R&J kh7

921 138 11
                                    

Teka-teki

"Aku menunggumu di sini, dengan harapan kau kembali dengan dirimu yang sama. Tidak menghancurkan waktu yang sudah kuhabiskan untuk menunggu."


~~~

Embusan napas terasa berat, sudah sangat lama ia ada di sebuah jembatan, hanya berdiri dengan mata menatap ke bawah danau. Ia tidak pulang malam tadi, melainkan hanya terus hilir mudik mencari orang yang dia kasihi.

Putus asa, Reynand merasa pusing memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Ingin melaporkan pada Polisi, tetapi takut itu bukan hal serius yang harus sampai mengambil jalur kepolisian.

Melihat air mengalir di bawah jembatan tersebut, pelupuk matanya ikut meneteskan butiran bening. Reynand gelisah, bingung dan juga marah, tetapi dia tidak tahu harus berbuat apa.

Lelah mencari, lelah berharap, lelah terus berdiri dengan harapan yang tidak ada kepastiannya. Memikirkan kemungkinan yang terjadi saja Reynand tidak sanggup.
Obat penawar rindu yang dia butuhkan entah kemana. Gadis yang menjadi tempatnya pulang, kini pergi entah kemana, tanpa kabar, tanpa memberi pesan, walau itu hanya sekedar pesan selamat tinggal.

"Lo kemana, Joy? Haruskah elo nyiksa gue kayak gini? Kalau lo benci sama gue, cukup lo bilang langsung. Kalau lo udah enggak sayang sama gue, cukup lo mengakui itu. Kalau emang lo pengen pergi, seenggaknya lo pamit sama gue! Walau kalimat selamat tinggal adalah kalimat yang gue benci sekalipun." Air mata Reynand langsung meluncur, hingga membuat punggungnya bergetar karena menahan tangis yang ingin dia luapkan.

Pemuda itu kemudian memutuskan untuk pulang ke kos-kosan. Mungkin, besok gadis itu akan mengabarinya setelah sepekan tidak ada. Hampir saja Reynand menemui rasa putus asa, dia tidak paham apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Rey! Lo udah makan?" Andi memekik ketika melihatnya baru pulang. Reynand pun menggeleng dengan wajah pucat.

"Kalau lo enggak makan, lo bakal sakit." Andi mengingatkan, dia tahu bahwa pemuda dengan wajah sendu itu pasti tidak makan semalaman. Andi ikut kesal kalau begini caranya.

"Biarin gue sakit, gue enggak perduli."
Lihat, jawabannya sudah tidak menentu.

"Kalau gini caranya, lo malah ngebuat orang terdekat lo khawatir tau enggak?"

Reynand masih bungkam. Memilih untuk berbaring saja di kasur, dengan wajah yang sangat menyedihkan dan penampilan yang tidak dia urus.

"Lo harus makan, biar lo punya tenaga buat cari Joya." Andi membujuk lagi, mana mungkin dia biarkan sahabatnya begini.

"Plis, Ndi, jangan paksa gue buat makan, lo enggak tau apa yang gue rasain," sahut Reynand sedikit menahan rasa sakit di ulu hatinya. Andi sudah kehabisan cara untuk membujuknya.
Ketukan pintu kos membuat keduanya terkesiap.

"Rey, buka pintunya!" seru seorang laki-laki dari luar.

Andi langsung berdiri dan segera membuka pintu. Setelah pintu kosan terbuka sempurna, barulah Andi lega, ternyata yang datang adalah Tama—Papa Reynand.

"Masuk aja, Om," kata Andi lalu mempersilahkan pria itu masuk.

Tama lalu melangkah masuk ke dalam sebuah kosan kecil dan sempit. Pemandangan yang sudah Tama duga menyambut kedatangannya, putranya tengah meringkuk.

"Rey, kamu udah makan?" tanya Tama seraya duduk di sebelah anak laki-lakinya itu.

"Enggak laper, Pa." Reynand menyahut tanpa menatap sang Papa, dia sudah tahu pria itu yang datang hanya dari mendengar suaranya.

Andi tahu betul, kalau anak dan Bapak itu butuh waktu berdua untuk bicara, sehingga dia memilih keluar terlebih dulu, agar kedua laki-laki itu bisa leluasa mengobrol.

Reynand & Joya (Kepulangan Hati) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang