikeluhkan, dicari saja jalan keluar terbaiknya.” kataku setelah menuntun pak Ibrahim duduk di kursi sofa.
“Dan menurutku jalan terbaik adalah menikahkan Ulfa dengan Imron, lelaki yang menghamilinya, tapi saya tak mau turut campur dengan urusan keluarga bapak, jadi sekalian saya mau mohon diri.” kataku.
Pak ibrohim berdiri dan memelukku lagi, ”Maaf nak Ian, bapak telah menuduhmu yang tidak-tidak,”
“Tak apa-apa pak, misalkan saya juga akan merasa terhina kalau anak saya dituduh berbuat yang tidak benar.” kataku.
“Andai kamu yang jadi suami Ulfa, betapa bangganya aku.”
“Yah kalau tidak jodoh, tak bisa dipaksakan….” Aku pun pamit, dan bu Aminah segera ke dalam mengambil bungkusan kerdus dan menyerahkan uang dalam amplop, aku menolak tapi bu Aminah tetap memaksa, terpaksa ku terima, aku pun kembali ke tempat pak Fadhol, sampai di rumah pak Fadhol, melakukan sholat dzuhur, dan aku pun pamit melanjutkan perjalanan, apa yang diberikan oleh ibu Aminah ku serahkan semua kepada pak Fadhol, juga uang dalam amplop, yang ku tak tau berapa isinya, awalnya pak Fadhol dan istrinya menolak, tapi setelah ku bujuk, akhirnya uang dan bungkusan dalam kerdus pun diterima, hingga aku bisa melanjutkan perjalanan dengan perasaan enteng tanpa beban.
Angin persawahan, yang membawa aroma lumpur dan harum dedaunan mengantar setiap pijakan kaki, kuputuskan pergi ke daerah Bojonegoro melewati daerah persawahan dan kedalaman desa terpencil, yang mata-mata penduduknya menatap aneh padaku, kadang ku sebrangi sungai, kadang ku susuri pematang, kadang aku nikmati burung-burung yang berloncatan riang di dahan, mencarikan makan untuk anak-anak mereka yang menunggu di sarang, sambil duduk aku selonjorkan kaki di bawah pohon yang rindang, melepas lelah.
Sesekali orang di sawah menyapaku, ah ketabahanku kalah dengan mereka, yang tiap hari bergelut dengan lumpur, menanam padi, merawatnya, sampai panen, dengan kesabaran, panen tak bisa dipaksakan, betapa tawakalnya mereka, tak memaksakan hasil cepat didapat, walau hasil lama didapat, tapi mereka dengan sabar datang ke sawah, entah mencabut rumput, mengusir tikus, dan mengusir burung, layakkah aku mengharap keberhasilan tanpa susah payah? Layakkah aku hanya duduk ongkang-ongkang, lalu mendadak dekat dengan Alloh, sang kekasih.
Ah aku malu, cepat ku ayunkan kaki, mungkin aku harus lebih semangat dalam pencarianku, hingga dapat mengeja khaliah dari Robku.
Ya Alloh tuntunlah setiap gerak gerikku,

Kisah Sang KyaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang