22 : Ganggu

534 124 17
                                    

Keesokan paginya, Alyssa harus berangkat ke sekolah dengan wajah pucat dan mata sedikit sembab. Dia tidak tidur semalaman, menangis dan menangis. Dia tahu, dia cengeng. Tapi memangnya apa lagi yang dapat Alyssa lakukan selain menangis? Menyusun rencana baru? Ah, Alyssa sudah terlalu sakit dan memutuskan untuk benar-benar menyerah.

Alyssa mencoba mengikuti tiap pelajaran dengan baik sampai jam istirahat berbunyi. Hari ini, Alyssa tidak membawa bekal apapun, dia juga belum sarapan. Lagipula, dia tak sedang dalam nafsu untuk makan. Bahkan dari semalam dia tak makan.

Ketika yang lain berhamburan ke luar kelas, Alyssa memilih untuk bertahan dan melipat tangan di atas meja, menyandarkan kepala pada lipatan tangannya itu dan memejamkan mata, tanpa menyadari seseorang mengintip dari sedikit pintu yang terbuka hanya untuk memeriksa kondisi terbaru Alyssa.

Alyssa bangkit dari posisinya saat mendengar decitan pintu. Dengan cepat dia menegakkan posisi duduk, biasanya yang muncul adalah Elang dan Alyssa cukup terkejut mendapati Yeslin-lah yang melangkah memasuki kelas sambil membawa dua mangkuk mie ayam dengan dua tangannya.

"Bantuin, eh! Ini panas!"

Alyssa memutar bola matanya dan berdiri, meraih satu mangkuk dan meletakkannya di atas meja. Alyssa menatap mie ayam itu dengan heran. "Lo makan banyak banget, Yes. Bisa sampai dua piring gitu."

"Lo gak bawa bekal, kan? Makanya, gue bawain lo satu."

"Tahu dari mana gue gak bawa bekal? Gue aja gak ketemu lo dari pagi."

"Feeling gue bilang gitu. Ah, udahlah. Lo tinggal makan doang ribet banget! Selamat makan!" Yeslin membuka plastik pembungkus sumpit dan mulai melahap mie ayam miliknya.

Alyssa menahan napas dan tersenyum tipis sebelum ikut memakan mie ayam yang sudah dibawakan Yeslin untuknya. Keduanya makan dengan lahap sampai mie ayam di mangkuk masing-masing habis, menyisakan kuah yang tak sanggup lagi mereka makan.

"Thanks, ya, Yes. Gue udah lama gak makan mie ayam."

Yeslin mengangguk dan beralih meraih botol minum yang Alyssa bawa, meneguknya sedikit sebelum berkata, "Iya, sama-sama. Tadinya gue ke kelas lo dengan tangan kosong, mau minta bekal. Tapi ketemu Elang. Dia bawa dua mangkuk mie ayam dan langsung ngasih ke gue. Katanya buat gue dan lo."

Alyssa mengernyit. "Elang? Mie ayamnya dari Elang?"

Yeslin mengangguk lagi. "Iya, Al. Gue bingung, kenapa dia ngasih ke gue buat dititipin ke lo? Kenapa gak ngasih langsung aja, ya? Lo lagi gak marahan sama dia, kan? Kalian baik-baik aja, kan?"

Alyssa tak menjawab dan saat Alyssa diam, Yeslin baru menyadari wajah pucat serta mata sembab sahabatnya itu. "Lo kenapa? Nangis semalaman lo? Mata lo sembab gitu. Cerita sama gue!"

"Enggak, gue gak nangis. Cuma kurang tidur aja. Makanya mata gue begini."

"Jangan bohong, ya, Al. Gue bisa bedain mana mata kurang tidur sama mata habis nangis! Lo habis nangis? Gara-gara Elang makanya, dia tiba-tiba ngasih mie ayam, tapi gak berani nyamperin lo secara langsung?!" Yeslin berujar dengan nada menggebu-gebu.

Yeslin memang tipikal sahabat yang cukup protektif dengan sahabatnya, apalagi Alyssa. Yeslin kenal Alyssa dengan baik. Walaupun, Alyssa terlihat sangat dingin dari luar, Yeslin tahu seberapa hangatnya hati Alyssa. Bukan hanya hangat, tapi rapuh dan sensitif. Benar-benar harus dijaga.

Alyssa tersenyum sinis. "Mana mungkin Elang nyakitin gue, Yes. Yang ada, gue yang terus-menerus nyakitin Elang." Alyssa menatap lurus dengan tatapan hampa, membuat Yeslin bertambah cemas.

"Kalau ada apa-apa, ya, cerita, Al. Jangan dipendam. Gue gak suka lihat lo kayak gini terus. Siapa tahu gue bisa bantu nyelesaiin."

Alyssa menggeleng. "Mana ada penyelesaian, Yes, kalau udah soal perasaan."

UNDOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang